Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Selasa, 11 Januari 2011

Ininnawa


PEDULI..

“Peduli..”, demikian sebuah kata yang diketik oleh saudara Bakhtiar D. Mallolongeng, kerabatku yang saya muliakan. Sebuah ungkapan tentang “kelakuan” yang sulit diterjemahkan secara pas dalam kosa kata Bahasa Bugis..
………………………………………………………………………………………………

Istilah “Peduli” jelaslah bukan diperuntukkan bagi seseorang yang egois. Melainkan ia adalah sosok pribadi yang memiliki perhatian khusus terhadap sesuatu yang berada diluar dirinya. Suatu pribadi yang memiliki kepedulian itu adalah cerminan mahluk sosial sebagaimana wujud tabiat manusia yang sesungguhnya. Kira-kira seperti itulah pengertian dangkal terhadap istilah “peduli” menurutku..

Kepedulian terhadap sesuatu hal adalah mutlak terekspresikan dari dalam. Kepedulian adalah aksi nurani yang kerapkali keluar begitu saja tanpa melalui proses diskusi. Ia adalah sesuatu yang diputuskan begitu saja tanpa melalui proses demokrasi. Maka menurutku, rasa peduli adalah suatu panggilan jiwa yang melibatkan campur tangan keputusan Tuhan yang tak terbantahkan.

Saya mengenal seorang tua yang memiliki kepedulian terhadap anak-anak terlantar. Walau hidup dengan bermodalkan sebuah becak tua, namun beliau memelihara beberapa anak yatim piatu yang dirawat dan diurusnya dengan sepenuh hati di rumahnya yang sederhana. Ia seorang yang buta huruf, namun pengertiannya terhadap arti pentingnya pendidikan agaknya setaraf dengan seorang sarjana S1. Maka anak-anak asuhannya itu disekolahkannya pula dengan sungguh-sungguh. Adalah hal yang mengharukan jika melihatnya setiap pagi, tubuh reotnya itu mengayuh becak yang memuat anak-anak berseragam SD dan SMP, para anak-anak asuhnya. “Yaah, agar bisa hemat uang transportasi, nak..”, katanya riang sambil mengusap keringat diwajahnya dengan sehelai handuk tua pula.

Kadang-kadang saya suka bertandan ke rumahnya pada sore hari. Beliau adalah orang yang enak diajak ngobrol. Saya tahu jika beliau adalah orang yang sering hidup berkekurangan dengan bebannya yang cukup berat, namun tidak sekalipun terdengar kalimat keluhan darinya. “..kira-kira pata taung umuru’ku natama NippongngE ri Belawa, nak..” (..kira-kira saya berumur 4 tahun ketika tentara Jepang masuk di Belawa, nak..), demikian kisahnya. 

“Marejjing tongengga atuongengngE wettuEro, yE’ ? (Apakah betul jika kehidupan sangat sulit pada masa itu, yE’ ?), tanyaku. 

‘AwwE, dE’nagaga rejjing pada-padanna, Nak.. Puwang Allah Ta’ala mani missengngi ..” (AwwE, tidak ada lagi penderitaan yang menyamainya, nak. Kiranya hanya Allah Ta’ala yang tahu..). Baru kali ini saya melihat wajah tua yang biasanya cerah itu mengerut muram. Kenangan pahit dimasa lalu agaknya menggores kalbunya begitu dalam.

Masa pendudukan bala tentara Jepang adalah masa paling suram dalam hidupnya, atau mungkin bagi semua orang pada masa itu. Bahan makanan terlalu sulit didapatkan sehingga banyak orang terpaksa memakan gedebong pisang. Ibunya meninggal dunia dalam masa yang memprihatinkan itu. Sementara itu, semua lelaki dewasa ditangkapi pula untuk menjadi pekerja Romusha. Maka Ayahnya terpaksa membawanya mengunsi ke tempat-tempat terpencil dimana tidak diketemukan tentara Jepang. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana nasib anaknya yang masih balita itu jika iapun harus menjalani kerja paksa itu.

Menempuh perjalanan jauh dalam keadaan ketakutan serta tanpa bekal apa-apa, adalah suatu penderitaan yang tak terkira. Ayahnya hanya membawa sebuah tempat air yang terbuat dari bambu sambil menggendongnya dengan susah payah. Sementara pakaiannya, hanya yang melekat di tubuh mereka saja.

“Ambo’.. malupuuka’..” (Ayah, aku lapar..), rengeknya dipunggung ayahnya.

“Inungko, nak..” (Minumlah, nak..), sahut ayahnya. Maka iapun meneguk air di bumbung bambu itu. Setelah beberapa lama, perutnya yang sudah membuncit itu terasa semakin melilit, perih karena lapar. Air yang sejak tadi diteguknya tidak mampu memenuhi tuntutan rasa laparnya.

“Ambo’.. malupuuka’..” (Ayah, aku lapar..), rengeknya semakin memelas.

“Inungko si, nak..” (Minumlah lagi, nak..), kata sang ayah dengan nafas ngos-ngosan oleh rasa lelah, lapar dan pilu.

“Malupuu tongenna’, mboo’..” (Aku benar-benar lapar, ayah..), rintihnya mendekati tangis.

Ayahnya berhenti lalu menurunkan anaknya yang malang itu dari punggungnya. Lelaki yang sengsara itu memeluk puteranya seraya menahan sedu sedan yang mencekik kerongkongannya. Ia membelai rambut anaknya sambil berkata, “Atinrono palE’, nak..” (Cobalah tidur, anakku..). Mungkin dengan tertidur sejenak, rasa lapar akan terlupakan sesaat.. Walau cuma sebentar saja. Berharap ketemu ibu dalam mimpi.., ujarnya memenggal kisah merana itu.

Akhirnya sayapun mengerti, bahwa pengalaman pahitnya dimasa kecil yang mengukir mozaik kepeduliannya terhadap anak-anak terlantar. “Tauperrii’Engmi maissengi perriina padanna tau perrii’..” (Orang yang susahlah yang dapat mengerti kesusahan sesamanya .........). Penderitaan bukanlah sekedar uraian kata. Bukan pula sekedar retorika, melainkan dirasakan serta dimaknai oleh nurani. 

Tanra-tanranna rupatauwwE nariyaseng tau, nasaba' mappErasa pessE ri lilana, mappEsammeng ri tigerro'na, mappEnedding pessE ri perruna.. (Pertanda bagi seseorang sehingga dapat disebut sebagai manusia, adalah : Merasakan pedis pada lidahnya, lalu merasakan jika itu dapat melewati kerongkongannya, kemudian terasa perih pula dalam ususnya..). Setiap orang dikatakan lumrah jika mengetahui bahwa PessE (Jahe) memiliki rasa (taste) pedis. Sekiranya saat ini saya memakan jahe, kemudian anda yang sedang membaca tulisan ini sedang memakan jahe pula, pastilah kita sependapat bahwa : Rasa jahe itu pedis. 

Persepsi yang sama tentang rasa jahe yang pedis itulah dikatakan sebagai : solidaritas pessE atau solidaritas sosial dalam bahasa sosiology. Perasaan yang sama terhadap sesuatu itu akan menimbulkan pula kepekaan yang sama sebagai ekspresi kemanusiaan dalam wujud : CARE atau kepedulian terhadap sesama mahluk ciptaan Allah SWT.

Mengarungi samudera hidup yang tak terkira ini, kadang-kadang "Siri" (Harkat diri) tidak dapat ditegakkan sebagaimana yang diinginkan, namun "PessE" yang dimakani sebagai Solidaritas Kemanusiaan, mutlak harus ditegakkan. "Punna tekkullEa nipaEntEng Sirika, paEntEngngi PaccEnu.." (Sekiranya Siri tidaklah mampu ditegakkan, maka tegakkanlah kemanusiaanmu..), demikian wasiat Baginda Sultan Alauddin. Janganlah karena rasa malu terhadap sesuatu menyebabkan hilangnya rasa kemanusiaan. Maka menempatkan rasa malu terhadap Tuhan dalam wujud Iman dan Taqwa adalah prioritas pertama dalam lembaga kepribadian seorang Bugis Makassar dan seluruh umat manusia pada umumnya.


Wallahualam Bissawwab..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar