TANAMAN BERHARGA, suatu renungan
By. Laoddang
Nilai suatu kehidupan, diukur dari harganya.., demikian
kalimat ini, kurangkai dengan ala kadarnya hari ini. Bagaimana mengenal harga
kehidupan ?, sekiranya puteraku bertanya, ..kelak pada suatu ketika. Segala
sesuatu memiliki harganya masing-masing, anakku. Namun yang menjadi neraca ukur
bagi semuanya adalah : Harga Diri. Tetapi, menilai harga diri haruslah dengan
timbangan iman, ..dan iman itu mestilah terjaga validitasnya dengan barometer
taqwa.
………………………………………………………………………………………..
Suatu ketika, seorang tua mengeluhkan sikap anaknya. “Ia
tidak tahu tata krama, bahkan tidak menghargaiku samasekali, selaku orang
tuanya”. Wahai, seberapa banyak “harga” yang telah anda tanamkan dalam dirinya
?. Jika anda yakin telah cukup menanamkan “harga diri” yang cukup pada anak
anda sejak dini, lalu memelihara dan merawatnya dengan suri tauladan yang baik,
maka yakinlah : pohon berharga itu akan berbuah lebat pada hari ini. Ia akan
berbuah terus menerus tanpa mengenal musim, bahkan disaat anda telah berada di
haribaan-Nya.
“Duhai, saya tidak menanamkan apa-apa, selain mempertaruhkan
tulang belulang berselaput urat dan daging ini kepada kehidupan yang keras,
demi menghidupinya dan membesarkannya sampai hari ini..”, sanggah orang tua itu
kemudian. Subhanallah, anda ibarat memagari sebidang kebun yang luas, namun
tidak berusaha menanamkan apapun didalamnya. Tanah itu lestari tak terinjak
siapapun, berkat pagar batu karang yang anda susun disekelilingnya. Namun anda
tidak berusaha menanamkan apapun didalamnya, maka tumbuhlah semak perdu
berduri, ..yang justru menusuk telapak kaki anda sendiri, ..pada hari ini.
“..katakan kepadaku, apa dan bagaimana menanamkan pohon
ber-harga itu..”, pintanya memelas. Pepohonan itu bernama “harga diri”. Ia
disebut dengan lafaldz berbeda oleh berbagai bahasa di muka bumi ini. Ia adalah
“siri” di jazirah Sulawesi. Ia pula yang disebut “maruah” di negeri-negeri
berbahasa Melayu. Ia juga digelar “martabat” di Pulau Jawa. Iapun adalah
“honour” bagi seluruh bangsa berbahasa Inggris. Namun apapun namanya, ia adalah
“nilai kemanusiaan” yang paling dalam. Ia adalah keluhuran, dimana pencaharian
menuju ridlo Tuhan adalah petualangan tak berujung, jika tanpanya.
Seorang tua lain senantiasa tekun merawat tanaman berharga
itu kepada anak-anaknya. Sejak anak-anak itu masih bayi mungil, ia
memperlakukannya dengan lembut. Ibundanya tidak pernah merengut paksa segala
sesuatu dari genggaman bayinya, melainkan dengan amat lembut, seraya menukar sesuatu
yang lain, ..hal yang menurutnya aman digenggam buah hatinya.
Iapun tidak pernah “menyuruh” anak-anaknya, melainkan
“meminta tolong” yang didahului permintaan maaf. “TabE’ Ana’ku, tulungnga’
cinampe’ melliangnga’ colo’..” (Maaf nak, tolonglah sebentar untuk pergi
membeli korek api..), sejak anak itu kecil hingga tumbuh besar. Ketika anak itu
kembali dari membelikan korek api, iapun menerimanya dengan mimik wajah cerah
seraya memuji dengan tulus : “Maccaa ana’ku, kurusumange’ta, nak..” (Pintarnya
anakku, terima kasih nak..). Maka anak-anak itu kini terbiasa dengan kata-kata
halus dan penghargaan.
“Apakah dengan penghargaan semacam itu justru tidak
membentuk si anak sebagai pribadi yang gila pujian dan angkuh dikemudian hari
?”, sergah orang tua itu pula. Wahai, ketulusan senantiasa menghasilkan buah
yang manis. Seorang Master Chef dari Eropa, dihadapkan pada sebuah tantangan,
memasak semangkuk Coto Makassar. Ia diperlengkapi dengan buku recipie yang
lengkap nan detail. Mulai dari ingredient dengan quantity-nya, hingga pada
preparation sampai proses memasaknya. Namun yakinlah, sehebat apapun ia dan
selengkap apapun petunjuknya, namun ia tidak akan pernah bisa menghasilkan
semangkuk Coto yang sebenarnya, tanpa pernah merasakan taste Coto Makassar,
masakan orang lain sebelumnya.
Demikian pula dengan seorang anak, ia tidak akan pernah bisa
menghargai orang lain, tanpa sebelumnya memiliki nilai harga diri dalam
sanubarinya. Maka seorang yang senantiasa menghargai orang lain, adalah orang
yang memiliki perbendaharaan harga diri yang nilainya tak terkira, ..kunci
penutup renungan malam ini.
Wallahualam Bissawwab.
(Amanah bagi anak-anakku sekalian, : narEkko tapakarajai
padatta rupatau, alEtamuatu tapakalebbii’, ana’ku..).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar