NURANI
Bertahun-tahun mencari alamatnya,
namun tiada bersua jua. Wahai, jalan nurani ditempuh melalui kelok berliku,
jejak nafsu yang membuta. Duka lara akhirnya menjadi tongkat penuntun, ketika
pintunya diketuk dengan asa yang terputus. “Siapa ?”, tanya penjaga rumah, yang
belakangan memperkenalkan diri sebagai “hati”. “Aku.., pemilik jiwa yang
terbelit gundah nan lara. Si Buta yang salah mengenali takdir, kini lelah
memanggul nasib..”, jawabnya setengah berbisik, menyerupai desiran angin malam
kelam jelang hujan. “Masuklah.. tapi tinggalkan tongkat nelangsamu di depan
pintu”, suara itu bagai bernyanyi, membuka pintu tanpa irama derik.
Duhai, Sang Aku takjub pada
beranda rumah ini. Inilah dimensi lain yang tak tersentuh
sebelumnya,..diciptakan sebagai ruang putih nan luas tak bertepi, dimana segala
potensi kebaikan terhimpun didalamnya, dimensi “nurani”. Bahkan ketika benci,
dendam, amarah dan geram sempat masuk didalamnya, ia akan berubah nama menjadi
kasih, maaf, sayang dan cinta. Maka nurani adalah Rumah Suci, dimana semua
penghuninya senantiasa tersenyum maklum.
Sang Aku merasakan semuanya
dengan tanpa mengenal nama dan sebutannya. Tiada keinginan untuk mengetahui,
ini dan itu. Tiada lain yang dimengertinya, bahwa kedua kakiku ringan melangkah
tanpa tongkat gundah dan lara. Aku mencintai, Aku mengasihi dan Aku menyayangi
masa lalu, masa kini dan masa depanku. Bagaimanapun corak dan apapun warnanya,
telah kutulis dan kulukis menurut akalku.. dan inilah busanaku.
Wallahualambissawwab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar