Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Jumat, 01 Juni 2012





LELAKI GUNDAH DENGAN SANG KAHLIL
Obrolan batin lewat suntingan syair permata Sang Kahlil, by. La Oddang


..seorang lelaki telusuri perjalanan malam, matanya terpejam, kelabui hati yang terjaga. Iapun beranjak risau seraya bertanya, pada nurani Sang Kahlil lewat lembaran berlubang. “..duhai, katakan padaku perihal cinta..”, mengulang kembali pinta Almitra. “,,pabila cinta memanggilmu, ikutilah dia,

Walau jalannya terjal berliku-liku. Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi , ..disela sayap itu melukaimu..”, ujar nya penuh perasaan. “ Guru, bukannya kutakut cedera bagi diriku !, sergah lelaki itu, gundah. “..apa yang dapat kuhaturkan bagi Sang Cinta, jika aku kini tidak memiliki cukup apa-apa ?!”, sambungnya lagi. Buku usang itupun tersenyum maklum, seraya menguraikan fatwanya. “Cinta tak memberikan apa-apa, kecuali keseluruhan dirinya, utuh penuh, ..Pun tidak mengambil apa-apa, kecuali dirinya sendiri. Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki ; karena cinta telah cukup untuk cinta.”

“..katakanlah demikian, wahai Guruku. Namun bukankah cinta berdiam dihati ?!..dan akulah pemilik hati itu !, maka ia tidak memiliki hak apapun tuk menentukan arah sipemilik hati ini !”, protes lelaki itu pula. “..pun jangan mengira, bahwa kau dapat menentukan arah cinta”, timpal Sang Kahlil. “..mengapa ?!”, berang Si Pertuanan Hati. “..karena cinta, pabila kau telah dipilihnya, akan menentukan perjalanan hidupnya”, sahut kaisar syair itu sabar. Gemerisik angin malam mengiringi petuahnya yang mengalir lambat, tanpa bermaksud mendahului waktu yang merayap pelan, malam itu.

“Cinta tiada berkeinginan, selain mewujudkan maknanya. Namun jika kau mencinta disertai berbagai keinginan, ujudkan dia demikian : ..meluluhkan diri, mengalir bagaikan kali, yang menyanyikan lagu persembahan malam, mengenali kepedihan kemesraan yang terlalu dalam, merasakan luka akibat pengertianmu sendiri tentang cinta; Dan meneteskan darah dengan sukarela, serta suka cita..”, kidungnya dengan geraham gemeletuk, dicengkram dinginnya udara dinihari itu.

“Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan…”, sabdanya pada akhirnya. “..akupun kini takkan berkata apa-apa lagi, guru. Dengan apapun kau menyebut rasa ini, kini membaur dalam seulas senyum, kemudian tersimpan dalam ruang terkunci ..”, ratap akhir lelaki itu menutup kitab Sang Nabi . Langkahnya ringan membuka jendela kamarnya, tabir malam kini tersingkap fajar. Lantunan azan menyeruak masuk, hadirkan asma kebesaran, sejukkan nuraninya dikala gemercik air wudlu membasuh. Leburlah sudah diambang batas, air mata dan air suci. Hingga kemuliaan martabatnya tersungkur dalam sujud, Maha Suci Dikau Yang Maha Tinggi..

Wallahualam Bissawab..






Tidak ada komentar:

Posting Komentar