Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Selasa, 04 Januari 2011

Ininnawa


Maogi-ogi' ?

Hari ini saya tergelitik dengan sentilan Adinda Andi Suwaidi via Facebook tentang salah satu sisi kepribadian orang Bugis. "Ogi'E, narEkko engka naita malebbi, namoni bangsa laing, nasemmani maogi-ogi.." (Orang Bugis, kalau melihat sesuatu yang baik atau mulia adanya, walaupun itu suku lain, dikatakannya dengan anggapan sebagai sesuatu yang bersifat bugis belaka..), demikian kata adindaku itu.
.......................................................................................................

Sayapun sering mendapatkan hal yang sedemikian, utamanya pada kalangan orang tua-tua. Ketika seseorang sedang berlalu didepannya seraya membungkukkan badan dan menghaturkan "TabE" (Permisi), dikatakannya itu "MakkEade' Ogi’i.." (Beradat Bugis..). Apabila dilihatnya seseorang yang berparas tampan dengan alis yang hitam lebat serta melengkung bak bulan sabit, iapun berkata : "Makerra arung enningna, samanna maogi-ogii tappaana.." (Alisnya begitu hitam bagai bangsawan, bagaikan paras orang Bugis..).

Sebaliknya pula, ketika anak atau cucunya melakukan hal yang tidak patut, dikatakannya pula sebuah cela'an, "MagijE' muassipa' Jawa-Jawa ?!" (Kenapa kau bersifat Jawa-Jawa ?!). Perlu dijelaskan disini, bahwa istilah "Jawa" dan "Jawa-Jawa" maksudnya adalah "Orang Jawa", namun pengertiannya berbeda. "Jawa" (Orang Jawa) biasanya dikonotasikan sebagai sesuatu yang baik. Sebagai contoh adalah ungkapan tentang sesuatu yang lebih baik, misalnya : Laono ria' La BEmpa cippE', guci langro JAWA passullEmu ! (Pergilah kau tempayan yang sumbing, guci buatan dari Jawa menjadi penggantimu..!).

"BEmpa CippE'" (Tempayang yang sumbing) adalah istilah penyebutan bagi seseorang yang cacat moral, sementara "Guci Langro Jawa" adalah pengibaratan bagi seseorang yang memiliki ahlak tanpa cela (nyaris sempurna). Adapun halnya dengan "Jawa-Jawa" dikatakannya sebagai sesuatu yang buruk. Istilah ini dijadikan istilah oleh orang bugis perantauan yang pernah menetap di daerah perkotaan Pulau Jawa. Mereka melihat bagaimana prilaku segelintir orang menjadi pengemis atau pada komplek wanita penghibur yang kebetulan saja sebagian besar orang Jawa, maka disebutnyalah sebagai "Jawa-Jawa" (bukan Jawa sejati).

Istilah buruk yang disifatkan terhadap bangsa lain tersebut, bukan hanya pada orang Jawa saja. Banjara' (Orang Banjar), Malaju (Melayu), Daya' (Orang Dayak), Mangkasaa (Orang Makassar), Toraja (Orang Toraja), Butung (Orang Buton) dan lainnya tidak luput pula dari pencitraan yang kurang baik pula. Seorang lelaki Bugis yang beristeri wanita Banjar, niscaya anaknya akan disebut sebagai "Ana' Banjara'E" (Anaknya orang Banjar). Jauh lebih parah lagi sekiranya wanita Bugis yang dinikahi oleh lelaki suku lainnya, maka anaknya dengan sertamerta tidak mendapatkan identitas Bugisnya sama sekali.

Pemikiran-pemikiran picik sedemikian itu bukan hanya didapati pada pemahaman antar bangsa, melainkan juga antar sesama orang Bugis sendiri. Kadangkala kita mendapati orang Bugis Bone menyatakan diri sebagai "Bugis Sejati" daripada bugis lainnya. Mereka mengatakan itu karena adanya La Tenri Tatta Daeng SErang To Erung Petta TorisompaE MalampE'E Gemme'na Arung Palakka MatinroE ri Bontoala juga digelar pula sebagai "Datu Tungke'na Tana Ugi" (Pertuanan Tunggal Tanah Bugis) yang adalah juga Mangkau' ri Bone (Raja Bone).

Ada pula orang Bugis Wajo yang mengatakan diri sebagai "Kaminang" (Yang TER..). Sebagaimana diungkapkannya, sebagai berikut : Naiya toWajo'E, riyasengngi KAMINANGNGE. Iya kaminang Sogi, Iyato kaminang Warani, Iyato kaminang Macca, Iyato Kaminang Pangrita, Iyato kaminang Mabello, Iyato kaminang Arung. Nasaba' Punggawa Ade' Allopi-loping na padangkangngE monroE ri Juppandang, To Wajo. La Maddukkelleng to waraninna Tana Ugi, To Wajo. La MungkacE To Uddama to tongeng maccaE assalenna pananrangngE ri Tana Ugi, To Wajo. Gurutta Sade’, angrE gurunna sininna pangrita marajaE, To Wajo. Lipa’ sabbE mabelloE, pole toi ri Wajo.. Wija sengrimana Arung polE ri Tana MarajaE magguliling engka  maneng toi maddeppa’ ri Wajo..  (Sesungguhnya orang-orang Wajo disebut sebagai “Yang Paling Segalanya”. Mereka yang paling kaya, mereka pula yang paling berani, mereka pula yang paling pintar, mereka juga yang paling ulama, mereka juga paling indah, mereka pula yang paling berdarah bangsawan. Karena Punggawa para saudagar yang berdiam di Ujung Pandang adalah orang Wajo. La MungkacE to Uddama Sang cerdik cendekiawan penyusun kitab Pananrang di Tanah Bugis juga adalah orang Wajo. Gurutta Sade’ guru para ulama besar juga orang Wajo pula. Sarung sutera yang indah juga datangnya dari Wajo.. Keturunan agung para Raja-Raja Besar dari seluruh negeri bertebaran pula di Wajo..). Uraian tersebut didengar langsung oleh penulis dari perkataan salah seorang Almarhum Tokoh Besar Wajo yang namanya tidak dapat disebut dalam tulisan ini.

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang sepupu penulis yang cucu langsung Datu Puekku Andi Mappanyompa Paddanreng Pammana (Almarhum Datu KapE) berkata, “Makkedai tau riyolota ri Pammana: narEkko engka tau mEnrE’ maddutai wijammu ri bolaE, akkutanangngi yolo’ apolEngenna. Namow mallipa’ sabbE narEkko Tau SidEnrEng, aja’ yolo’ na tappa itangke’, iyakkutanang mopa abbatirengna. NaEkiya, inamoow mallipa’ karoro narEkko nasengengngi alEna polE ri Pammana, tangke’ni..” (Orang-orang terdahulu dari Pammana telah berkata : Jikalau ada seseorang yang datang ke rumah untuk melamar keturunanmu, tanyalah terlebih dahulu asal muasalnya. Walaupun dia mengenakan sarung sutera tapi mengaku sebagai orang Sidenreng, jangan dulu diterima lamarannya. Tanyalah lagi keturunanya. Namun sekiranya orang itu mengenakan sarung yang terbuat dari terpal tapi mengatakan diri sebagai orang Pammana, maka terimalah lamarannya..). Agaknya inilah yang dikatakan Adindaku Andi Suwaidi sebagai “ MatangrE Ati..” (Tinggi Hati). Kemudian kutambahkan pula menurut pendapatku bahwa orang-orang yang berpikiran “MatangrE Ati” tersebut adalah “Buta Ati, tennaisseng alEna, tennapahang apolEngenna, tenna jeppui toi padanna rupa tau..” (Buta hati, tidak tahu diri, tidak memahami asal muasalnya sehingga tidak pula memaknai pula keluhuran sesamanya manusia..), Subhanallah.

Motif yang menjadi suatu masalah prilaku sosial tersebut diatas bukanlah karakter luhur dari To Ugi (Orang Bugis) yang sebenarnya. Anggapan-anggapan yang mengkristal menjadi sebuah istilah pencitraan itu didapati pada segelintir orang Bugis yang berwawasan sempit, terkungkung oleh garis linear penjiwaan tradisinya yang amat terbatas.

Seperti katak dibawah tempurung, kira-kira seperti itulah istilah yang paling tepat bagi orang-orang yang berpikiran demikian. Persepsinya amat terbatas bagai orang buta yang memegang belalai gajah sehingga beranggapan bahwa “Gajah itu panjang dan bulat bagai batang pohon kelapa..”.

“Aja’ muakkEampE-kEampE pada MalajuE, kalaki’”  (Jangan  bertingkah bagaikan orang Melayu..), demikian katanya. Ada apa pula dengan orang Melayu  ?. Ia mendengar tapi tidak menyimak. Lagu Bulu Alauna Tempe yang menurut kita sebagai lagu Bugis asli, padahal nada dan iramanya adalah murni Langgam Melayu.  Irama lagu asli Bugis sebenarnya tiada lain adalah Irama Passure’ yang naik turun tak beraturan. Sebagian besar dari kitapun tidak tahu pula, bahwa kebudayaan Melayu yang mewarnai keindahan budaya Bugis sehingga dapat dilihat sebagai sesuatu yang indah seperti sekarang. Orang Melayu yang mengajari leluhur  kita memakai celana panjang “Seluar”, kemudian kini dinamai sebagai “Seluara’ “. Bagaimana pula dengan orang Jawa ?. Perempuan Jawa mengajari  ibu-ibu kita mengenakan baju Kebaya yang akhirnya kita namai pula sebagai Baju Kabaja’.

Maka benarlah kiranya kata orang bijak dari masa lalu, Pakataui padammu rupatau, mupakataui alEmu.., pakalebbii'i padammu rupa tau, na mupakalebbii'i tu alEmu.., Sipattongeng, sipakEnrE', sipakkamasE-masE  (Me-manusiakan orang lain berarti me-manusiakan diri sendiri.., Me-mulia-kan sesama manusia, berarti memuliakan diri sendiri.., saling tenggang rasa, saling menjunjung, saling mengasihi). Orang arif itu tidak mengatakan, Pakaogi'i tauwE.. (Mem-Bugis-kan orang lain..). Akhirnya disinilah titik pentingnya untuk mempelajari khasanah budaya dan sejarah. Seorang manusia Bugis perlu untuk mengenal diri secara paripurna dimana upaya itu dimulai pada pengenalan tentang latar belakangnya. Keluhuran nilai yang ditimbanya pada upaya pengenalan itu akhirnya akan menumbuhkan sikap "mawas diri" dalam mengarungi masa depannya. "Naiya Ogi'E, najeppui alEna, taro pasoro gau'na, mappakalebbii ri tau bali lipunna.." (Orang Bugis itu : Mengenal dirinya, bertanggung jawab serta memuliakan orang dari luar negerinya..), demikian kata Andi Bau Mapparimeng. Kemudian disambungnya pula, " EE, La Oddang, Aja' mutajeng alEmu ipakalebbi, appadioloko mappakalebbii, Aja' muapparogi, appasaroko, saroi masEna padammu rupa tau, iyanatu wawang salama' lino matti' ri ahEra' " (EE, La Oddang, Jangan menunggu dihormati, melainkan berilah hormatmu terlebih dahulu, jangan sampai kau merugikan orang, melainkan untungkanlah orang itu, tanamlah budi yang baik pada sesama manusia, maka itulah bekal selamat dunia dan akhirat..).

"Mawas diri" yang dikatakan sebagai "Najeppui AlEna" dalam kosa kata Bugis itu, adalah suatu bekal yang sangat berguna untuk memandang dunia sekitarnya dengan lebih jernih. Kelebihan dan kekurangan diri akan nampak jelas jika senantiasa disertai dengan hati yang bersih. Membersihkan hati mustahil dapat dimulai jika tidak diawali dengan kejujuran. Jujur menilai dan melihat kekurangan diri, serta jujur pula dalam melihat kelebihan orang atau bangsa lainnya. Maka dengan sikap luhur seperti itu, "Ephoria" berlebihan akan sirna dengan sendirinya.

Berabad-abad yang lalu, La Tadampare' Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo mewasiatkan sikap itu dengan sungguh-sungguh. "Iya pada ripogau' malempu'E, napojiE DEwata SeuwwaE. Napaddeppungengngi ritu waramparangngE. Aja' mupasilEngengngi tauwE, mawE' mabEla. Sappareng manengngi iya napodEcEngngE tauwE "(3:1719:62). Artinya : Berbuat jujurlah selalu, karena sikap seperti itulah yang dikaruniai Dewata Yang Tunggal, sehingga berkumpullah rezeki yang berlimpah. Jangan membedakan sesama manusia, baik yang dekat maupun yang jauh. Usahakanlah dengan sesungguhnya, segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi sesama manusia..

Wallahualam Bissawwab.

1 komentar:

  1. Tabe' silessureng iya' kallolo pole wajo naiya ibilang jarimi paddisengeng ogiku'.engka pakkutanaku lao ri idi'...mammuarE' na ta itamoi okii ku.
    Tega naroo Ampe" pling makanja' le patterru ri idi nenniya anak appota ro riaa',,
    1.Bugis sejati artinya islam seakan hax status sdikit sj ajaran islam yg djlankan.sperti yg msih mmkai ilmu hitam itu tmasuk syirik.
    2.Bugis-Islam bbrapa organisasi mnerapkan ini.misal msih bnyak adat bugis yg di agungkan pdhal bertentangan dgn islam sejati.
    3.Islam seutuhnya:Kebalikan point (1)artinya hax sbgian adat bugis yg dpertahankan dan seakan-akan kita tpah mnjadi org jawa.
    ** ~As'Adiyah-Muhammadiyah mnurutq adlah hipotesis point 2 & 3.
    Tabe' k9 engka salah adakku nennia gau'ku wedding'e peddiri ati siddie tau are'gi siddie organisasi.Pakkutanaku dega abbatirenna,iya' simata makkeada ko iye pakkutanae.trima ksi' narekko
    tabacai apalgi ta bali ada adkku.Tabe'

    BalasHapus