RUANG KACA
By. La Oddang
Sebutir kristal pagi, berayun manja dipucuk dedaunan.
Setidaknya begitu anggapannya, ketika sejati rasanya abaikan bentuk, warna dan
dimensi. Bukan menurut siapa-siapa, karena Sang Aku tiada persepsi dalam
pelukan rahmat-Nya.
Aku melihat segalanya, katanya. Akupun mendengar, walau
tanpa nada, ujarnya pula. Duhai, segalanya terang, walau tanpa cahaya, meski terlindung
dibalik tabir putaran waktu, serunya kemudian.
Oiii, kau dimana ?, tanya entah siapa. Aku disini, pada
ruang hati di alam nurani. Jangan sela zikirku , jangan nodai dindingku, agar
pandanganku tak terhalang kabut lara dan debu merana. Aku bukannya apa-apa,
selain seonggok materi yang enggan terbangun dari sujudnya. Berlapis sajadah,
air matanya sendiri.
Wahai dikau, atau apapun sebutanmu. Jawablah rindumu, penuhi
hasratmu, raihlah kasihmu, semilir kisikan itu meminta. ..apalah dambaku kini ?,
jawabnya dalam tanyanya lembut. Kecuplah tulusku, peluklah pasrahku, rengkuhlah
segenap sayangku, hiruplah kasihku, sebanyak kau mau. Untukku, cukuplah Allah
bagiku.. Cukuplah Allah penjaminku.
Wallahualam Bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar