Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Kamis, 06 Januari 2011

Budaya

Ata, Budak atau Hamba ?

Ata adalah budak yang diperjual belikan dan digadaikan..
Ata adalah hamba yang dapat dijadikan mahar perkawinan..
Ata adalah abdi suruhan dalam istana..
Ata adalah sahaya yang dapat dipinjamkan sebagaimana halnya aksesoris..
……………………………………………………………………………………………………………………………..

Demikian antara lain pendapat atau persepsi sebagian orang jika ditanyakan perihal “Ata”. Namun sesungguhnya, semuanya sependapat jika dinyatakan bahwa : Ata adalah Manusia jua. Maka timbullah pertanyaan yang mendasar, apa dan bagaimanakah “Ata” itu sesungguhnya ?. Pertanyaan itu kemudian saya tanyakan  pula kepada Ayahanda Andi Panguriseng (A. Mori)  semasa hidupnya, H. Gandaria semasa hidupnya pula, serta Ibunda Hj. Andi KambeccE’ yang kini tinggal menjadi azimat hidup kami. Maka berikut ini diuraikan himpunan persepsi para pelaku sejarah itu.

Bukannya bertujuan untuk menghidupkan kembali masa Aristokrat dan Feodalisme yang banyak menganut pola hidup jahiliah itu, melainkan sekedar melengkapi khazanah Pengetahuan Budaya dan Sejarah pada berbagai sudutnya. Terlepas dari benar atau salah, tergantung dari sudut mana kita memandangnya.

Ata adalah sebuah strata sosial yang menempati urutan terendah dalam kehidupan Masyarakat Bugis dan Makassar. Sekiranya dapat diperbandingkan, Ata adalah suatu kasta yang setaraf dengan kasta Paria dalam Agama Hindu. Walaupun dikategorikan sebagai tingkat terendah, namun sesungguhnya Ata memiliki struktur pula dalam penggolongannya, sbb :

1.       Ata Manaa’

Suatu golongan yang mendapatkan identitas Ata disebabkan oleh keturunannya. Ia terlahir kedua orang tua yang berstatus Ata, maka iapun disebut pula sebagai Ata Manaa’. Golongan inilah yang pada jaman dulu  diperlakukan sebagai objek jual beli, gadai, pekerja dan juga sebagai lambing kekuasaan seorang Bangsawan. Bahkan lebih dari pada itu, pada jaman I La galigo, mereka kerap dijadikan pula sebagai “sesajian” yang dipersembahkan (dikorbankan) jiwanya kepada para Dewa.

2.       Ata Mabuang

Adalah golongan Ata yang berasal dari keturunan “MaradEka” (baik-baik) atau bahkan bisa pula dari kalangan Bangsawan. Mereka menjadi Ata disebabkan banyak hal, diantaranya diuraikan sebagai berikut :

-          Kalah Perang
Pada jaman dulu, akibat paling buruk yang terjadi pada suatu Kerajaan yang kalah perang adalah dijadikannya sebagai Ata bagi Kerajaan yang memenangkan perang. Kondisi itu berlaku sejak masa pra-Islam hingga pada masa Islam telah tersiar di Sulawesi Selatan.  Sebagai contoh kasus, dapat dikemukakan disini yakni peristiwa peperangan antara Kerajaan Sidenreng dengan Kerajaan Kecil Utting dalam tahun 1543. Ketika itu Kerajaan Wajo dalam pemerintahan La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo X berpihak serta membantu  Utting. Keputusan itu patut dimaklumi karena Kerajaan Utting adalah merupakan “Lili”  atau wilayah taklukan yang berada dalam perlingdungan Tana Wajo sejak La Tadampare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo VII . Adapun halnya dengan Kerajaan Sidenreng, mereka dibantu pula oleh Kerajaan Gowa yang dipimpin langsung oleh Rajanya yang gagah perkasa, yakni : I Mariogau’ Daeng Bonto KaraEng Lakiung Tunipallangga Ulaweng Sombayya Gowa X.

Maka terjadilah peperangan yang amat sengit.  Namun, hanya dalam waktu 10 hari pertempuran mati-matian,  lasykar Wajo terpukul sampai ke negerinya dan dikalahkan secara mengerikan. Orang Wajo secara keseluruhan dijadikan “Ata” yang mengabdi kepada pertuanannya orang Gowa.

La Paturusi Tomaddualeng Arung BettEmpola yang menjadi perwakilan orang Wajo menyerahkan “kemerdekaan diri orang Wajo” dihadapan Raja Gowa seraya berkata dalam terjemahan Prof. Dr. H. Andi Mattulada, sbb :
“...kasihanilah kami, sudilah Baginda menerima upeti kami yang sedikit ini; Kami menebus kesusahan kami; Baginda adalah pertuanan dan kami adalah abdi (Ata) Tuanku.”
Maka menjawablah Raja Gowa, “ Kuterima penyerahanmu, hai Orang Wajo.: Untuk itu Dewata yang Tunggal menjadi saksi; Bahwa kalian abdi (Ata) dan kami pertuanan kalian; Apapun yang kuperintahkan, kalian wajib melaksanakannya !”
La Paturusi Tomaddualeng menyetujuinya seraya berkata : “Begitulah kiranya, KaraEng; Kami akan melaksanakannya sesuai kemampuan, serta membawa kebaikan bagi kami..”.

Dua tahun kemudian, Raja Gowa memerintahkan orang-orang Wajo untuk  memerangi Negeri  Batu Lappa. Penyerbuan itu berhasil dengan gemilang. Namun belum pula pulih kondisi lelah setelah peperangan itu, Raja Gowa memerintahkan pula pada orang-orang Wajo untuk menebang pohon di kampung Samangki (Wilayah Kerajaan Barru). Lima bulan lamanya orang-orang Wajo bekerja keras untuk menebang pohon yang akan dipergunakan untuk membangun Istana Raja Gowa yang baru..

-          Kalah Berjudi
Berjudi adalah sebuah kebiasaan yang sangat popular pada jaman dulu. Mulai dari lapisan rakyat paling bawah, hingga pada kalangan elit. Laki-laki maupun perempuan semuanya main judi.  Khusus bagi kaum perempuan, biasanya dilakukan oleh kalangan wanita bangsawan di Saoraja (Istana). Berbagai macam permainan dijadikan ajang perjudian, diantaranya : MaccupellE’, Maddadu, dll. Namun yang paling popular adalah “Massaung” (Sabung Ayam).

Kebiasaan berjudi yang sudah memasyarakat itu telah melekat sejak jaman I La Galigo. Dikisahkan dalam Lontara Besar tersebut, bahwa : I La Galigo sendiri adalah seorang tokoh judi yang senantiasa berbuat onar di tempat sabungan ayam.

Sebagaimana akibat yang timbul dalam perjudian, bahwa kebiasaan bertaruh itu menjadi semacam candu yang membuat orang menjadi ketagihan. Maka pada jaman dulu, adalah hal yang lumrah jika seorang penjudi ulung yang sedang kalah bertaruh, meningkatkan nilai taruhannya berupa sahayanya, isterinya, anak perempuannya, hingga “kemerdekaan dirinya sendiri”. Akhirnya, banyak pulalah orang baik-baik yang berubah status menjadi “Ata” akibat kalah dalam pertaruhan di arena judi.

-          Perlindungan Diri
Sebagaimana situasi dan kondisi pada jaman dulu, bahwa penegakan supremasi hukum tidak terorganisir dan tertata sebagaimana baiknya pada masa kini. Seseorang atau sebagai suatu kepala keluarga, dalam upayanya mendapatkan perlindungan bagi diri dan keluarganya, biasanya ia mengikatkan diri pada suatu rumpun keluarga yang lebih kuat sebagaimana dikenal sebagai “Appang” atau “Rapu”.  Namun tidak semua keluarga yang berhasil menggabungkan diri pada suatu “Appang” karena penggabungan tersebut biasanya haruslah diikat dengan tali kekerabatan (Perkawinan). Selain itu, iapun harus pula memberi persembahan (Makkasuwiang) dalam bentuk tanah persawahan/perkebunan atau ringgit emas, walaupun pada pihaknya adalah anak perempuan yang akan dinikahi oleh keluarga elit “Appang” tersebut.

Maka keluarga yang lemah tersebut, menjalangkan aktivitasnya dalam masyarakat dalam keadaan rentang oleh kesewenang-wenangan. Hingga pada suatu ketika ia diperhadapkan dengan suatu masalah yang bersentuhan dengan “Siri” (Harga Diri), terpaksa ia melakukan pembunuhan. Pihak keluarga yang terbunuh tersebut berusaha melakukan pembalasan, maka dikejarnya pembunuh tersebut.

Dalam pelariannya tersebut,  ia menuju ke Saoraja (istana) salah satu “Appang” yang besar serta disegani. Lelaki itu bermohon sembah kepada pemuka Appang itu agar diberikan perlindungan atas diri dan keluarganya. Sebagai imbalannya, ia menyerahkan diri beserta segenap keluarganya sebagai “Ata” yang mengabdi secara penuh kepada Appang tersebut.

Pada Kerajaan Belawa sendiri, semasa hidupnya Petta Pangulu Daeng Paliweng, beliau adalah salah seorang tokoh “Appang” yang amat disegani. La Maccaning, salah seorang saksi sejarah itu menuraikan kepada penulis, bahwa : “..narEkko engka tau ilellung nasaba’ maElo’i riuno, namoo naddEmperengmi passapungna nateppa ri laleng palla’na Petta PanguluE, napaliinitu alEEna pallellungngE lEEsu ri kampongna. Salama’ni tu to rilellungngE..” (..jika ada orang yang dikejar karena mau dibunuh, lalu ia melemparkan destarnya kedalam pagar Petta PanguluE, seketika itu para pengejarnya menghentikan pengejarannya lalu kembali ke kampungnya. Maka selamatlah orang yang dikejar itu...).

Menurut riwayat, bahwa semasa hidup puekku La Tengko Petta Manciji’E ri Wajo, baginda berpesan kepada orang-orang Lonra, bahwa : “ ..engkatu ana’ rijajiangku riyaseng I Batari utaro ri Lonra. NarEkko engka tau maElo riuno, assaleng naddEmpengmoi passapunna muttama ri palla’na, salama’ni tu..” (Aku telah menempatkan anak kandungku bernama I Batari di Lonra. Jika ada orang yang terancam jiwanya, walaupun cuma destarnya yang ia lemparkan masuk dipagar rumahnya, maka iapun selamat..).

-          Korban Penculikan
Pada jaman dulu, orang-orang Enrekang kerap memasuki wilayah pegunungan Toraja untuk menculik orang-orang Toraja lalu dijualnya sebagai budak belian. Kondisi itu berlangsung selama berabad-abad hingga La ParErEngi Petta PonggawaE Bone turun tangan membasmi penculikan itu dengan operasi milter dalam abad XIX.

Orang-orang Toraja yang diculik dan dijadikan budak belian itu kadang-kadang justru berasal dari keluarga bangsawan dari negeri asalnya. Alkisah, seorang budak belian yang masih berumur remaja dalam sebuah rumah keluarga kaya di Wajo , selalu memperlihatkan tingkahlaku yang aneh. Jika dalam keadaan tertidur, budak itu selalu menaikkan kaki kanannya bertumpu pada lutut sebelah kirinya. Kebiasaan tidur dengan cara demikian, lazim ditemukan pada anak bangsawan tinggi. Setelah ditelusuri hal ikhwalnya, ternyata anak adalah salah seorang putera Arung Sangalla’ di Toraja. Kemudian saudagar itu mengembalikannya kepada Arung Sangalla’ sehingga mendapatkan imbalan 100 ringgit emas.

3.       Ata Tai Manu’

Golongan abdi seperti ini adalah menempati tingkat paling dasar dalam struktur sosial para abdi. Ia adalah suruhan para Ata yang lainnya. “Atanna ataE..” atau “Ata Puppuu..”, demikian diistilahkan dalam kehidupan istana. Golongan inipun sebenarnya tidaklah mesti berasal dari turunan “Ata”, sehingga dapat pula digolongkan sebagai “Ata Mabuang”. Namun penyebab jatuhnya status sosialnya itu dinilai sangat terhinakan karena “berhutang”.

Ia sedang menanggung hutang yang sangat besar pada seseorang yang tergolong sebagai “Ata” dimana tidak mampu dibayarnya, maka ia dijadikan sebagai “Ata”.

Fenomena keberadaan "Ata" sebagai suatu status sosial dalam masyarakat adat Bugis Makassar memberi warna tersendiri sebagai suatu hal yang membudaya. "Mannokoo Ata-Ata.." (Menggerutu bagai budak..) adalah istilah bagi orang yang suka mengeluh dan menggerutu terhadap suatu tugas/pekerjaan yang menjadi kewajibannya namun dikerjakannya jua. Seorang "Ata" melaksanakan pekerjaan tanpa imbalan apa-apa karena ia tidak memiliki kemerdekaannya sebagaimana hak asazinya sebagai umat manusia.

Namun jangan dibayangkan bahwa "Ata" dalam masyarakat adat Bugis Makassar itu sama halnya dengan budak sahaya di Negeri Arab pada masa jahiliah, demikian kata ayahanda. Seorang Ata dikatakan "rendah" karena mereka menempati tangga paling bawah dalam struktur sosial masyarkat Bugis pada jaman dulu. Tetapi kebanyakan mereka didapati pula sebagai orang-orang elit yang melebihi kalangan masyarakat umum pada masa itu. Mereka mengenakan pakaian yang lebih layak dari pada orang-orang "Maradeka". Mereka pula kebanyakan lebih terpelajar dari pada masyarakat kebanyakan. Hal itu disebabkan karena mereka sering ikut mendampingi majikannya, sehingga majikannya itu memberikan pakaian yang sepadan untuk mendampinginya pada berbagai acara. Mereka pula diajari baca tulis serta tata bahasa yang baik karena seringkali mereka difungsikan sebagai utusan atau juru bicara pertuanannya. Maka fungsi "Ata" dalam Saoraja (Istana) adalah : Dayang-dayang, pengawal dan kadangpula dimintai nasehat dan pandangannya. 

Bayangkan dirimu jika kau bekerja sebagai pegawai di Istana Merdeka pada masa ini. Maka begitulah status pekerjaan "Ata Saoraja" pada masa lalu, demikian kata H. Gandaria. Seorang "Ata" kepercayaan penguasa kadangkala lebih ditakuti oleh masyarakat daripada tuannya sendiri. Semisalkan ia menyukai seekor ayam milik masyarakat, maka dengan mudahnya diambilnya saja ayam itu dengan alasan "Napojiwi DatuE iyE manu'E.." (Raja menyukai ayam ini.."). Pemilik ayam itu tidak bisa berbuat apa-apa.

Sementara pada waktu lain ia membenci seseorang, dengan mudahnya pula ia menikam orang itu hingga mati. "Magi munoi Ero tauwwE ?!.." (Kenapa kau bunuh orang itu ?!..), tanya Sang Datu. Dengan bersujud sembah, Ata itu menjawab dengan takzimnya : "TabE', tennapodo temmatula atanna puekku DatuE nasaba mappEbali ri puengna. Mappanniga-nigai sengngatakku. Mappoadai ri tengngana tau maEgaE makkeda : dE'na gaga tau uwasiri.. pabbettuwangenna ataE, dE'tona nasirii'i pappuengengku. NarEkko napusirini DatuE, napumatEni tu joana.. Polo paa polo pannii', usaung sunge'ku ri laleng siriina puekku DatuE " (Ampuni hamba, semoga patik tidaklah kena tulah karena menjawab perkataan pertuanannya. Orang itu "Mappanniga-niga". Ia mengatakan dihadapan khalayak umum, bahwa tidak ada siapapun lagi yang diseganinya.. Dalam pengertian hamba, termasuk pula pertuananku yang tidak diseganinya pula. Adalah kewajiban hamba, sekiranya Tuanku merasa malu terhadap sesuatu, itu berarti masanya hambamu ini mempertaruhkan jiwa raga.. Walaupun mesti patah bagai pahat serta patah pula sayapku, hamba siap menyabung nyawa demi harga diri kemuliaan tuanku..).

Demikian pintarnya memutar kata hingga Sang Datu hanya mengangguk-angguk belaka. Padahal penyebab ia membunuh orang tersebut, tiada lain karena ia ditolak lamarannya terhadap anak perempuan si orang terbunuh. Maka sebagian besar Ata kadang memiliki kekuasaan pula.

Seorang Ata dapat pula dipulihkan statusnya sebagai "tomaradEka" (Orang Merdeka). Ada banyak hal sehingga mereka mendapatkan "anugerah" kemerdekaan itu dari majikannya, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :
1.       Berjasa
Ia melakukan jasa besar dalam bentuk kepahlawanan yang menyelamatkan nyawa majikannya. Selain jasa kepahlawnan itu, seorang Ata dapat pula dinilai berjasa jika melindungi aib pertuanannya atau dikenal dengan istilah (Nasampoi Sirina Puengna). Sebagai contoh : Seorang Datu yang menghamili seorang wanita dari kalangan masyarakat umum, maka abdinya yang mengakui perbuatan itu serta menikahinya.

2.       Melakukan “Majjujung Kappara UwaE Lebbi”
Seorang majikan yang meninggal dunia, ketika jenasahnya sedang dimandikan, para Ata duduk bersila dibawah kolong Saoraja (Istana) persis dibawah jenazah pertuanannya. Mereka menjunjung baki besar yang menerima jatuhan air mandi jenazah pertuanannya. Perlakuan itu adalah bhakti terakhir yang tidak bisa dihalangi kemerdekaannya oleh para ahli waris majikannya.

3.       Ritarima Sompana (diterima maharnya)
Seorang wanita dari kalangan “Ata” dapat pula dinikahi oleh seorang TomaradEka. Ide pernikahan itu biasanya diatur pula oleh sang Majikan yang menyayangi sahayanya itu. Ketika mahar dipersembahkan, maka itulah yang dijadikan sebagai tebusan kemerdekaan bagi diri wanita itu.


Namun demikian, kebanyakan bekas “Ata” memiliki kesetiaan terhadap pertuanannya.  Mereka memandang pemimpinnya sebagai sosok agung yang pantas dilabuhi rasa pengabdiannya yang dalam. Sebagaimana yang digambarkan tentang kepribadian seorang Bangsawan yang sebenarnya, adalah : Naiyya arungngE, maccarinna na malabo.. (Bangsawan itu penuh kasih sayang dan suka memberi..). Setiap Ata yang dimerdekakannya, dilepasnya disertai dengan harta benda yang cukup untuk menjadi sumber penghidupannya.


Sekelumit Pengalaman Pribadi


Menurut pengalaman pribadi penulis, bahwa harta benda Petta Pangulu Daeng Paliweng dan Petta Pabbicara Daeng Malebbi telah dibagi-bagikannya kepada para abdi yang dimerdekakannya dalam jumlah  hampir sama besar dengan warisan putera puterinya sendiri. Demikian pula dengan harta benda Datu Batari Petta Lonra, baginda telah membagikan pula banyak harta benda kepada para bekas abdinya dalam jumlah yang sangat banyak. Jauh lebih besar dibanding “mahar pernikahan” yang diterimanya, sehingga tiada lain hanya merupakan simbol belaka.


Adalah hal yang sangat mengharukan, para bekas Ata yang  sudah “MaradEka” itu senantiasa setia serta tetap mengatakan diri sebagai abdi pada anak cucu bekas pertuanannya. Dalam tahun 1971 (saat penulis masih dalam kandungan), terjadi kemarau panjang di Belawa. Tanah persawahan menjadi kering kerontang sehingga tidak memungkinkan untuk ditanami padi.  Sementara itu, Kakanda H. Andi Pajung yang masih berumur 5 tahun kala itu tidak mau memakan nasi jagung samasekali. Ayahanda dan Ibunda tidak bisa berdaya apa-apa karena iapun tidak terbiasa bekerja sebagai buruh panen.


Tanpa diduga, para bekas abdi itu berombongan ke EmpagaE (Wilayah Kabupaten Sidrap) dan tinggal selama beberapa minggu sebagai buruh panen. Setelah kembali mereka memberi ½ dari hasil upayanya itu kepada orang tua kami dengan ikhlas (tanpa diminta). Semasa kecil, penulis diasuh pula oleh  “nEnE Rukka”, salah seorang mantan abdi Petta Pangulu yang masih hidup. Beliau sesungguhnya adalah anak seorang “Ata Mabuang” yang berasal dari keluarga Bangsawan dari Suli (Luwu).  Anak perempuan beliau dinikahkan pula dengan seorang turunan bangsawan, keluarga Petta Pangulu pula.  Lama setelah meninggalnya beliau, barulah penulis mengetahui jika ia bukanlah Ibunda dari Ayahanda yang sesungguhnya.


Wallahualam Bissawwab..


1 komentar:

  1. Maaf Andi, bisa mohon informasinya mengenai susunan kedudukan atau kasta atau seperti gelar keningratan pada masyarakat Bugis.

    Terima kasih sebelumnya.

    BalasHapus