BUAH TAK BERPOHON
by. La Oddang
Tidak semua hal ihwal ke-sejarah-an tertulis pada lembaran
Lontara, ..namun disampaikan "massosoreng" (turun temurun) lewat
tutur pinutur. Pada sisi lain, tidak semua buah tutur pula dapat diyakini kesejarahannya,
..namun makna luhur yang dikandungnya adalah sesuatu yang tak terbantahkan.
Maka ia ibarat "buah" yang tak jelas dimana gerangan pohonnya. Buah
yang jatuh dipinggir sungai kemudian hanyut oleh arus, melewati "pitu
pakka salo" (tujuh cabang sungai) hingga menemui “babangna binanga”
(muara) menuju kehamparan samudera nan luas tak bertepi.
......................................................................................................
Perihal suatu negeri besar yang merubah makanan pokoknya,
dari beras menjadi sagu adalah salahsatu buah tutur yang hanyut tak berhulu
itu. Alkisah, suatu negeri besar yang makmur dan sejahtera. Negeri yang subur
dengan hamparan sawahnya seluas sejauh mata memandang. Buah karya penghidupan
oleh segenap rakyatnya rajin. Para anak negeri
yang terdiri dari para kawula rajin dan bangga serta hormat pada rajanya
yang arif nan bijaksana. Seorang Raja Agung yang disebutnya sebagai "Sang
Payung" beserta segenap perangkatnya yang memuliakan prinsif keadilan dan
kehormatan negerinya.
Panen padi senantiasa berlimpah dari musim ke musim. Tiada
musim palawija diantara musim panen padi ke musim tanam berikutnya. Maka
lumbung rakyat senantiasa bertumpuk sampai wuwungan, hingga bulir-bulir padi
tumbu bertunas pada lantai dasarnya. Suatu fenomena yang pada akhirnya
menimbulkan rasa jenuh. Bahwa menjalani hidup dalam serba kecukupan, agaknya
menimbulkan kebosanan pula.
“Bagaimana caranya agar padi tidak tumbuh di sawah kita
untuk sementara ?”, tanya salahseorang petani dalam suatu rapat dengan Matoa Laongruma (Tetua Petani). Maka
riuhlah suasana majelis itu dengan berbagai usul masing-masing. “Sebaiknya kita
berhenti menanam padi untuk sementara”, kata Mado’E (juru pengairan). Akhirnya,
itulah kiranya yang dianggap sebagai solusi yang paling masuk akal, sehingga
disepakati dengan suara bulat.
Maka rakyat negeri itu menghentikan aktifitasnya di sawah.
Mereka mengalihkan kesibukannya ke laut dan sungai untuk mencari ikan. Namun
sawah mereka tetaplah ditumbuhi padi dengan suburnya. Batang-batang padi yang
telah dipotong, beranak pinak dan tumbuh dengan suburnya hingga berbuah yang
sarat isi pula. Apa boleh buat, padi yang siap panen itu terpaksa dipanen kembali.
“Permasalahan” ditengah-tengah kehidupan rakyat itu akhirnya
diketahui pula oleh Sri Baginda. Maka dibukalah suatu majelis yang menghadirkan
segenap menteri dan penasehatnya. “Apa yang mesti dilakukan agar negeri ini
tidak ditumbuhi padi lagi ?”, tanya baginda dengan amat resahnya. Bukan hal
yang remeh jika menyangkut dengan keresahan rakyat. Maka ribut pulalah segenap
menteri itu, mengajukan usul-usulnya yang dipikirnya paling benar. Namun Sri
Baginda agaknya belum merasa puas dengan ragam ide itu. Akhirnya, giliran Sang
Penasehat angkat bicara. “..usompai DatuE ri alebbirengna. Naiya sitongengna
passaleng ribirittaE, taniato passaleng tenritappu na tenri lolongeng
paddippungna..” (..saya menyebah paduka atas kemuliaannya. Bahwa persoalan yang dihadapi saat ini, bukannya
permasalahan yang tanpa terselesaikan dan bukan pula hal yang mustahil
didapatkan simpul penyelesaiannya..). “Pabbirittani manrapimu, macca..!”
(tunjukkalah hasil pemikiranmu, wahai Cendekia !), titah baginda.
“Ee, Puekku.. REkko maEloki papinrai atuongenna Sangiang
Serri ri Lipu’E, tagilingngi pettunna bicaraE ri pabbanuamu. Pallempu’i
majEkkoE, pajjEkkoi malempu’E. Pasalai tongengngE, mutujuengngi salaE..”
(Duhai, Tuanku.. Sekiranya anda berkehendak merubah daya hidup Sang Dewi Padi
di negeri ini, balikkanlah segala putusan hukum pada segenap anak negeri. Luruskanlah
yang bengkok, bengkokkanlah yang lurus. Salahkan yang benar, benarkanlah yang
salah..). Suatu pendapat yang akhirnya disepakati dengan bulat atas persetujuan
baginda.
Irippekini adaE, nariponcoki caritaE.. ripalaloni gau’
tessitinajaE rilaleng lipuE. NasianrE
balEni tauwE, sibongo-bongngorengni pabbanuaE. Tessiaga Ettana, dE’na natuo
wijangna Sangiang Serri rilaleng Lipu. Iyyanaro wettu pammulang nalElEna
abiasangngE manrE tawaro.. (Disingkatlah perkataan, dan dipendekkanlah cerita..
dilaksanakanlah segala perbuatan yang tidak sepatutnya. Maka saling memakanlah
orang bagai ikan, saling membodohi lah segenap rakyat. Itulah masa permulaan
sehingga berpindahlah kebiasaan memakan beras menjadi sagu..)
Luttuni pEppajaE, maccEkkEng riwatang asE, massErang
tekkanawa-nawa.. Lettu’ni pajaE, mappasilElE masE-masE, maringerrang
tekkanawa-nawa.. Akhir cerita, bukanlah suatu kebenaran sejarah yang hendak
dikemukakan, melainkan mengingatkan kepada diri sendiri perihal kemuliaan
keadilan dan keutamaan rasa syukur. Adalah buah hanyut tak tentu pohon
muasalnya, sekiranya bukanlah hal yang sesungguhnya, anggaplah cerita pengantar
tidur belaka.
Wallahualambissawwab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar