LELAKI GUNDAH DENGAN SANG KAHLIL
Obrolan batin lewat suntingan syair permata Sang Kahlil, by. La Oddang
..seorang lelaki telusuri perjalanan malam, matanya terpejam, kelabui hati yang terjaga. Iapun beranjak risau seraya bertanya, pada nurani Sang Kahlil lewat lembaran berlubang. “..duhai, katakan padaku perihal cinta..”, mengulang kembali pinta Almitra. “,,pabila cinta memanggilmu, ikutilah dia,
Walau jalannya terjal berliku-liku. Dan apabila sayapnya
merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi , ..disela
sayap itu melukaimu..”, ujar nya penuh perasaan. “ Guru, bukannya kutakut
cedera bagi diriku !, sergah lelaki itu, gundah. “..apa yang dapat kuhaturkan
bagi Sang Cinta, jika aku kini tidak memiliki cukup apa-apa ?!”, sambungnya lagi.
Buku usang itupun tersenyum maklum, seraya menguraikan fatwanya. “Cinta tak
memberikan apa-apa, kecuali keseluruhan dirinya, utuh penuh, ..Pun tidak
mengambil apa-apa, kecuali dirinya sendiri. Cinta tidak memiliki ataupun
dimiliki ; karena cinta telah cukup untuk cinta.”
“..katakanlah demikian, wahai Guruku. Namun bukankah cinta
berdiam dihati ?!..dan akulah pemilik hati itu !, maka ia tidak memiliki hak
apapun tuk menentukan arah sipemilik hati ini !”, protes lelaki itu pula.
“..pun jangan mengira, bahwa kau dapat menentukan arah cinta”, timpal Sang
Kahlil. “..mengapa ?!”, berang Si Pertuanan Hati. “..karena cinta, pabila kau
telah dipilihnya, akan menentukan perjalanan hidupnya”, sahut kaisar syair itu
sabar. Gemerisik angin malam mengiringi petuahnya yang mengalir lambat, tanpa
bermaksud mendahului waktu yang merayap pelan, malam itu.
“Cinta tiada berkeinginan, selain mewujudkan maknanya. Namun
jika kau mencinta disertai berbagai keinginan, ujudkan dia demikian :
..meluluhkan diri, mengalir bagaikan kali, yang menyanyikan lagu persembahan
malam, mengenali kepedihan kemesraan yang terlalu dalam, merasakan luka akibat
pengertianmu sendiri tentang cinta; Dan meneteskan darah dengan sukarela, serta
suka cita..”, kidungnya dengan geraham gemeletuk, dicengkram dinginnya udara dinihari
itu.
“Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan…”, sabdanya
pada akhirnya. “..akupun kini takkan berkata apa-apa lagi, guru. Dengan apapun
kau menyebut rasa ini, kini membaur dalam seulas senyum, kemudian tersimpan
dalam ruang terkunci ..”, ratap akhir lelaki itu menutup kitab Sang Nabi .
Langkahnya ringan membuka jendela kamarnya, tabir malam kini tersingkap fajar.
Lantunan azan menyeruak masuk, hadirkan asma kebesaran, sejukkan nuraninya dikala
gemercik air wudlu membasuh. Leburlah sudah diambang batas, air mata dan air
suci. Hingga kemuliaan martabatnya tersungkur dalam sujud, Maha Suci Dikau Yang
Maha Tinggi..
Wallahualam Bissawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar