Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Kamis, 13 Januari 2011

Budaya

"Joa", pengikut

"NarEkko naposiri'i DatuE, napumatEni Joana.." (Kalau sudah menjadi aib yang mencederai harga diri Datu, maka itu adalah saat bagi para pengikutnya untuk mempertaruhkan jiwa..).

...........................................................................................

Bertitik tolak pada ungkapan "Joa" diatas, maka ia dimaknai sebagai pengikut setia. Namun pada kesempatan lain, "Joa" diartikan secara harfiah sebagai peralatan yang terbuat dari sebatang kayu yang dipergunakan sebagai penggandeng sepasang sapi atau kerbau ketika membajak di sawah. Maka fungsi "Joa" sebagai ungsur peralatan membajak sawah tersebut adalah sebagai "alat pengikat" bagi sepasang sapi atau kerbau agar tidak saling terpisah dalam melaksanakan fungsinya. Namun demikian, "Joa" pula dijadikan sebagai istilah bilangan (hitungan) bagi hewan sapi dan kerbau. Sebagai contoh dapat dikemukakan, sbb :

- Duangngajoa saping nasapirengngi galungku (Sawahku ditukar dengan dua pasang sapi)
- Siajoa tEdong passEllEna kawalinna (Badiknya dipertukarkan dengan sepasang kerbau) 

Uniknya, istilah hitungan "Ajoa" atau "Joa" hanya berlaku pada hewan sapi dan kerbau saja. Tidak pernah ditemukan sebagai penghitung bagi hewan ternak lainnya, seperti : kambing, kuda, ayam dan lain sebagainya. 
Selain itu, "Joa" adalah poros utama tempat bertumpu peralatan bajak sawah. Maka "Joa" dipandang sebagai fungsi utama yang menggerakkan aktifitas atau pekerjaan membajak sawah yang merupakan sendi utama dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dimasa lalu.

Sebagai sebuah istilah bagi perangkat struktur dalam lingkungan aristokrat Bugis dimasa lalu, "Joa" adalah sebutan umum bagi seluruh pengikut Raja atau tokoh pejabat maupun bangsawan. "Joa" bagi seorang Raja boleh jadi adalah menteri, panglima, UlEbalang (Hulubalang), Pallapi' Aroo (Pengawal Pribadi), Kino (Ibu Susu), Pakkanna (Ksatria), To Warani (Pahlawan), Pabbicara (Hakim / Penasehat), atau bahkan Ata (Sahaya). Mereka semua yang terdiri dari lapisan struktur sosial tersebut adalah "Joa" (Pengikut) yang mengikatkan diri sebagai "Anggota Klan" dengan mengidentitaskan diri satu sama lainnya dihadapan Raja sebagai : "SengngataE" (Sesama Abdi).

Adalah hal yang menjadi suatu etiket tersendiri dalam hal tata bahasa krama dalam lingkungan Istana yakni ketika dihadapan "Datu" (Raja) dengan senantiasa menyebut diri sebagai "Ata" (Hamba/Patik) serta menyebut yang lainnya sebagai "Sengngatakku" (Sesamaku Abdi dihadapan Datu). Penyebutan "Sengngatakku" berlaku bagi semuanya, selain : Ana' Mattolana DatuE / Datu Lolo (Pangeran Mahkota /Putera Puteri Raja yang setara derajatnya dengan Datu sendiri), Datu MakkunraiyyE (Permaisuri / Gahara), Saudara atau kerabat yang setara dengan Datu dan Raja-raja negeri lain. Sebagai penjelasan uraian diatas, maka dihaturkan illustrasi percakapan dengan Datu, sbb :

Datu  :  Sienna muengka, La Oddang ? (Sejak kapan kau tiba, La Oddang ?)

Saya  :  Silalona mua lettu' atanna datuE, Pueng.. (Hamba baru saja tiba, Tuanku)

Datu  :  EbarE' engkatu kapang karEba maElo ri palettu' ?
            (Barangkali ada khabar yang ingin disampaikan kami ?)

Saya  :  Usompai Puengku DatuE ri sEsE alebbirengna..
             Iya naengkang AtaE mangolo ri cappa' ajEna Puekku DatuE,
             nasaba' maElo paissengngi Puekku makkadaE napumEnasai
             sengngatakku La Pajung tudang sipulung ri sEnEng mangoloE..
             (Sembah bhakti hamba bagi Tuanku dalam kemuliaannya..
              Adapun maksud hamba menghadap diujung kaki tuanku,
              yakni berkeinginan untuk memberitahu kepada pertuanannya tentang rencana
              sesamaku abdi tuanku yakni La Pajung untuk menyelenggarakan rapat keluarga
              pada hari senin depan...)

............................................................................. setelah berbincang beberapa lama, saya menanyakan perihal kesehatan Permaisuri. Maka tata bahasa saya adalah sebagai berikut :

Saya  :  TabE' Puang, aja namatula AtaE nasaba' pakkutanana lao ri Datu Puengna,
             Nasaba' siruntu'i AtaE Puekku Datu Lolo sangadiwenni',
             nasengengngi malasa-lasai garE' Puekku Datu MakkunraiyyE..
             (Ampuni hamba, Tuanku. Semoga hamba tidaklah kualat karena mempertanyakan
               perihal pertuanannya, pasalnya hamba telah bertemu dengan Pangeran Mahkota
               kemarin lusa, menurut beliau bahwa Tuanku Permaisuri kesehatannya sedang terganggu...)

Datu   :  Masala-sala pEnedding mEmengngi Puengmu ri sErE'na esso, naEkiya madisingni ...
              (Tuanmu memang agak sakit beberapa hari yang lalu, tapi sudah sembuh..)

Adalah merupakan suatu etika tersendiri dalam tata bahasa seorang "Joa" (pengikut) terhadap "Ajjoarengna" (Ikutannya) bahwa dianggap sebagai suatu hal yang kurang sopan sekiranya mengajukan pertanyaan secara langsung.

Bagi sebagian kalangan, tata bahasa yang selintas kedengarannya agak "menjilat" seperti demikian, namun dalam lingkungan "Pangadereng", itu adalah hal yang sepatutnya. Seorang Datu yang diillustrasikan diatas biasanya adalah paman saya sendiri. Namun begitulah "Wari" (Pranata) yang senantiasa berlaku hingga kini.

Anak-anak kandung penulis sendiri sehari-hari memanggil "Puang" (Tuanku) kepada ayah dan ibuku. Pada saat lain ketika ayah atau ibunda penulis menanyakan perihal "cucu-cucunya" tersebut, maka saya senantiasa menjawabnya dengan tata bahasa, sbb :

  Ibunda  : Maga maneng moi appoku, na' ? 
                 (Bagaimana khabarnya para cucuku, nak ?)
  Saya     : Madising-disingmoi sengngatakku iya maneng, Etta.."
                 (Mereka sesamaku abdi semuanya sehat walafiat, Etta..)

Maka tidak heran jika salah sorang puteraku pernah mengeluh, "Saya tidak punya kakek nenek dari pihak ayah..", katanya. Sesuatu yang kadang dianggap sebagai aturan kaku yang menciptakan "Gate" dalam perhubungan kekerabatan, namun sesungguhnya "Kasih Sayang" tidaklah terbatas tata bahasa belaka. Nilai luhur yang didapatkan dibalik kedisiplinan masa lalu itu adalah : terciptanya sikap saling memuliakan dan saling hormat menghormati satu sama lainnya yang diistilahkan sebagai Sipakatau na sipakalebbi rilalengna wari sipakkamasE-masEna assisumpungengloloE (Saling memanusiakan dan saling memuliakan dalam pranata saling mengasihi antar kerabat..). Maka "Joa" dan "Ajjoareng" adalah sesungguhnya adalah ikatan suatu hubungan dalam suatu kesatuan tersendiri.

Wallahualam Bissawwab..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar