Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Senin, 13 September 2010

Sejarah Belawa Part 6

VI. Petta Bombo'
....ini adalah sebuah Epos. Tentang kepahlawanan seorang Putera Belawa yang sebenarnya..., ditakuti bagaikan hantu, disegani bagaikan dewa.... Seorang pangeran yang kehilangan naluri kemanusiaannya, hingga mendapatkannya kembali ketika ia mendekatkan diri pada Tuhannya...

Pada tahun 2008 yang lalu, Petta Aji Baso (H. Andi Baso Patiroi-Balikpapan) menanyakan perihal Petta MasuwengngE dan Petta Bombo kepada saya. Beliau penasaran mengenai kedua nama itu, nama yang selalu dibacakan do'a dengan ritual khusus oleh banyak kalangan, termasuk Ibunda beliau sendiri. "Apakah mereka merupakan Datu Matase' ?", tanyanya. Saya sempat terperangah, heran sekaligus terenyuh. Sungguh, negeri Belawa yang agung ini kini merupakan negeri yang miskin sejarah. Sampai-sampai, Tokoh-tokoh besar yang mengharumkan negeri kecil namun disegani ini ikut terkubur hingga kabur dari pengetahuan anak keturunannya.... Maka saya menjawab, "Mereka adalah Datu Matase' yang menurunkan Datu Belawa yang merupakan kakek Petta sendiri...."...

..............................................................................................................................................
TanaE Belawa, sepeninggal La Oddang Arung Belawa Petta MasuwengngE MatinroE ri Batu kini menjadi Negeri tak Bertuan. Maka La Mallalengeng Puanna Toappamadeng Arung Matoa Wajo XXXVI atas pertimbangan Arung EnnengngE, maka dinobatkanlah La Sappo Petta Ugi Arung Liu PettaE ri Palireng menjadi Arung Belawa yang berkedudukan di Tana Tengnga (TippuluE). Dengan demikian, dinasti AkkarungengngE ri Belawa kini berpindah pada seorang Pangeran Wajo yang bercampur dengan Bone. Beliau adalah putera La Mappulana Petta Ugi bersama dengan isterinya yang merupakan Puteri Bone, bernama : We Bakke' Datu Kawerrang.

Sebagai sebuah negeri yang baru saja dilanda perang saudara, maka Baginda La Sappo dihadapkan dengan tugas yang maha berat untuk memulihkan stabilitas keamanan dan aspek-aspek kehidupan masyarakat lainnya. Tugas itu semakin berat ketika utusan Addatuang Sidenreng tiba di Belawa, menyampaikan tuntutan agar Kerajaan Wajo melepaskan Belawa sebagai Negeri yang berdiri sendiri sebagaimana yang telah diperjuangkan Arung Belawa Petta MasuwengngE.
Pada masa peralihan yang berat itulah (1790 M), I BessE Tungka' (adik Arung Belawa Petta MasuwengngE), isteri La Sappo Arung Belawa melahirkan sepasang Putera Puteri kembar yang masing-masing diberi nama : La Rumpang dan I RawE.

Dikisahkan, kelahiran sepasang kembar emas (dEnru Ulaweng) itu diwarnai dengan hal-hal ajaib. Bersamaan dengan keluarnya sepasang bayi itu dari rahim ibunya, diikuti pula dengan keluarnya dua buah benda yang menyerupai usus yang melengket pada ari-ari. Ketika dukun istana mengambilnya untuk ditanam bersama ari-ari, ternyata kedua benda tersebut bernafas. Kempas-kempis bagaikan mahluk bernyawa !. Maka dibungkuslah dengan kain putih dan diperlakukan sebagaimana halnya manusia. Lama kelamaan, setelah sepasang kembar emasnya beranjak remaja, kedua benda tersebut kering dan mengeras seperti baja yang menyerupai dua bilah "Tappi" (keris). Namun anehnya, keduanya dapat bergerak sendiri sebagaimana halnya mahluk hidup, maka disebutlah mereka sebagai : ManurungngE ri Tana Tengnga.

Setelah menginjak umur remaja, sepasang kembar emas tersebut masing-masing dinikahkan dengan kerabatnya. La Rumpang dinikahkan dengan dengan sepupu satu kalinya bernama : We Bunga Waru (puteri La Oddang Arung Belawa Petta MasuwengngE) dan I RawE dinikahkan dengan Lato' Biroro Petta Kampiri, seorang pangeran terkemuka dari Pammana yang merupakan murid Tarekat Khalwatiah yang tekun. Setelah diboyong ke Kampiri (Pammana), Sang Puteri ikut mendalami Tarekat dibawah bimbingan suaminya. Sebagai santriwati, maka beliau menyesuaikan cara berpakaiannya dengan mengenakan busana Muslimah sehingga digelari : Petta PajjumbaE.

Berselang beberapa waktu kemudian, La Rumpang Daeng Pasolong dinobatkan menjadi Datu Tana Tengnga. Namun, suatu hal yang amat meresahkan adalah temperamentalnya yang berangasan, bahkan cenderung sadis !. Terlebih-lebih  sejak ia didampingi oleh pengikut-pengikutnya yang senang bermuka-muka manis, berusaha menyenangkan junjungannya dengan cara apapun berdasarkan kepentingan dirinya masing-masing.

Hal-hal sepele yang kurang menyenangkan Raja Muda itu dapat dijadikan alasan untuk melakukan pembunuhan. Anehnya, La Rumpang gemar melakukan pembunuhan itu dengan kedua tangannya sendiri. Kesalahan yang paling sering mengakibatkan kematian bagi rakyat Belawa ditangan La Rumpang adalah : Menyebut gelarnya (Daeng Pasolong) yang merupakan suatu "kata kerja" (massolong) dengan tidak sengaja. Misalnya : seseorang berkata, " tasolongngi waE pellaE..." (campurlah air panas itu...), lalu kebetulan salah seorang pengawal La Rumpang mendengarnya, maka diringkuslah ia dan dihadapkan pada Pangeran yang bengis itu. Jika hal itu terjadi, maka dapatlah dipastikan orang pesakitan itu akan binasa diujung La Patellongi (sebilah tombak kecil yang merekah dibagian tengahnya, merupakan pusaka kesayangan La Rumpang).

Maka beratus-ratus nyawa telah terengut menjadi korban La Patellongi ydisebabkan  hal sepele tersebut. Maka sejak itulah maka kata kerja "massolong" diubah menjadi "massolEng". Hingga sekarang, kata kerja yang telah diubah tersebut masih berlaku di Belawa, walau La Rumpang Daeng Pasolong telah wafat sejak ratusan tahun yang lalu. Adapun dengan tombak pusaka La Patellongi, saat ini telah berada dalam perawatan (koleksi) penulis.

Keganasan La Rumpang semakin menjadi-jadi. Baginda tidak memilih waktu dan tempat, dimana saja kata pemalinya disebut orang, maka orang tersebut harus mati di ujung tombaknya. Pada suatu kesempatan, baginda berkunjung ke Datu Soppeng. Namun kebiasaanya di Belawa tetap diberlakukan di Negeri Besar tersebut. Jatuhlah korban sia-sia pada beberapa rakyat Soppeng. Maka orang-orang Soppeng menggelarinya : Petta Bombo' (Pangeran Hantu) yang melekat dibelakang nama baginda selamanya.

Tingkah laku La Rumpang benar-benar meresahkan rakyat Belawa, terutama orang tua dan saudara-saudaranya. Tersebutlah salah seorang saudara seayah La Rumpang, bernama : La Tamang Petta Palla'E. Beliau dilahirkan ibundanya, yakni : We Tenri Balobo Datu Pammana. Melihat perangai La Rumpang yang mengganas, maka pangeran ini lebih banyak berdiam di Bone dan Sidenreng. Beliau merupakan seorang pangeran yang tidak ambisius untuk menjadi raja (penguasa) di negeri-negeri besar yang sesungguhnya merupakan hak warisnya. Perlu dikemukakan, bahwa We Tenri Balobo Datu Pammana (ibunda La Tamang) adalah puteri La Pallawagau' Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla'E ri Wajo dari perkawinannya dengan We Tenri Abang DatuE ri Watu (Puteri We Tenri Leleang Pajung ri Luwu XXIII/XXV Petta MatinroE ri SorEang dengan La Mappasiling DatuE ri Watu Datui ri Pattojo Petta MatinroE ri Duninna)

Sementara itu, ayah bunda La Rumpang dengan tidak henti-hentinya menasehati putera yang dikasihinya itu. Namun La Rumpang tidak menggubrisnya walaupun tidak dibantahnya juga. Halnya dengan We RawE Petta PajjumbaE, mengetahui tabiat saudara kembarnya yang amat disayangnya itu, maka beliau ke Belawa untuk mengingatkan kakaknya. Tidak lama setibanya sang putri di Belawa, beliau sakit dan wafat di Tanah kelahirannya tersebut. Dapat diperkirakan, bahwa penyakit sang puteri disebabkan oleh tekanan batin melihat tingkah laku saudara kembarnya yang bagaikan kesurupan itu.

Sukar dibayangkan betapa terpukulnya La Rumpang melihat saudara kembarnya menghembuskan nafas terakhir dihadapannya. Nafsu angkara murka yang selama ini mengeram di jiwanya musnah seketika, diamuk kesedihan yang mendalam. Sang Pangeran Bengis yang biasanya ceria itu kini mengurung diri di biliknya selama berhari-hari. Akhirnya, tibalah masanya Hidayah Allah tercurah pada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menyadari kekhilafannya dengan bertaubat dan berserah diri sepenuhnya. Akhirnya La Rumpang Petta Bombo' kini insyaf, berubah menjadi Pangeran yang arif lagi bijaksana, namun gelarnya sebagai Petta Bombo' tetap melekat dibelakang namanya hingga sekarang.

Tana Wajo, memasuki awal abad 18 adalah merupakan masa-masa suram yang didalamnya sarat dengan berbagai kekacauan. Bermula ketika La Mallalengeng Puanna Toappamadeng Arung Matoa Wajo wafat pada tahun 1817 setelah memerintah selama 22 tahun lamanya. Arung PatappuloE sebagai Dewan Adat tertinggi Wajo tidak dapat segera menentukan dan menobatkan Arung Matoa Wajo yang baru. Maka terjadilah kekacauan dalam negeri Tanah Wajo sehingga negeri-negeri tetangga juga turut memainkan kepentingannya. Termasuk dalam hal ini, Sidenreng.

Melihat kondisi Tana Wajo yang kacau balau akibat suksesi kepemimpinan yang tak kunjung reda, Addatuang Sidenreng melihatnya sebagai suatu kesempatan yang tepat untuk "memerdekakan" TanaE Belawa. Pertimbangan utamanya adalah mengingat Belawa kini diperintah oleh Arung Belawa La Sappo  bukanlah dari garis keturunan  La Monri Arung Belawa MammulangngE MatinroE ri Gucinna sebagai trah pewaris sah tahta Kerajaan Belawa. Maka dihimpunlah sebuah pasukan yang cukup kuat  yang terdiri dari Pasukan Gabungan Sidenreng, Rappeng dan Otting. Maka pada waktu yang telah ditentukan, pasukan gabungan itu menyerbu Belawa. Terjadilah perang sengit di perbatasan sebelah utara Belawa. Pasukan Belawa bertempur dengan gagah berani mempertahankan perbatasan utara itu dengan gigihnya. Namun Arung Belawa dapat melihat situasi dan kondisi dengan  cermat. Pasukan Kerajaan Belawa yang kecil tidaklah mungkin dapat bertahan lebih lama membendung serangan pasukan gabungan Sidenreng, Rappeng dan Utting yang lebih besar. Sementara Pasukan Wajo tidak mungkin dapat diharapkan bantuannya karena perpecahan elit kepemimpinan didalamnya.

Sementara Petta Bombo' bersama Petta Palla'E dengan segenap pasukannya berjuang bahu membahu mempertahankan tiap jengkal Tanah Belawa di perbatasan utara, Arung Belawa La Sappo Petta Ugi bertolak ke Pammana menemui saudara seayahnya, bernama : La Tokong (La Toto) PettaE PalEkoreng Datu Pammana. Beliau juga adalah putera La Mappulana Petta Ugi dari isterinya yang juga bangsawan tertinggi dari Bone, bernama : We Yabang. La Tokong menikah dengan We Rana (We Banna) Petta Ranreng Tuwa Wajo (Puteri La Temmasonge' Toappawelling Sultan Abdul Razak Jalaluddin Petta MatinroE ri Mallimongeng Mangkau' ri Bone XXII). Dengan posisi seperti itu, maka La Tokong Petta PalEkoreng dapatlah diharapkan sebagai bala bantuan yang cukup kuat untuk mengundurkan pasukan Sidenreng dan sekutunya dari Belawa.

Bertemulah kedua Raja yang bersaudara seayah tersebut di SaorajaE Pammana. Dengan segala upayanya, La Sappo memohon bantuan kakaknya utnuk mempertahankan TanaE Belawa dari serbuan Sidenreng bersama segenap aliansinya. "NarEkko iullEi pasoroo'i to SidenrengngE, ana'tapa matu' massosoreng mattola Arung Belawa...", bujuk La Sappo. Maka bersedialah La Tokong  segera mengerahkan lasykar Pammana dan Palekoreng ke Belawa. Maka dalam waktu tidak seberapa lama, lasykar bantuan itu tiba di Belawa  melalui  perbatasan  tenggara  dibawah  pimpinan  La Tokong sendiri didampingi puteranya bernama : La Paranrengi.

Akhirnya terjadilah pertempuran sengit yang lebih seru dari yang sudah-sudah. Pasukan Pammana dan Palekoreng yang masih segar bugar menyerbu dengan semangat berkobar-kobar. Pasukan Sidenreng dan sekutunya yang telah bertempur berhari-hari terpukul dengan telak. Setapak demi setapak mereka mundur kearah utara, meninggalkan anggota pasukannya yang terluka maupun tewas. Pasukan Belawa dan bala bantuannya semakin gencar mengejar dengan tombak yang teracun ke depan. Maka dinamailah medan itu sebagai : Soppa'E.

Kemenangan lasykar Belawa yang dibantu oleh lasykar Pammana dan Palekoreng menjadikan negeri yang terletak diantara 2 danau tersebut tetap menjadi Ana' ri Wajo. Namun, beberapa hari setelah kemenangan itu, La Tokong Petta PalEkoreng Datu Pammana jatuh sakit dan tidak lama kemudian wafat di Tana Tengnga. Baginda dimakamkan di Jara' LompoE Tana Tengnga.

Sepeninggal La Tokong, maka puterinya bernama : Sitti Hudayyah dinobatkan sebagai Ranreng Tuwa Wajo. Sementara La Paranrengi puteranya yang menyertainya berperang mempertahankan TanaE Belawa menetap di Tana Tengnga, mengingat janji pamannya (La Sappo) untuk mengangkatnya sebagai Arung Belawa. Namun janji tersebut tidak kunjung ditunaikan sampai Baginda La Sappo wafat dan dimakamkan tidak jauh dari pusara La Tokong Petta PalEkoreng.

Setelah tahta Arung Belawa lowong selama beberapa waktu, Arung Matoa Wajo beserta Petta EnnengngE menobatkan La Makkaraka Petta Ugi menjadi Arung Belawa dengan alasan sebab musabab yang tidak jelas karena tidak  tertulis pada Lontara. La Makkaraka Petta Ugi adalah putera La SampennE Petta Labattoa Arung Liu Cakkuridi ri Wajo dengan isterinya bernama I Kati Arung Palippu. Untuk menenangkan La Paranrengi maka Petta EnnengngE menganugerahinya gelar khusus, yaitu : ArungngE Daeng Sijerra. Gelar kemuliaan yang menempatkan Daeng Sijerra pada posisi "diatas" dari Arung Belawa sendiri pada "Tudang Ade'" (najerrai Arung Belawa). Namun sesungguhnya merupakan sebuah kedudukan tanpa kekuasaan.

Adapun halnya dengan La Tamang Petta Palla'E, pangeran petualang itu mulai menetap di Belawa. Mengingat masih sering terjadi pertikaian kecil antara orang-orang Belawa dengan orang Sidenreng perbatasan utara Belawa, beliau memerintahkan puteranya bernama Petta Boso'E untuk tinggal menetap di kawasan perbatasan itu. Perlu diketahui, bahwa La Tamang Petta Palla'E dari garis keturunan ibunya adalah merupakan Pangeran Sidenreng. We Tenri Balobo (Ibunda La Tamang) adalah puteri  La Pallawagau' Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla'E ri Wajo dengan isterinya bernama We Tenri Abang DatuE Watu. La Pallawagau' adalah putera Janggo' LampE Ulu Arung Maiwa Arung Tellu Latte' Sidenreng dengan I Tenri Datu Pammana. Kemudian Janggo LampE Ulu adalah putera La MalEwai Addatuang Sidenreng VII dengan isterinya bernama I Saddia. Selain itu, La Tamang Petta Palla'E dinikahkan dengan I LEkke' ana'na Arung Data, maka lahirlah : La Pamessangi Baso' Parepare dan Petta Boso'E serta beberapa anaknya yang lain.

Setelah Petta Boso'E tinggal menetap di Soppa'E (wilayah Sidenreng di perbatasan utara Belawa), kawasan itu menjadi aman kembali. Maka beliau digelar : La PallEmpa Petta Boso'E Daeng Pawawa. Setelah wafatnya, beliau dimakamkan disebelah utara Soppa'E bernama : PittuE sehingga gelaran lengkap beliau menjadi : La PallEmpa Daeng Pawawa Petta Boso'E Petta MatinroE ri PittuE. Inilah keteladanan seorang putera yang taat dan berbakti kepada orang tuanya dengan setia memenuhi amanah ayahandanya sampai akhir hidupnya.

Demikian pula halnya dengan La Rumpang Daeng Pasolong Petta Bombo Datu Tana Tengnga. Walaupun beliau  hanyalah merupakan "walikota" Kotaraja Belawa, namun Sang Pangeran Hantu yang kini insyaf ini senantiasa berjiwa besar. Hal ini terbukti ketika terjadinya perselisihan antara Tana Bone dengan TanaE Wajo yang sama-sama menklaim Pompanua sebagai wilayah mereka. Namun sesungguhnya pada saat itu Pompanua adalah merupakan "Lili" Tana Wajo yang berulangkali ditaklukkan sejak pemerintahan La Tadampare' Puang ri Maggalatung dan berikutnya ditaklukkan lagi oleh La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Singkang Arung Peneki  Arung Matoa PamaradEkaiyangngE Wajo. Tapi kini setelah melihat keadaan Tana Wajo yang dilanda banyak kekacauan, maka Petta TowaraniE Arung Pompanua menyatakan diri lepas dari Tana Wajo sambil memohon perlindungan Tana Bone.

Terjadilah perang antara Wajo dengan Bone. Lasykar Wajo menyerbu ke Pompanua. Namun lasykar Pompanua dapat bertahan bahkan dapat memukul mundur Pasukan Wajo berkat bantuan Pasukan Bone. Berkali-kali Pasukan Wajo melakukan penyerbuan namun tetap juga selalu terpukul mundur. Barikade pertahanan Pasukan Bone terlalu kuat untuk ditembus. Maka La Paddengngeng Puanna La Palaguna Arung Matoa Wajo melalui La Rappe' (La Olling) Arung Liu SullE Ranreng Tuwa Wajo meminta agar Lasykar Belawa ikut memperkuat Pasukan Wajo untuk merebut Pompanua.

Memenuhi amanat Arung Matoa Wajo dan Petta EnnengngE, maka Arung Belawa La Makkaraka Petta Ugi meminta kesediaan La Rumpang Petta Bombo' untuk memimpin lasykar Belawa pada ekspedisi perebutan Negeri Pompanua. Petta Bombo menyatakan kesediaannya, namun disertai "syarat" yang harus disetujui oleh Arung Belawa beserta para petinggi Tana Wajo (termasuk Arum Matoa), yakni :
1. La Rumpang Petta Bombo' sendiri yang memilih personel lasykar Belawa yang diikutkan pada ekspedisi itu,
2. Penyerbuan ke Pompanua dilakukan sendiri oleh Pasukan Khusus Belawa tanpa disertai oleh Pasukan Wajo.
Akhirnya Arung Belawa dan segenap petinggi Wajo menyetujui persyaratan yang aneh tersebut.

Maka Petta Bombo' melaksanakan seleksi pasukan Belawa yang berjumlah ribuan tersebut. Mereka berbaris satu demi satu berdiri dihadapan Petta Bombo'. Sementara itu Petta Bombo' menerawang setiap prajurit yang berdiri dihadapannya dengan cara meneropongnya melalui celah (lubang) Tombak Pusaka La Patellongi. Dikisahkan, jika seorang lasykar tidak kelihatan kepalanya melalui celah yang terdapat pada tombak pusaka tersebut, maka ia dinyatakan tidak ikut. Petta Bombo' meyakini bahwa orang yang tidak kelihatan kepalanya, niscaya akan gugur di medang perang walaupun orang itu kebal.

Akhirnya seleksi itu menghasilkan beberapa ratus orang yang lulus ujian dari beberapa ribu personel yang ditest. Termasuk diantaranya : La Sulungkau' Daeng Pagala Datu Lolo Tana Tengnga, putera Petta Bombo dari isterinya bernama : I Bunga Waru Ana'na La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE. Pasukan elit Tana Belawa inilah yang nantinya melahirkan legenda "Warani PituE", yakni 7 Pemberani dari lasykar elit tersebut dimana diantaranya ada wanita.

Seperti yang dipersyaratkan Petta Bombo, pasukan kecil yang dipimpinnya menyerbu Pompanua tanpa disertai oleh pasukan Wajo. Mereka bertolak dari Belawa melalui Danau Tempe lalu mendarat di Tempe. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Pammana, dimana mereka membangun sebuah basis pertahanan. Setelah beristirahat selama beberapa hari, maka penyerbuan itu dimulai. Pihak Pompanua tidak menyangka jika hari itu Wajo menyerang hanya dengan sebuah pasukan kecil. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah.

Pasukan Belawa bertempur dengan berani karena berbekal keyakinan jika mereka tidak akan mati dalam peperangan itu. Pertempuran yang heroik itu dikisahkan dengan bahasa yang indah dan terillustrasi secara mendetail dalam epos seni tutur "Sure' Warani PituE". Setelah bertempur selama hampir satu bulan, Petta TowaraniE Arung Pompanua gugur. Maka pihak Pompanua meminta gencatan senjata dan mengatur sebuah perundingan. Akhirnya perang itu dinyatakan usai dengan kemenangan berada di pihak Tana Wajo.  Sesuai dengan yang diramalkan Petta Bombo', tidak satupun lasykar Belawa yang gugur dalam kancah perang Pompanua. Kemenangan itu membawa Pompanua kembali keharibaan TanaE Wajo.

Setelah perang Pompanua, maka kisah tentang Petta Bombo' yang lebih banyak berdiam di Tana Tengnga. tidak begitu banyak yang bisa dituturkan hingga wafat pada era pemerintahan La Raja Dewa Arung Belawa  (putera La Makkaraka Petta Ugi Arung Belawa dengan I KambeccE' Petta PatolaE Wajo). Setelah wafatnya, maka lengkaplah gelar baginda yakni : La Rumpang Daeng Pasolong Petta Bombo Datu Tana Tengnga Petta MatinroE ri Jara' PaodaEnna. Baginda dimakamkan dengan prosesi kebesaran sebagaimana layaknya seorang Raja yang berdarah murni dan dihadiri oleh Raja-raja TellumpoccoE. Batu nisan baginda didatangkan langsung dari Soppeng berupa batu sungai setinggi kurang lebih 2 meter dari permukaan tanah.

Wafatnya Petta Bombo' adalah jelang akhir kejayaan Tana Tengnga. Putera  beliau yang bernama La Sulungkau' Daeng Pagala Datu Lolo Tana Tengnga Petta Pallampa'E MatinroE ri Passiringna ditetapkan sebagai penguasa otonomi Tana Tengnga yang pada waktu itu berganti nama menjadi : TippuluE. Adalah La Raja Dewa Arung Belawa pendeklarasi perubahan nama itu berkata : Upoasengengngi iyE tanaE, TIPPULUE. Nasaba' iyanatu pong aju kajung kaminang matanrE. NarEkko engka pong  aju lebbi matanrEpa naiyya, iyato upoasengengngi tanaE (Negeri ini kuberi nama : TIPPULUE. Karena itulah nama pohon tertinggi. Andaikan ada jenis pohon yang lebih tinggi daripada itu, maka itu pulalah yang kuberikan nama pada negeri ini...).
....................................................................................................................

Adalah hal yang unik bahwa menjelang wafatnya, Petta Bombo' berwasiat agar dimakamkan pada Jara' (komplek pekuburan Raja-raja) tersendiri yang dimulai oleh saudara kembarnya, yakni : I RawE Petta PajjumbaE. Sementara leluhurnya termasuk ayahnya dan saudara-saudaranya dimakamkan di Jara' LompoE (kira-kira 1,5 km kearah selatan dari Jara' PaodaEngngE). Perlu sedikit dikemukakan bahwa makam yang paling fenomenal di Jara' LompoE adalah : Makam La Tamang Petta Palla'E. Jazad baginda dimakamkan bersama 7 orang Ata (hamba sahaya) yang ikut dikubur hidup-hidup. Konon, posisi ketujuh orang tersebut dalam keadaan duduk bersila berhadapan sambil memangku jazad Petta Palla'E (Astagfirullohil Adzim).

Adapun halnya dengan ManurungngE ri Tana Tengnga terakhir berada dalam perawatan Alm. H. Abdul Rauf Pattola (suami Almarhumah Hj. Andi Remmangrilangi) yang menerimanya dari mertuanya, yakni : La Wahide' Daeng Mamiru Petta Pabbicara Ade' Tana Tengnga. Namun pada tahun 50an benda tersebut raib (mallajang) pada masa TKR (Tentara Keamanan Rakyat) membuat kakacauan di Belawa. Sementara pusaka lainnya, yakni : Tombak La Patellongi kini berada dalam perawatan kami yang penulis terima sebagai amanah dari Alm. Hj. Andi Remmangrilangi, kakak ayahanda kami (Alm. Andi Mori).

(..bersambung ke Part 7)

1 komentar:

  1. Ass. Tabe' Pak Andi,
    Siapakah orang tua dari La Mappulana Petta Ugi? Tks

    Sapri Pamulu
    http://andipamulu.myheritage.com

    BalasHapus