Rumpun Wija Lontara'... Komunitas pelestari budaya "Pangaderengna Tana Ugi"
Senin, 29 Oktober 2012
Selasa, 23 Oktober 2012
RUANG KACA
By. La Oddang
Sebutir kristal pagi, berayun manja dipucuk dedaunan.
Setidaknya begitu anggapannya, ketika sejati rasanya abaikan bentuk, warna dan
dimensi. Bukan menurut siapa-siapa, karena Sang Aku tiada persepsi dalam
pelukan rahmat-Nya.
Aku melihat segalanya, katanya. Akupun mendengar, walau
tanpa nada, ujarnya pula. Duhai, segalanya terang, walau tanpa cahaya, meski terlindung
dibalik tabir putaran waktu, serunya kemudian.
Oiii, kau dimana ?, tanya entah siapa. Aku disini, pada
ruang hati di alam nurani. Jangan sela zikirku , jangan nodai dindingku, agar
pandanganku tak terhalang kabut lara dan debu merana. Aku bukannya apa-apa,
selain seonggok materi yang enggan terbangun dari sujudnya. Berlapis sajadah,
air matanya sendiri.
Wahai dikau, atau apapun sebutanmu. Jawablah rindumu, penuhi
hasratmu, raihlah kasihmu, semilir kisikan itu meminta. ..apalah dambaku kini ?,
jawabnya dalam tanyanya lembut. Kecuplah tulusku, peluklah pasrahku, rengkuhlah
segenap sayangku, hiruplah kasihku, sebanyak kau mau. Untukku, cukuplah Allah
bagiku.. Cukuplah Allah penjaminku.
Wallahualam Bissawab.
Jumat, 19 Oktober 2012
SEJARAH, SEBUAH FAKULTAS
By. La Oddang
Cendekiawan Nursangaji berujar, "..kita sedang menuntut
ilmu pada Universitas Kehidupan". "..aku memilih Fakultas
Sejarah", kataku kemudian.
........................................................................................................
"Hal ihwal masa sebelum saat ini..", demikian
pengertianku tentang "sejarah". Terukir jelas pada dinding waktu,
dimana Allah berfirman tentangnya. Maka ia adalah kisah yang digurat oleh Sang
Guru Mumpuni, bernama : Pengalaman.
Sejarah menulis jatuh bangunnya seseorang, keluarga, kaum,
umat, bangsa dan semua mahluk. Maka ia adalah ta'wil, cerminan ihwal bagi masa yang
akan datang. "Sejarah tak akan pernah mengulangi dirinya, namun karakter
manusia-lah yang senantiasa memutar
ulang sejarah", ujar Sang HAMKA, “Dari Perbendaharaan Lama”-nya. Duhai,
sejarah adalah gambaran peta sistem, dimana Allah meletakkan "Hukum
Alam-Nya".
Sang Guru mengajarkan sejarah, ia mengutip setiap butir
hikmah didalamnya, sebagai ibrah yang adiguna. Memaafkan dan berlaku adil,
begitulah permata sejarah menamakan dirinya. Menghargai waktu dan arif bagi
kehidupan di masa ini, demikian sejarah senantiasa menunjukkannya. Maka
sejarah, sesungguhnya adalah "Ayat Allah" yang terukir pada sepanjang
masa. Wahai, bacalah olehmu, ukirlah dengan indah, …sejarahmu sendiri.
Wallahualam Bissawab.
LUPA, PEMBEBASAN BEBAN
“Intropeksi, by. La Oddang”
“Aku lupa banyak hal yang telah terjadi di masa lalu..”,
raga renta itu mengeluh panjang pendek. Ia memicingkan mata, seraya memandangi
wajahku dalam-dalam, mencoba melukis rautku dibenaknya yang samar. “Mataku kini
sudah rabun, pendengaranku pun sudah tidak jelas. Segalanya terdengar
samar-samar..”, katanya dengan suara tergetar, dan nafas yang memburu.
Ininnawa, apakah ini siksaan usia ?. Pembalasan atas
kebugaran pada masa muda ?. Duhai, bukankah umur panjang adalah suatu anugerah
?. Kesempatan yang lebih luas untuk bertobat dan mengucurkan amal kebajikan
sebanyak-banyaknya. Tapi mengapa rumah jiwa ini haruslah dibuat reot dan rapuh
?. Bukankah “ Sang Penciptanya” adalah Yang Maha Pemelihara ?
……………………………………………………………………………………………….
“Wahai, Sang Pikir yang tiada henti berburuk sangka..”,
demikian Sang Nurani bersabda. Ketahuilah olehmu, bahwa keterbatasan tubuh di
usia tua adalah limpahan kasih sayang dari Penciptanya.
Ingatan yang terbatas adalah pembebasan. Kemerdekaan dari
segala kisah sedih masa lalunya yang meluluhlantakkan singgasana hatinya.
Pelepasan dari penjara cita kasihnya yang musnah, lalu meratapi nasib, seraya
mengutuk takdir. Pembebasan logikanya dari pengalaman tentang kesenangan, yang sempat
memalingkan jiwanya dari rasa kecukupan.
Melupakan kejadian sedih dimasa lalu, bukankah itu berkah ?.
Ayat Tuhan yang terpatri kepadanya, bahwa : “..ingatlah hanya kepada-Ku, bukan
kepada yang lain lagi”.
Mata yang rabun adalah tabir keselamatan. Ia tiada lagi awas
terhadap segala hal, yang sekiranya dapat melepaskan belenggu nafsunya. Tiada
lagi nilai harta bendawi yang dapat dihitungnya.. Pastilah Tuhan berfirman,
“..pandanglah Aku, jangan berpaling lagi..”. Bahkan pendengarannya pun telah
disumpal, agar hirup pikuknya dunia tidaklah lagi mengusik hatinya.
Biduk rapuh terhampar tenang di pantai berpasir, jauh dari
bebaris permainan gelombang nan riuh, menghadap laut kecintaan, bersiap
tersungkur lemah di haribaan malam, diantar langit senja berlukis nirwana.
Kediaman jiwa yang reot itu, disanggah tulang belulang yang
kini rapuh. Jangan kemana-mana lagi, nikmati senyap dan tenteram jiwanya, dalam
bimbingan kasih-Nya, berbenah menghadap kepada Tuhan-Nya, menuju barisan jiwa
para Mutmainnah..
TANAMAN BERHARGA, suatu renungan
By. Laoddang
Nilai suatu kehidupan, diukur dari harganya.., demikian
kalimat ini, kurangkai dengan ala kadarnya hari ini. Bagaimana mengenal harga
kehidupan ?, sekiranya puteraku bertanya, ..kelak pada suatu ketika. Segala
sesuatu memiliki harganya masing-masing, anakku. Namun yang menjadi neraca ukur
bagi semuanya adalah : Harga Diri. Tetapi, menilai harga diri haruslah dengan
timbangan iman, ..dan iman itu mestilah terjaga validitasnya dengan barometer
taqwa.
………………………………………………………………………………………..
Suatu ketika, seorang tua mengeluhkan sikap anaknya. “Ia
tidak tahu tata krama, bahkan tidak menghargaiku samasekali, selaku orang
tuanya”. Wahai, seberapa banyak “harga” yang telah anda tanamkan dalam dirinya
?. Jika anda yakin telah cukup menanamkan “harga diri” yang cukup pada anak
anda sejak dini, lalu memelihara dan merawatnya dengan suri tauladan yang baik,
maka yakinlah : pohon berharga itu akan berbuah lebat pada hari ini. Ia akan
berbuah terus menerus tanpa mengenal musim, bahkan disaat anda telah berada di
haribaan-Nya.
“Duhai, saya tidak menanamkan apa-apa, selain mempertaruhkan
tulang belulang berselaput urat dan daging ini kepada kehidupan yang keras,
demi menghidupinya dan membesarkannya sampai hari ini..”, sanggah orang tua itu
kemudian. Subhanallah, anda ibarat memagari sebidang kebun yang luas, namun
tidak berusaha menanamkan apapun didalamnya. Tanah itu lestari tak terinjak
siapapun, berkat pagar batu karang yang anda susun disekelilingnya. Namun anda
tidak berusaha menanamkan apapun didalamnya, maka tumbuhlah semak perdu
berduri, ..yang justru menusuk telapak kaki anda sendiri, ..pada hari ini.
“..katakan kepadaku, apa dan bagaimana menanamkan pohon
ber-harga itu..”, pintanya memelas. Pepohonan itu bernama “harga diri”. Ia
disebut dengan lafaldz berbeda oleh berbagai bahasa di muka bumi ini. Ia adalah
“siri” di jazirah Sulawesi. Ia pula yang disebut “maruah” di negeri-negeri
berbahasa Melayu. Ia juga digelar “martabat” di Pulau Jawa. Iapun adalah
“honour” bagi seluruh bangsa berbahasa Inggris. Namun apapun namanya, ia adalah
“nilai kemanusiaan” yang paling dalam. Ia adalah keluhuran, dimana pencaharian
menuju ridlo Tuhan adalah petualangan tak berujung, jika tanpanya.
Seorang tua lain senantiasa tekun merawat tanaman berharga
itu kepada anak-anaknya. Sejak anak-anak itu masih bayi mungil, ia
memperlakukannya dengan lembut. Ibundanya tidak pernah merengut paksa segala
sesuatu dari genggaman bayinya, melainkan dengan amat lembut, seraya menukar sesuatu
yang lain, ..hal yang menurutnya aman digenggam buah hatinya.
Iapun tidak pernah “menyuruh” anak-anaknya, melainkan
“meminta tolong” yang didahului permintaan maaf. “TabE’ Ana’ku, tulungnga’
cinampe’ melliangnga’ colo’..” (Maaf nak, tolonglah sebentar untuk pergi
membeli korek api..), sejak anak itu kecil hingga tumbuh besar. Ketika anak itu
kembali dari membelikan korek api, iapun menerimanya dengan mimik wajah cerah
seraya memuji dengan tulus : “Maccaa ana’ku, kurusumange’ta, nak..” (Pintarnya
anakku, terima kasih nak..). Maka anak-anak itu kini terbiasa dengan kata-kata
halus dan penghargaan.
“Apakah dengan penghargaan semacam itu justru tidak
membentuk si anak sebagai pribadi yang gila pujian dan angkuh dikemudian hari
?”, sergah orang tua itu pula. Wahai, ketulusan senantiasa menghasilkan buah
yang manis. Seorang Master Chef dari Eropa, dihadapkan pada sebuah tantangan,
memasak semangkuk Coto Makassar. Ia diperlengkapi dengan buku recipie yang
lengkap nan detail. Mulai dari ingredient dengan quantity-nya, hingga pada
preparation sampai proses memasaknya. Namun yakinlah, sehebat apapun ia dan
selengkap apapun petunjuknya, namun ia tidak akan pernah bisa menghasilkan
semangkuk Coto yang sebenarnya, tanpa pernah merasakan taste Coto Makassar,
masakan orang lain sebelumnya.
Demikian pula dengan seorang anak, ia tidak akan pernah bisa
menghargai orang lain, tanpa sebelumnya memiliki nilai harga diri dalam
sanubarinya. Maka seorang yang senantiasa menghargai orang lain, adalah orang
yang memiliki perbendaharaan harga diri yang nilainya tak terkira, ..kunci
penutup renungan malam ini.
Wallahualam Bissawwab.
(Amanah bagi anak-anakku sekalian, : narEkko tapakarajai
padatta rupatau, alEtamuatu tapakalebbii’, ana’ku..).
Minggu, 07 Oktober 2012
Selasa, 02 Oktober 2012
NURANI
Bertahun-tahun mencari alamatnya,
namun tiada bersua jua. Wahai, jalan nurani ditempuh melalui kelok berliku,
jejak nafsu yang membuta. Duka lara akhirnya menjadi tongkat penuntun, ketika
pintunya diketuk dengan asa yang terputus. “Siapa ?”, tanya penjaga rumah, yang
belakangan memperkenalkan diri sebagai “hati”. “Aku.., pemilik jiwa yang
terbelit gundah nan lara. Si Buta yang salah mengenali takdir, kini lelah
memanggul nasib..”, jawabnya setengah berbisik, menyerupai desiran angin malam
kelam jelang hujan. “Masuklah.. tapi tinggalkan tongkat nelangsamu di depan
pintu”, suara itu bagai bernyanyi, membuka pintu tanpa irama derik.
Duhai, Sang Aku takjub pada
beranda rumah ini. Inilah dimensi lain yang tak tersentuh
sebelumnya,..diciptakan sebagai ruang putih nan luas tak bertepi, dimana segala
potensi kebaikan terhimpun didalamnya, dimensi “nurani”. Bahkan ketika benci,
dendam, amarah dan geram sempat masuk didalamnya, ia akan berubah nama menjadi
kasih, maaf, sayang dan cinta. Maka nurani adalah Rumah Suci, dimana semua
penghuninya senantiasa tersenyum maklum.
Sang Aku merasakan semuanya
dengan tanpa mengenal nama dan sebutannya. Tiada keinginan untuk mengetahui,
ini dan itu. Tiada lain yang dimengertinya, bahwa kedua kakiku ringan melangkah
tanpa tongkat gundah dan lara. Aku mencintai, Aku mengasihi dan Aku menyayangi
masa lalu, masa kini dan masa depanku. Bagaimanapun corak dan apapun warnanya,
telah kutulis dan kulukis menurut akalku.. dan inilah busanaku.
Wallahualambissawwab..
Senin, 01 Oktober 2012
ANAK BANGSA
Inilah sekilas geliat hidup mereka, para Anak Bangsa ini
yang kupersebutkan baginya, jika sekiranya sebutan “bangsawan” terkesan
menjauhkan dirinya dari ridlo Tuhannya. Kututurkan dengan santun, baginya yang
mencintai Allah SWT, melebihi atas segala atribut duniawi, tempatnya menjejak
sejarah. Baginya yang senantiasa merindu Rasululullah SAW, dengan segenap rasa
dalam sukmanya. Baginya yang bangga terhadap agamanya, risalah pusaka para Nabi
dan diwasiatkan para anbiyaa’, mustika yang dilekatkannya bersanding dengan
jiwanya, hingga takdir Allah memanggil menghadap keharibaan-Nya. Baginya pula
yang menebarkan kedamaian sebagai amanah Rohmatan fil Alamien, yang didalamnya
adalah segenap cucu Adam AS dan segenap
ciptaan Allah yang wajib dipelihara kemaslahatannya.
……………………………………………………………………………………………………..
Ini bukanlah suatu penuturan tentang sejarah, maka tiada
angka tahun yang disematkan diantaranya. Namun sesungguhnya ia adalah Tokoh
Sejarah yang namanya bersinar, sehingga lembaran permukaan sejarah terang
benderang oleh kilau cahayanya. Semogalah kiranya, dengan penuturan sekilas
ini, sudilah kiranya mencari hal ihwal mereka, para mujahid dan mujahadah ini. Mereka
yang namanya banyaklah tertulis pada jalan-jalan yang kita lewati hari ini.
SUMPAH JABATAN SANG RAJA
Syahdan, Pulau Sulawesi yang bentuknya menyerupai bunga
angrek itu mendapat limpahan Rahmat Allah. SWT. Curahan syiar Islam yang
dirintis oleh ketiga Muballig dari Minangkabau, akhirnya jua bersinar terang di
seantero negerinya.
Berbeda halnya dengan di Pulau Jawa yang terlebih dahulu
mendapat curahan hidayah itu, risalah Nabi SAW lebih cepat tersebar di negeri
pelaut perkasa ini. Kalaulah di Jawa, risalah Islam awalnya diperkenalkan
kepada kawula negerinya yang kemudian secara bertahap menebar, hingga akhirnya
diterima pula oleh Raja-Rajanya. Pada beberapa negeri di Jawa, turunan para
Muballig itu haruslah memegang tampuk kekuasaan terlebih dahulu, barulah Islam
dapat diterima oleh kaum penguasa pribuminya. Adapun halnya di Sulawesi Selatan,
Islam mulai diperkenalkan kepada Raja-Rajanya yang kemudian menerimanya, hingga
kemudian diikuti oleh rakyatnya. Mengapa bisa demikian ?.
Sesungguhnya, sejarah dan tradisi kepemimpinan para Raja di Sulawesi
bermula pada jaman “sianrE balE” (saling memakan bagai komunitas ikan). Sebutan
pada kondisi kacau balau dalam kehidupan bermasyarakat, ketika tiada hukum dan
pemimpin yang cukup kuat untuk menertibkan keadaan tersebut. Masa kegelapan
dimana yang kuat sewenang-wenang terhadap yang lemah itupun berlangsung cukup
lama, sebagaimana digambarkan berbagai Lontara , yakni selama “pitu pariamanna”
(tujuh zaman). Maka kemudian, masyarakat negeri saling menghimpun diri dan
keluarga mereka dalam kelompok-kelompok kecil yang kerap disebut sebagai
“anang” (persekutuan keluarga). Kiranya hanya dengan himpunan kesatuan kecil
itu, barulah mereka dapat bertahan dalam suasana kacau tersebut. Selanjutnya,
kerapkali terjadi perang antar Anang disebabkan perebutan lahan atau kawasan,
dalam usaha mendominasi dan memperkuat pengaruh kelompoknya masing-masing.
Ditengah suasana “chaos” itu, tampillah sosok kharismatik
serta ber-Ilmu Pengetahuan. Kemunculan tokoh yang tidak diketahui asal
muasalnya itu kemudian menjadi pemimpin alternative bagi sekalian Anang yang
pada akhirnya lelah juga berperang. Kiranya hal ini adalah termasuk yang
dimaksudkan Al Qur’an sebagai “Ulul Albab” (peringatan bagi orang-orang yang
berpikir). Bahwa Allah SWT berfirman : “Yuw’tiyal
hikmata man yasyaa’u, wa man yuw’tal hikmata faqod uwwtiya khoiran, wa maa’
yazzakkaru illaa uwwlul ‘albaab” (QS.
Al Baqarah ; 269), artinya : “Dianugerahkan Al Hikmah kepada siapa yang Dia
kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi Al Hikmah itu, ia benar-benar telah
dikaruniai anugerah yang banyak. Dan hanya orang berakallah yang dapat
mengambil pelajaran. Kiranya itu pula janji Allah SWT bagi hamba-Nya yang
berilmu pengetahuan”.
Maka ia dijadikan pemimpin atas permintaan dengan sangat
oleh rakyat negeri itu yang diwakili oleh Matoa Ulu Anang-nya masing-masing.
Namun sebelum ditabalkan sebagai “raja/ratu”, ia pula harus mengadakan
perjanjian dengan para penghulu kaum/rakyat, antara lain dikutip sebagai
berikut :
1.
LUWU
Berkatalah para wakil rakyat :
“Angingko sia LapuangngE, kiraukkaju.
Riakko miri’, riakkeng teppa, muteppalireng. Mau mangerre’I pangarra’na
tudang-tudang tellEwa ri sebalinna, palili’ bessi ri tunruanna, napatudangngi
ri nawa-nawanna lE’ PajungngE rilala mua..”
(Engkaulah angin Tuanku, kami daun kayu
jua. Dimanapun engkau berhembus, kesitulah kami terbawa. Walau rakyat
taklukanmu rukun bagaikan suami isteri, namun jika Tuanku yang menghendakinya,
akan dipisahkan jua..).
Kemudian berkata pulalah AnrEguru Ana’
Arung berkata pula :
“Puang temmatenni sulo, Ata tenriatenniang
sulo. Puang temmabbawampawang, Ata tenriabbawampawang. Puang Mappattutu, Ata
ripattutu. Puang TeppalEwo, Ata tenrilEwo. Puang Teggoro’ Liu, Ata telliu
sEpe’..”
(Tuanku tidak memegang obor, Rakyat tidak
pula dipegangkan obor. Tuanku tidak sewenang-wenang, Rakyat tidak
disewenang-wenangi. Tuanku memelihara, Rakyat yang dipelihara. Tuanku tidak
mengepung, Rakyat tidak dikepung. Tuanku tidak akan melubangi hal yang tertutup,
Rakyat tidak akan menutupi saluran air..”
Makna hak dan kewajiban diantara Raja dan
Rakyat diatas dimaksudkan bahwa, seorang raja senantiasa berikhtiar untuk
kemaslahatan rakyatnya. Sebagai seorang pertuanan, iapun senantiasa
berininsiatif untuk berusaha mengusahakan kesejahteraan bagi rakyat, walaupun
tanpa diperingatkan oleh rakyat yang memintanya.
Seorang raja haruslah selalu bersedia
mendengar keluh kesah rakyatnya dan rakyat juga berhak untuk didengarkan
keterangannya. Kemudian makna “TeppalEwo dan TenrilEwo” (mengepung dan
dikepung) diatas adalah Raja tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada
rakyatnya dan rakyatpun tidak boleh dipaksa melakukan sesuatu tanpa ketentuan
adat. Lalu disambung pula dengan “ Teggoro’ Liu dan Telliu SEpe’” (tidak akan
melubangi hal yang tertutup dan tidak akan menutupi saluran air), adalah :
Pertuanan tidak boleh mencelakakan rakyatnya dan rakyat juga tidak boleh
menghalangi sumber kehidupan negeri.
2.
GOWA
Berkatalah para Kasuwiang :
“Ikau maE kiallE KaraEngnga”
(engkaulah yang kami jadikan pertuanan
kami)
Menjawablah Tumanurungnga :
“NukaraEngamma’ sallang, kumaddEngka,
kumangallE jE’nE’”
(kalian menjadikanku Pertuanan, namun
tetaplah nanti akku harus menumbuk padi dan mengambil air)
Berkatalah Kasuwiangnga :
“IakkannEng BainEmmang tamma’dEngka
tammangallE jE’nE’, olo ikau mamosEng..”
(sedangkan para isteri kami tidak menumbuk
padi dan tidak mengambil air, apalagi engkau yang menjadi pertuanan kami..)
Kemudian pada saat lain, setelah KaraEng
Bayo dinikahkan dengan Tumanurungnga ri TamalatE, maka iapun diambil sumpahnya,
antara lain :
Berkata KaraEng Bayo :
“Naia nuallEku KaraEng, angkanama’ nu
mammio’ “
(adapun setelah kalian menjadikanku sebagai
pertuanan, maka aku bersabda dan kalian yang menyahut.. ).
Para Kasuwiang menjawab :
“Antu kiallEnu KaraEng, KaraEngmako kau,
Atami ikambE. Takkairangmako ikau, lau maki’ ikambE. Sampang sappE takkairang
rEppE’tong mitu laua. Napunna sappE takkairang, natarEppEka laua, matEmi
ikambE. IkambE tanaka’do bassinnu, ikau tanak’do bassimmang. REwatapa
ambunoki’. Ikau rEwatatonji ambunoko, Makkanamako kimammio’ !”
(dalam hal engkau kami angkat sebagai
pertuanan, maka engkaulah pertuanan dan kamilah rakyatmu. Engkaulah tempat kami
bergantung dan kami buah “bila” yang bergantung. Jika dahan bergantungnya
patah, maka buah “bila” itu akan pecah. Namun apabila tidak pecah, maka matilah
kami. Kami tidak dimakan oleh tombakmu, dan engkau pun tidak dimakan oleh
tombak kami. Kami barulah mati jika
Tuhan yang membunuh kami. Engkaupun demikian, nantilah engkau mati jika Tuhan
yang menghendakinya. Bersabdalah dan kami menyahut !).
Berkatalah pula KaraEng Bayo :
“Angingma’ nulEko kayu !. JE’nE’ma nu
batang mamanyu’ !”
(Akulah angin dan daun kayulah kalian !.
Akulah air dan batang hanyutlah kalian !)
Menjawablah Kasuwiang :
“Iyo !. Naniasa’ni maridiaji marunang !.
Iyo, naisani’ sompo’bonappako ki’ anynyukan !”
(iya !. Tetapi yang rontok saja yang jatuh
!. Iya, setelah engkau bagaikan air pasang, barulah kami hanyut !).
Kemudian disambungnya pula, :
“Manna ana’mang bainnEmmang, katanangaiai
buttaiyya takingaitongi. AnnE kiallEnu kikaraEngang, kalEmanji makkaraEng. TEAI
PANGANUAMMANG MAKKARAENG. TanungallEi janganta ri lEranna, tanukoccikai bayaota
ri kambotimmang,. TanuallEai Kaluku sibatummang, rappo sipaEmmang. Napunna nia’
pangnganummang nukaEroki, nuballi sitaba nuballia, nusambEi sitaba nusambEia.
Nupalaki, sitaba nupalaka nakisarEangko. Tanutappakiai nuallE panganuammang.
Naia ri ana’bainEmmang, apaji nagau’na
nucini’ siagang rapanna. Naia bainEngmang mappamanakanji siagang parEwatanga
siagang baji’nu kodinu. Naia ri ana’ buranEmmang punna ganna’mo lima-lima
tinggina, kupamangEmo rikau, apa nupassaroannu mamo. Na punna takupamangEa,
tanuallEi manna antEkamma lompona. KaraEngnga tamannappu’ bicara punna taEna
gallarangnga. Gallarang taEna nannappu bicara bundu’ punna taEna KaraEngnga.
Jamanna BatE Salapangnga, balla’ sibatu lolling bonEna, barugana Tanana
palampanna kijama. IratEpi ri palampanga assa’ kiajari anjama. Punna
lappi’sEangngi KaraEngnga, apparE’ki’ bisEang sibatu, lolling bantilangna,
iratEpi ri bangtilanna kilappasa’..”
(biarpun anak dan isteri kami, jikalau
mereka tidak disukai negeri, kami pun tidak menyukainya. Dalam hal ini kami
pertuankan engkau, maka hanya diri kami yang mempertuankan engkau, BUKAN YANG
MENJADI KEPUNYAAN KAMI YANG MEMPERTUANKAN. Engkau tidak boleh mengambil ayam
kami di kandangnya, dan engkau tidak akan mengait telurnya pada keranjang
telurnya. Engkau tidak akan mengambil buah kelapa kami walau sebutirpun dan
juga pinang setumpukan kami. Jikalau ada hak milik kami yang engkau ingini,
maka engkau harus membelinya dengan harga yang sepantasnya atau engkau
menggantinya yang sesuai. Jika engkau meminta sesuatu yang wajar, maka kami
akan memberinya. Engkau tidak boleh langsung mengambil kepunyaan kami. Adapun
tentang anak perempuan kami, maka yang dinilai adalah tingkahlaku serta adat
sopan santunnya. Mengenai isteri kami, mereka hanya dalam ikatan kekeluargaan
serta jabatan menurut baik dan burukmu. Tentang anak lelaki kami, apabila
tingginya sudah cukup Lima-Lima, kami akan serahkan kepadamu untuk disuruh
menurut kehendakmu. Bilamana kami tidak berkehendak menyerahkannya, engkaupun
tidak boleh mengambilnya, seberapapun besarnya ia. Pertuanan tidak boleh
memutus perkara jika Gallarang tidak hadir. Demikian pula Gallarang tidak boleh
menetapkan pernyataan perang jika Pertuanan tidak hadir. Tuga BatE Salapang
adalah membangunkan untukmu sebuah rumah, lengkap dengan ruang sidang, sawah
dan lumbungnya. Bila padi telah ada di lumbungmu, barulah kami berhenti
bekerja. Jika hendak naik perahu, maka kami membuatkan sebuah perahu, lengkap dengan
tempat bernaungnya. Bila engkau telah berada di tempat bernaung di perahu,
barulah kami melepasnya..).
3.
BONE
Berkatalah orang banyak :
“Iana mai kilaoan ikkeng silise’, Puang.
Aja’ kimabusung, tania kipomatula, aja’ kimawedda-wedda, mEwai makkEada-ada
Puammeng. MaElokkeng riamasEang. Tamaradde’na mai ri tanata, aja’na tallajang,
tudanni’ mai, mangkaukiwi atatta. NaElo’mu kua. Passurongmu ripogau’. Namau
anammeng napattarommeng, mutEaiwi, kitEaitoi. REkkua tudammuni’ mai ri tanata,
nalai atatta..”
(adapun maksud kami sekalian sampai kemari,
Tuanku. Semogalah kiranya kami tidaklah durhaka, semoga bukan pula penyebab
sehingga kami pendek umur, jangan pula kami terkena kutuk karena saling
berbicara dengan Pertuanan kami. Sebab harapan kami untuk dianugerahi.
Menetaplah di negeri kita ini, janganlah lagi mairat, duduklah disini, untuk
memimpin rakyatmu. Kemudian kehendakmulah yang jadi. Perintahmu yang
dilaksanakan. Walaupun anak dan isteri kami, jika engkau tidak menghendakinya,
kamipun tidak menghendakinya pula. Namun duduk bertahtalah di negerimu ini,
kamilah rakyatmu..).
Maka bertanyalah ManurungngE ri Matajang :
“TemmubalEccoregga’ mennang temmusalangka
lEssoregga’ ?”
(apakah nanti kalian tidak mengecohku atau
tidak memakzulkanku dari tahta ?)
Maka selanjutnya, terjadilah kesepakatan
antara ManurungngE dengan para pemuka kaum.
4.
SOPPENG
Berkatalah ketiga Matoa :
“Iana mai kiengkang, La Marupe’, maElokkeng
muamasEang, aja’na muallajang, naikona kipopuang. Mudongiri temmatippa’keng,
musalipuri temmadingikkeng, muwessE temmakapakkeng. Naikona poatakkeng,
muwawakkeng ri mawE’ ri mabEla. Namau ana’meng napattarommeng, mutEaiwi, ikkeng
tEatoi..”
(adapun maksud kedatangan kami, wahai
engkau yang tidak dikenal, adalah harapan kami atas anugerahmu, janganlah
mairat, engkaulah yang kami jadikan pertuanan. Engkau jaga kami dari gangguan
burung-burung pipit, engkaupun menyelimuti kami agar kami tidak kedinginan,
engkaupun mengikat kami bagai onggokan padi agar tidaklah hampa. Engkaulah
pertuanan kami, membawa kami ke tempat yang dekat dan jauh. Walaupun anak dan
isteri kami, jika engkau tidak menghendakinya, kamipun tidak menghendakinya
pula..).
Bertanyalah ManurungngE ri Sekkanyili’ :
“TemmubalEccoregga’ mennang temmusalangka
lEsso’ga’, apa’ iya makkedamu mau ana’ku pattaroku mutEawi kutEatoi. Iya’
makkuto, mau ana’ku pattaroku mutEaiwi, kutEaitoi !”
(apakah kalian tidak bermaksud mengecohku
kelak lalu memakzulkanku dari tahta. Adapun pernyataan kalian, bahwa walau anak
dan isteri kami, jika aku tidak menghendakinya, maka kalian tidak
menghendakinya juga. Demikian pula dengan aku, walau anak dan isteriku, jika
kalian tidak menghendakinya, akupun tidak menghendakinya pula !).
5.
PAMMANA
Berkatalah Matoa To Panennungi setelah kaki
We Tenri Lallo Arung Liu dijejakkan pada tanah pelantikan :
“O, We mappaio ! Naioakko langi, nasaranko
peretiwi, nalinge’ko toparampu’-parampu’, naturungio pammasE dEwata, Elo
toparampu-rampu. Mumanaa’i alebbirenna nEnEmu, musawekengngi adatungngE ri
Pammana. Mudongirikkeng temmatippa to Pammanamu. Musalipuri temmadingingngi to
Pammanamu. Puanno kiata, atanakkeng mupuang. Angollino kisawe’, attampano
kilao, assurono kipEgau’i, narEkko natunrengngi ade’. Anginno kiraukkaju, riao
miri, riakkeng teppa, natunrengngE ade’. Buluu’-buluu’ mutettongi,
buluu’-buluu’ kilEwoio, natunrengngE ade’. Lompo’-lompo’ mutettongi,
lompo’-lompo’ kilEwoio, natunrengngE ade’. Muwawai ri perri nyameng to maEgamu,
narEkko natunrengngE ade’. MulajErengngi ri mawE’ ri mabEla to pammanamu, rEkko
natunrengngE ade’. Mutellengengngi ri jaa’E, muomporengngi ri madEcEngngE,
rEkko natunrengngE ade’. Datu tungke’ko ri tanamu, matinro mattukku ulu ajE,
ade’pa tedduko mupEsedding. Iatopa jancitta : TemmuEnrEkeng ri buluu’E,
temmunooreng ri lompo’E. Ade’na tanaamu : Tessiakkale’-kalekeng ataE puangngE,
tessijellokeng roppo-roppo. Iatopa jancitta : Temmuokkoreng wiwE,
temuatteling-telingeng, temmuanttanrErEang ba’ba, temmuattampu-tampukeng
tomaEgamu. Iatopa jancitta : Temmugorokeng liu to pammanamu, temmusobbuang
ba’ba. Tekkijampangiko mallaleng. Datuo mudatu tungke’ ri tanamu.
TenriwElompElongio ri addatummu. Muduppaiakkeng ada muttamakkeng mupassurekkeng
ada massu’keng, iakia muassissengeppi ade’mu. Naiya bicara ri lalengna Pammana,
marenni’ mawessa, olona maneng ade’E. Iatopa jancitta : Tessilaloko ri ade’mu,
tessiwElompElongngi ri ade’ puraonroE. Na dE’ issengmu dE pakkitammu ri
abiasang simEmengna tanamu pura najanciangengko, engkana mua muisseng,
temmuisseng dE’na. Matinro mattukku alEo ri alebbirengmu, lEwu temmakkalumuttekko
ri arajangmu. Naia mupoalebbirengngE, eppa’ uangenna : SEuani, riabbolakko.
Maduanna, kilaoakko ruma. Matellunna, laokkeng joa naEkia mupanrEkkeng.
Maeppana, ripallakkaio mabbulEware’ki ri balancaE. Naia mupoarajangngE, pitui
sumpangpalamu : Seuani, nannessai kakada-kada ritEppe’ timui duanrella’.
Maduanna, nasuroi ade’ tennalao ri dosai patanrella, sisuku ana’arungngE,
maradEkaE duanrella sitali. Matellunna, nannessai kagau’gau’, riala watangngi
seppulo rellana, padamui ana’arungngE maradEkaE. Malimana, nannessai lukkaa’
anu pura rirappai angkanna naEwaE sipangulung. Maennengna, nannessai makkaE
saliweng rirappai ia-ianna naEwaE sipangulung. Mapitunna, naompori Ennau,
rirappai gangkanna naEwaE sipangulung, enrengngE naEwaE sipanguru nawa-nawa,
iakia tennanrE rappa ana’-ana’ tettangEpa susu enrengngE temmappakkaE ariwina
ri sEsEna maradEkaE, ri saliwengngi ataE. Iatopa jancitta : Temmualang alEmu
terengngarajangmu. UtanrErEappo mualai, utimpupo muangnganga. Mau namanasu,
mualangngi alEmu, mamataitu. Mau namamata, na ade’ timpuko, manasu muitu.
KupEse’-pEsekekko bukunna nadE’ammo mumatE. Kupapi-pairengko nadE’pellaio
mumatE. Ianaro mupoalebbirengngE enrengngE mupoarajangngE ri ade’ puranromu.
Jiaddojakko esso ri wenni.Iatopa abiasang simEmengengnna tanamu, eppaa toi :
Seuani, rEkko engka sEua mpElai lumu’na, maddara sakkalengna maradEkaE, mEnrE’I
pang tEdongna, ana’arungngE mappadduroi. Maduanna, polEi wisEsana, agi-agi
wisEsana, agi-agi wisEsa pole, naterio buttana. Matellunna, nakkajakko ri
tapparengngE siseng sitaung. Maeppana, nasapparekko pakkanrEang ri ale’E,
ciceng sitaung. Naia amaradEkangenna To Pammanamu, natunrengngE ade’, eppaa toi
: SEuani, mudatui temmangkau’ datui. Maduanna, mumanaa mua temmuappammanareng,
bettuanna, ade’mi padatuko, ade’tomi pupoatakkeng. Matellunna, mallekku
tenripakkeddE’ lajE tenripatang. Maeppana, temmulawakeng mappadaElo pada
maradEka. Namallaja-laja tange’na Pammana nassuu’, mallaja-laja nauttama, ajEna
passu’I, ajEna pauttamai….. dst.
(Hai, Sang Puteri Penguasa !. Dibenarkan
engkau oleh langit dan diliputi engkau oleh pertiwi, serta disaksikan oleh Sang
Maha Pencipta dan dituruni engkau Rahmat Dewata. Engkau pewaris kemuliaan
nenekmu dan terpanggil untuk memangku kedatuan di Pammana. Engkau menjaga sawah
rakyat Pammana, agar tidak hampa panen padinya. Engkau selimuti rakyat
Pammanamu, agar tidak kedinginan. Pertuananlah engkau dan kami rakyat,
rakyatlah kami dan engkau pertuanan. Memanggillah dan kami menyahut, perintahkanlah
dan kami laksanakan, asal itu ditopang oleh adat. Anginlah engkau dan kami
dedaunan belaka. Kemana engkau berhembus, disitu pula kami terbawa, jikalau
berdasarkan adat. Perbukitan engkau tegaki, pada perbukitan itu pula kami
berkerumun, hamparan engkau tegaki, pada hamparan itu pula kami mengerumunimu,
jikalau itu berlandaskan adat. Engkau layangkan orang-orang Pammanamu ke tempat
dekat dan jauh, bila berdasarkan adat. Engkau tenggelamkan mereka pada
keburukan, engkau pula menerbitkan mereka pada kebaikan, jikalau berkesusaian
dengan adat. Ratu Tunggallah engkau di negerimu, beradu menyelimuti kepala
hingga kaki. Hanya apabila adat yang membangunkan engkau, barulah engkau
bangun. Adalah perjanjian kita pula : Tidak engkau naikkan kami ke gunung dan
tidak menurunkan kami ke dataran. Adapun adat negerimu : Tidak saling
menyembunyikan sesuatu antara hamba dan pertuanannya. Tidak saling menunjukkan
sampah (aib – peny.) masing-masing. Juga adalah menjadi perjanjian kita : Tidak
saling menggigitkan bibir (menggertak – peny.), tidak saling menggeleng-gelengkan
kepala (menolak permohonan yang layak diterima), mengancam kami dengan cemeti
dan tidak engkau mendendam pada rakyatmu. Juga menjadi janji kita : Tidaklah
engkau ..
Langganan:
Postingan (Atom)