Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Jumat, 19 Oktober 2012


TANAMAN BERHARGA, suatu renungan
                                               By. Laoddang


Nilai suatu kehidupan, diukur dari harganya.., demikian kalimat ini, kurangkai dengan ala kadarnya hari ini. Bagaimana mengenal harga kehidupan ?, sekiranya puteraku bertanya, ..kelak pada suatu ketika. Segala sesuatu memiliki harganya masing-masing, anakku. Namun yang menjadi neraca ukur bagi semuanya adalah : Harga Diri. Tetapi, menilai harga diri haruslah dengan timbangan iman, ..dan iman itu mestilah terjaga validitasnya dengan barometer taqwa.
………………………………………………………………………………………..

Suatu ketika, seorang tua mengeluhkan sikap anaknya. “Ia tidak tahu tata krama, bahkan tidak menghargaiku samasekali, selaku orang tuanya”. Wahai, seberapa banyak “harga” yang telah anda tanamkan dalam dirinya ?. Jika anda yakin telah cukup menanamkan “harga diri” yang cukup pada anak anda sejak dini, lalu memelihara dan merawatnya dengan suri tauladan yang baik, maka yakinlah : pohon berharga itu akan berbuah lebat pada hari ini. Ia akan berbuah terus menerus tanpa mengenal musim, bahkan disaat anda telah berada di haribaan-Nya.

“Duhai, saya tidak menanamkan apa-apa, selain mempertaruhkan tulang belulang berselaput urat dan daging ini kepada kehidupan yang keras, demi menghidupinya dan membesarkannya sampai hari ini..”, sanggah orang tua itu kemudian. Subhanallah, anda ibarat memagari sebidang kebun yang luas, namun tidak berusaha menanamkan apapun didalamnya. Tanah itu lestari tak terinjak siapapun, berkat pagar batu karang yang anda susun disekelilingnya. Namun anda tidak berusaha menanamkan apapun didalamnya, maka tumbuhlah semak perdu berduri, ..yang justru menusuk telapak kaki anda sendiri, ..pada hari ini.

“..katakan kepadaku, apa dan bagaimana menanamkan pohon ber-harga itu..”, pintanya memelas. Pepohonan itu bernama “harga diri”. Ia disebut dengan lafaldz berbeda oleh berbagai bahasa di muka bumi ini. Ia adalah “siri” di jazirah Sulawesi. Ia pula yang disebut “maruah” di negeri-negeri berbahasa Melayu. Ia juga digelar “martabat” di Pulau Jawa. Iapun adalah “honour” bagi seluruh bangsa berbahasa Inggris. Namun apapun namanya, ia adalah “nilai kemanusiaan” yang paling dalam. Ia adalah keluhuran, dimana pencaharian menuju ridlo Tuhan adalah petualangan tak berujung, jika tanpanya.

Seorang tua lain senantiasa tekun merawat tanaman berharga itu kepada anak-anaknya. Sejak anak-anak itu masih bayi mungil, ia memperlakukannya dengan lembut. Ibundanya tidak pernah merengut paksa segala sesuatu dari genggaman bayinya, melainkan dengan amat lembut, seraya menukar sesuatu yang lain, ..hal yang menurutnya aman digenggam buah hatinya.
Iapun tidak pernah “menyuruh” anak-anaknya, melainkan “meminta tolong” yang didahului permintaan maaf. “TabE’ Ana’ku, tulungnga’ cinampe’ melliangnga’ colo’..” (Maaf nak, tolonglah sebentar untuk pergi membeli korek api..), sejak anak itu kecil hingga tumbuh besar. Ketika anak itu kembali dari membelikan korek api, iapun menerimanya dengan mimik wajah cerah seraya memuji dengan tulus : “Maccaa ana’ku, kurusumange’ta, nak..” (Pintarnya anakku, terima kasih nak..). Maka anak-anak itu kini terbiasa dengan kata-kata halus dan penghargaan.

“Apakah dengan penghargaan semacam itu justru tidak membentuk si anak sebagai pribadi yang gila pujian dan angkuh dikemudian hari ?”, sergah orang tua itu pula. Wahai, ketulusan senantiasa menghasilkan buah yang manis. Seorang Master Chef dari Eropa, dihadapkan pada sebuah tantangan, memasak semangkuk Coto Makassar. Ia diperlengkapi dengan buku recipie yang lengkap nan detail. Mulai dari ingredient dengan quantity-nya, hingga pada preparation sampai proses memasaknya. Namun yakinlah, sehebat apapun ia dan selengkap apapun petunjuknya, namun ia tidak akan pernah bisa menghasilkan semangkuk Coto yang sebenarnya, tanpa pernah merasakan taste Coto Makassar, masakan orang lain sebelumnya.

Demikian pula dengan seorang anak, ia tidak akan pernah bisa menghargai orang lain, tanpa sebelumnya memiliki nilai harga diri dalam sanubarinya. Maka seorang yang senantiasa menghargai orang lain, adalah orang yang memiliki perbendaharaan harga diri yang nilainya tak terkira, ..kunci penutup renungan malam ini.


Wallahualam Bissawwab.

(Amanah bagi anak-anakku sekalian, : narEkko tapakarajai padatta rupatau, alEtamuatu tapakalebbii’, ana’ku..).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar