Jika penyerbuan Tana Belawa oleh Tana Wajo pada era La Tadampare' Puang ri Maggalatung dapat dikatakan sebagai "Rumpa'na Belawa MammulangngE", maka inilah Rumpa'na Belawa MaduaE...
Belawa, penghujung abad XVII. Masa ketika La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE Arung MatinroE ri Batu bertahta di Belawa. Baginda menjalankan pemerintahan dengan sewenang-wenang serta menginjak-injak nilai pribudi kemanusiaan (Siri' PessE). Perilaku baginda yang terkenal dan ditulis dengan tangan gemetar pada Lontara'na TippuluE, adalah "Maggattung Boco' ri Wiring Laleng". Bahwa pada setiap hari pasar, baginda memerintahkan kepada para pengawalnya untuk menggantung (memasang) kelambu dipinggir jalan yang ramai dilalui rakyat. Baginda yang sedang berada didalam kelambu mengintip keluar, memperhatikan para wanita yang lalu lalang menuju dan kembali dari pasar. Setiapkali baginda melihat wanita yang memenuhi seleranya, maka diperintahkanlah para pengawal untuk meringkusnya dan memasukkan secara paksa kedalam kelambu baginda. Tanpa memperdulikan status wanita tersebut, entah gadis atau sudah bersuami, baginda melaksanakan hajatnya dengan menuruti nafsu iblis yang mengeram dalam jiwanya. Akhirnya pada masa kini, lokasi tempat baginda kerap menggantung (memasang) kelambu masih dapat ditandai dan diabadikan dengan nama : GalungngE Lawiring Laleng, merupakan areal persawahan yang terletak disebelah utara SD Negeri MacEro, kelurahan MacEro.
Banyak sekali tindakan baginda yang sangat radikal perihal kehidupan romantisnya yang meninggalkan torehan sejarah "risih" dimasa kini. Diantaranya adalah penamaan sebuah kampung yang terletak dibagian selatan Belawa, bernama : Limpo MakkunraiyyE. Konon, kampung tersebut awalnya adalah "harem" tempat baginda mengumpulkan (atau menyekap ?) wanita-wanita yang disukainya. Pada masa sekarang ini, nama kampung tersebut dirubah menjadi : LEmpong MakkunraiyyE.
Banyak sekali tindakan baginda yang sangat radikal perihal kehidupan romantisnya yang meninggalkan torehan sejarah "risih" dimasa kini. Diantaranya adalah penamaan sebuah kampung yang terletak dibagian selatan Belawa, bernama : Limpo MakkunraiyyE. Konon, kampung tersebut awalnya adalah "harem" tempat baginda mengumpulkan (atau menyekap ?) wanita-wanita yang disukainya. Pada masa sekarang ini, nama kampung tersebut dirubah menjadi : LEmpong MakkunraiyyE.
Baginda La Oddang kerapkali melakukan pembunuhan, utamanya pada kerabatnya sendiri yang berani menegur (mengingatkan) baginda, perihal prilakunya yang melanggar lembaga Siri' tersebut. Selain dari kelakuannya yang semakin brutal, Arung Belawa Petta MasuwengngE berkehendak melepaskan Tana Belawa dari dominasi Tana Wajo. Sebuah tindakan Separatis yang teramat berani !. Baginda sangat terobsesi dengan Tana Belawa yang merdeka sebagaimana awalnya didirikan oleh DatuE La Monri Arung Belawa MammulangngE MatinroE ri Gucinna, leluhur baginda. Untuk mencapai cita-cita itu, maka baginda meminta dukungan Addatuang Sidenreng, mengingat ibunda Arung Belawa yakni DatuE Arateng bersaudara dengan Addatuang Sidenreng .
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa Belawa adalah bagian dari wilayah kemaharajaan Wajo yang bernaung pada bendera Ranreng Tuwa sejak pemerintahan Arung Matoa Wajo La Tadampare' Puang Ri Maggalatung (abad XV) dengan status Ana' Macenning. Mendengar perilaku Arung Belawa Petta MasuengngE yang brutal itu, maka Arung Matoa Wajo beserta segenap Arung PatappuloE mengutus Suro ri BatEi untuk memanggil Arung Belawa ke Tosora (Kotaraja Wajo) untuk diberikan peringatan agar menghetikan keganasannya tersebut.
Sesampainya dihadapan Arung Belawa, Suro ri BatEi menyampaikan titah Arung Matoa serta Petta EnnengngE. Mendengar maklumat itu, meledaklah murka Arung Belawa. Baginda turun tangan sendiri menikam utusan tersebut hingga tewas di tempat itu juga. Mengetahui Suro ri BatEi diperlakukan demikian, maka Arung Matoa dan segenap Dewan Perintahan Tana Wajo sangat geram.
Setelah melihat tidak ada lagi jalan lain, pada puncak kemarahannya Arung Matoa atas persetujuan Petta EnnengngE dan Ade' PatappuloE, memutuskan memberi ganjaran kepada Arung Belawa dengan status hukuman I Paoppangi Tana atau IpaggEnoi Wennang Cella'. Sebuah pasukan terlatih dan bersenjata lengkap dalam jumlah besar dibina untuk menyerbu Belawa. Pasukan itu dipimpin oleh La Sappo Petta Ugi Arung Liu (merangkap Arung Palireng, Soppeng). Suatu hal yang unik disini, bahwa panglima perang yang berwenang dalam hal memadamkan pemberontakan kerajaan-kerajaan bawahan adalah biasanya dipimpin oleh Petta Pilla'E selaku Panglima Besar yang dijabat secara turun temurun oleh Datu Pammana. Namun pada peristiwa ini, La Sappo Petta Ugi dipilih untuk memimpin penyerbuan ke Belawa karena mengingat baginda adalah saudara ipar La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE ( La Sappo kawin dengan adik La Oddang, bernama : I BessE Tungka'). Kebijakan ini ditempuh dengan pertimbangan untuk menjaga kewibawaan AkkarungengngE Belawa. Seakan-akan penyerbuan ini bukanlah "hukuman" dari Tana Wajo, melainkan lebih dikesankan sebagai pertikaian dalam keluarga atau digambarkan sebagai upaya seorang saudara mengingatkan saudaranya yang lain dengan cara yang lebih keras.
Maka penyerbuan itu benar-benar terjadi. Pasukan Wajo mengalir memasuki TanaE Belawa melalui Danau Tempe. Mereka menumpang perahu mendarat di Limpo MakkunraiyyE. Namun tidak seperti yang dibayangkan semula, lasykar Belawa tidak memberikan perlawanan yang berarti. Hal ini disebabkan karena terjadinya perpecahan dalam internal pasukan Belawa sendiri. Sebagian besar pasukan Belawa dipimpin oleh Petta Pangulu Barisi'E (Panglima) tidak bersedia bertempur membela Arung Belawa. Bahkan mereka menyambut dan mengelu-elukan pasukan Wajo yang dipimpin oleh Petta Ugi karena dianggap sebagai pembebas dari tirani yang menyengsarakan mereka selama ini.
Bersama segelintir pasukannya yang masih setia, La Oddang Arung Belawa Petta MasuwengngE mengundurkan diri menuju Bulu CEnrana, yakni negeri asal muasal Raja Belawa pertama, leluhur baginda. Maka rombongan pelarian itu menyusuri Sungai KarajaE kearah utara. Namun kebiasaan buruk baginda tetap tidak dapat ditinggalkannya, walau dalam keadaan kritis seperti itu. Baginda mengumbar hawa nafsunya disepanjang jalan pelariannya dengan selalu "maggattung Boco' ri Wiring Laleng". Tempat yang cukup lama beliau singgai adalah pada pinggir sebuah anak sungai KarajaE yang terletak di Lonra YasE, sehingga anak sungai tersebut dinamai : Salo'E La Bulu Lessi. Namun mengingat penamaan tersebut adlah "tabu", maka pada masa sekarang ini penamaan itu dirubah menjadi : "Salo MakkunraiyyE".
Melalui perjalanan yang menempuh berbagai kesulitan disebabkan tingkah Arung Belawa disepanjang kalan itu, akhirnya tibalah mereka di Batu, sebuah kerajaan kecil yang merupakan wilayah Bulu CEnrana. Mengetahui Arung Belawa telah tiba di kerajaannya, maka Arung Batu dengan segala hormatnya menyambut beliau bersama segenap pengikutnya. Akhirnya Raja yang terusir ini terkesan dengan keramahan Arung Batu dan memutuskan untuk tinggal menetap di negeri itu.
Dengan tulus, Arung Batu membangun pemukiman yang layak bagi Arung Belawa beserta abdinya. Maka Petta MasuwengngE yang menerima limpahan budi itu tidak menebarkan nafsu angkaranya sebagaimana yang setia dilakukannya selama ini. Baginda bersama dengan segala kekurangannya tetaplah pada dasarnya adalah manusia yang bernurani. Kelembutan dan ketulusan Arung Batu menyentuh relung-relung hatinya yang paling dalam. Padahal jika dipikir, buat apalagi memuliakan seorang Raja yang kini tanpa kekuasaan apa-apa ? Seorang raja yang tidak lebih merupakan Eksodus yang memerlukan belas kasihannya !. Namun disebabkan semangant PessE (solidaritas kemanusiaan), maka Arung Batu senantiasa menghargai serta memberikan perlindungan kepada Petta MasuwengngE sebagai kerabat yang dimuliakannya.
Perlahan namun pasti, Petta MasuwengngE mulai merubah perilakunya. Jika Allah sudah berkenan melimpahkan petunjuk dan hidayah-Nya, maka tiada sesuatu yang dapat menghalangi-Nya. Akhirnya Petta MasuwengngE benar-benar sadar dan melanjutkan sisa hidupnya dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beberapa tahun kemudian, baginda wafat. Maka nama beliau tercatat dalam Lontara Pangurisengna TippuluE sebagai : La Oddang Arung Belawa Petta MasuwengngE MatinroE ri Batu.
.....................................................................................................................................................................
Puluhan tahun yang lalu, kisah ini senantiasa dituturkan Ayahanda pada berbagai kesempatan. Maka penulis bertanya : Jika benar perilaku Petta MasuwengngE begitu bejatnya, kenapa saya diberi nama yang sama dengan nama beliau ?. Ayahanda tersenyum kecil sambil mengelus-elus kepalaku, seraya berujar : Ketahuilah, kau adalah generasi ke-6 dari Petta MasuwengngE. Maka kewajibanmu sebagai pelanjutnya adalah mengisi hidupmu dengan perbuatan-perbuatan yang mulia agar nama itu dapat dimuliakan kembali.... Akkaritutui asengmu ri gau' napurioE Puang Allahu Ta'ala, mumalebbii lingkajo ri abbatireng apolEngengmu... . Maka sebuah legenda bukanlah berarti sebuah mitos. Wallahualam bi sawwab...
(......... ke Part selanjutnya lagi, yuk ?)
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa Belawa adalah bagian dari wilayah kemaharajaan Wajo yang bernaung pada bendera Ranreng Tuwa sejak pemerintahan Arung Matoa Wajo La Tadampare' Puang Ri Maggalatung (abad XV) dengan status Ana' Macenning. Mendengar perilaku Arung Belawa Petta MasuengngE yang brutal itu, maka Arung Matoa Wajo beserta segenap Arung PatappuloE mengutus Suro ri BatEi untuk memanggil Arung Belawa ke Tosora (Kotaraja Wajo) untuk diberikan peringatan agar menghetikan keganasannya tersebut.
Sesampainya dihadapan Arung Belawa, Suro ri BatEi menyampaikan titah Arung Matoa serta Petta EnnengngE. Mendengar maklumat itu, meledaklah murka Arung Belawa. Baginda turun tangan sendiri menikam utusan tersebut hingga tewas di tempat itu juga. Mengetahui Suro ri BatEi diperlakukan demikian, maka Arung Matoa dan segenap Dewan Perintahan Tana Wajo sangat geram.
Setelah melihat tidak ada lagi jalan lain, pada puncak kemarahannya Arung Matoa atas persetujuan Petta EnnengngE dan Ade' PatappuloE, memutuskan memberi ganjaran kepada Arung Belawa dengan status hukuman I Paoppangi Tana atau IpaggEnoi Wennang Cella'. Sebuah pasukan terlatih dan bersenjata lengkap dalam jumlah besar dibina untuk menyerbu Belawa. Pasukan itu dipimpin oleh La Sappo Petta Ugi Arung Liu (merangkap Arung Palireng, Soppeng). Suatu hal yang unik disini, bahwa panglima perang yang berwenang dalam hal memadamkan pemberontakan kerajaan-kerajaan bawahan adalah biasanya dipimpin oleh Petta Pilla'E selaku Panglima Besar yang dijabat secara turun temurun oleh Datu Pammana. Namun pada peristiwa ini, La Sappo Petta Ugi dipilih untuk memimpin penyerbuan ke Belawa karena mengingat baginda adalah saudara ipar La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE ( La Sappo kawin dengan adik La Oddang, bernama : I BessE Tungka'). Kebijakan ini ditempuh dengan pertimbangan untuk menjaga kewibawaan AkkarungengngE Belawa. Seakan-akan penyerbuan ini bukanlah "hukuman" dari Tana Wajo, melainkan lebih dikesankan sebagai pertikaian dalam keluarga atau digambarkan sebagai upaya seorang saudara mengingatkan saudaranya yang lain dengan cara yang lebih keras.
Maka penyerbuan itu benar-benar terjadi. Pasukan Wajo mengalir memasuki TanaE Belawa melalui Danau Tempe. Mereka menumpang perahu mendarat di Limpo MakkunraiyyE. Namun tidak seperti yang dibayangkan semula, lasykar Belawa tidak memberikan perlawanan yang berarti. Hal ini disebabkan karena terjadinya perpecahan dalam internal pasukan Belawa sendiri. Sebagian besar pasukan Belawa dipimpin oleh Petta Pangulu Barisi'E (Panglima) tidak bersedia bertempur membela Arung Belawa. Bahkan mereka menyambut dan mengelu-elukan pasukan Wajo yang dipimpin oleh Petta Ugi karena dianggap sebagai pembebas dari tirani yang menyengsarakan mereka selama ini.
Bersama segelintir pasukannya yang masih setia, La Oddang Arung Belawa Petta MasuwengngE mengundurkan diri menuju Bulu CEnrana, yakni negeri asal muasal Raja Belawa pertama, leluhur baginda. Maka rombongan pelarian itu menyusuri Sungai KarajaE kearah utara. Namun kebiasaan buruk baginda tetap tidak dapat ditinggalkannya, walau dalam keadaan kritis seperti itu. Baginda mengumbar hawa nafsunya disepanjang jalan pelariannya dengan selalu "maggattung Boco' ri Wiring Laleng". Tempat yang cukup lama beliau singgai adalah pada pinggir sebuah anak sungai KarajaE yang terletak di Lonra YasE, sehingga anak sungai tersebut dinamai : Salo'E La Bulu Lessi. Namun mengingat penamaan tersebut adlah "tabu", maka pada masa sekarang ini penamaan itu dirubah menjadi : "Salo MakkunraiyyE".
Melalui perjalanan yang menempuh berbagai kesulitan disebabkan tingkah Arung Belawa disepanjang kalan itu, akhirnya tibalah mereka di Batu, sebuah kerajaan kecil yang merupakan wilayah Bulu CEnrana. Mengetahui Arung Belawa telah tiba di kerajaannya, maka Arung Batu dengan segala hormatnya menyambut beliau bersama segenap pengikutnya. Akhirnya Raja yang terusir ini terkesan dengan keramahan Arung Batu dan memutuskan untuk tinggal menetap di negeri itu.
Dengan tulus, Arung Batu membangun pemukiman yang layak bagi Arung Belawa beserta abdinya. Maka Petta MasuwengngE yang menerima limpahan budi itu tidak menebarkan nafsu angkaranya sebagaimana yang setia dilakukannya selama ini. Baginda bersama dengan segala kekurangannya tetaplah pada dasarnya adalah manusia yang bernurani. Kelembutan dan ketulusan Arung Batu menyentuh relung-relung hatinya yang paling dalam. Padahal jika dipikir, buat apalagi memuliakan seorang Raja yang kini tanpa kekuasaan apa-apa ? Seorang raja yang tidak lebih merupakan Eksodus yang memerlukan belas kasihannya !. Namun disebabkan semangant PessE (solidaritas kemanusiaan), maka Arung Batu senantiasa menghargai serta memberikan perlindungan kepada Petta MasuwengngE sebagai kerabat yang dimuliakannya.
Perlahan namun pasti, Petta MasuwengngE mulai merubah perilakunya. Jika Allah sudah berkenan melimpahkan petunjuk dan hidayah-Nya, maka tiada sesuatu yang dapat menghalangi-Nya. Akhirnya Petta MasuwengngE benar-benar sadar dan melanjutkan sisa hidupnya dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beberapa tahun kemudian, baginda wafat. Maka nama beliau tercatat dalam Lontara Pangurisengna TippuluE sebagai : La Oddang Arung Belawa Petta MasuwengngE MatinroE ri Batu.
.....................................................................................................................................................................
Puluhan tahun yang lalu, kisah ini senantiasa dituturkan Ayahanda pada berbagai kesempatan. Maka penulis bertanya : Jika benar perilaku Petta MasuwengngE begitu bejatnya, kenapa saya diberi nama yang sama dengan nama beliau ?. Ayahanda tersenyum kecil sambil mengelus-elus kepalaku, seraya berujar : Ketahuilah, kau adalah generasi ke-6 dari Petta MasuwengngE. Maka kewajibanmu sebagai pelanjutnya adalah mengisi hidupmu dengan perbuatan-perbuatan yang mulia agar nama itu dapat dimuliakan kembali.... Akkaritutui asengmu ri gau' napurioE Puang Allahu Ta'ala, mumalebbii lingkajo ri abbatireng apolEngengmu... . Maka sebuah legenda bukanlah berarti sebuah mitos. Wallahualam bi sawwab...
(......... ke Part selanjutnya lagi, yuk ?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar