..tidak akan kukatakan terjemahan judul tulisan ini padamu, sampai kau telah membacanya dari awal hingga akhir.., hingga kaupun dapat merangkum makna yang kuuraikan. Aku tidak meminta kau mengerti, melainkan kuharapkan kau memahami.. Duhai anak-anakku.
.........................................................................................................................
Bertahun yang lalu, sewaktu kalian masih kecil. Masa-masa sulit menderaku. sembari kuberusaha membesarkanmu. Bukan segumpal nasi yang kusuapkan pada bibir mungilmu, namun sesungguhnya itu adalah keringatku yang dipadatkan oleh Mamamu tersayang. Dimasaknya butiran keringatku itu diatas nyala kompor minyak berjelaga, hingga dihidangkannya untukmu dengan senyum bersimbah air mata..
Hingga suatu ketika, beras telah hampir habis. Mamamu melaporkannya padaku, seraya berusaha tersenyum menenankan. Kubuka ember cat yang selama ini dijadikan tempat beras, duhai.. literan beras yang terbuat dari batok kelapa itu nampak utuh, seakan tersenyum maklum pada kami. Bergegas kunaiki sepeda motor bututku, kukendarai seraya menguatkan hati mendengar renggekannya yang memelas. NgEEEEEEnnnngggggg...
Berselang beberapa lama anganku melayang dan menguap diatas RC 100, tiba-tiba aku tersentak !. Hei, aku mau kemana ?!. Beras telah habis, kemana mesti mencari ?. Tentu saja kau tahu, anakku. Kemana lagi jika bukan ke Belawa ?. Setidaknya kita masih punya beberapa lembar sawah dan sebidang kebun. Walaupun yang sesungguhnya, aku malu kembali mengambil sebutir beras di Belawa, sekalipun itu adalah mutlak kepunyaanku. Warisan dari Almarhum kakek Puangmu. Karena sesungguhnya orang-orang Belawa di perantauan senantiasa mewasiatkan : Naiyya BElawa, madEcEngngi natamai waramparang, tennapudEcEng nawessuri waramparang.. (Sesungguhnya Negeri Belawa, akan jadi suatu kebaikan jika dimasuki harta, namun tidak menjadi hal baik jika hartanya dibawa keluar..). Namun tidak bisa tidak, hari ini aku berniat membawa harta dari Belawa keluar dari penyimpanannya.. Apa boleh buat, keluhku pasrah.
Sementara khayalku menimbang-nimbang, tiba-tiba.. Astagfirullohiladzim, serombongan anak remaja berkendara motor baru menyalibku dari belakang ! Hampir saja aku disambarnya. Dapat kurasakan jika darahku menggelegak naik ke kepala dan berhasrat mengejarnya. Nanti jika kudapat, akan ku........... apa saja !. Tapi apa gunanya ?, celetuk "ininnawakku". Iya juga ya ?, sahutku tanpa sadar. Tapi aku masih terlanjur panas seraya ngedumel sendiri, "maupe'ko essoE natania motoro' baru uwola !" (kalian beruntung hari ini karena aku tidak mengendarai motor baru !), rungutku gemas. Tapi, "ajaib" !. Omelan sendiri itu membuat amarahku terobati.
Akhirnya akupun keranjingan bolak-balik ke Belawa untuk mengambil hasil bumi ke Parepare. Maklum gratis kepunyaan sendiri. Hingga suatu waktu, motor tuaku ngadat. Terpaksa kuharus meminjam sepeda motor Puangmu. Ketika dalam perjalanan tidak jauh dari Pangkajene, lagi-lagi seorang pengendara motor ugal-ugalan menyalibku dari belakang. Ia melaju kencang kedepan namun seketika itu kuberpikir jika sepeda motor baru Puang Aji yang kukendarai ini sanggup mengejarnya !. Tapi..SssEEt, tunggu dulu ! Kau harus menghargai kepunyaan orang, sekalipun itu adalah kakak kandungmu sendiri.., lagi-lagi Sang Ininnawa memperingatkan. Maka kuacungkan tinjuku, "maupe'kosi essoE namotoro' uwinreng uwola !" (Kau beruntung lagi hari ini karena aku mengendarai motor pinjaman..). Andai tidak, hingga ke ujung dunia pun akan kukejar, rungutku. Tapi sungguh ajaib, dongkolku hilang lagi dengan sendirinya.
Waktu demi waktu, berlalu tanpa terasa. Kalianpun tumbuh tanpa terasa pula. Kesulitan-kesulitan ekonomi yang senantiasa menghimpit kita selama ini agaknya kelelahan pula. Mereka berjatuhan satu demi satu dilindas roda waktu yang terus berputar. Maklum, kita adalah "Rakyat Terlatih", anakku. Kita memiliki daya tahan yang berhasil melewati tiga zaman. Walaupun sesungguhnya kita adalah seonggok batu merah, tapi merupakan puing-puing dari sebuah benteng kejayaan bangsa ini dimasa lalu. Alhamdulillah, sebagaimana kau lihat, kini akupun sudah mampu membeli motor baru sebagaimana orang kebanyakan.
Mengendarai sepeda motor baru milik sendiri pada suatu hari, lagi-lagi aku hampir disambar pengendara yang lain. Akupun hanya tersenyum maklum, seraya berkata : "Maupe'ko essoE, unennengimitu motoro' barukku.." (Kau beruntung hari ini, karena aku sangat menyayangi motor baruku..). Duh, anakku.. bukankah orang-orang tua kita bersama berpesan, bahwa : "Anu engkaEmi iyanennengi.." (..hanya sesuatu yang ADAlah yang disayangi..) ?. Maka orang-orang yang tidak menyayangi barang-barang miliknya, itulah pertanda orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah.SWT.
Sesungguhnya nafsu amarah haruslah dapat dikendalikan, anakku. Kadang-kadang kita terlepas kontrol akibat bisikan nafsu syaitan yang senantiasa mengeram dalam diri. Sebagai contoh, ketika seseorang menyalib kita dengan tingkah yang dinilai kurang ajar, maka dalam diri kita yang lain seakan berbisik : Dia anggap apa aku ?!. Mungkin dia melihatku sebagai kura-kura yang penakut sehingga dapat diperlakukan seperti ini ?!!. ... Namun dengarlah pula bisik "ininnawa" dari sudut lain hatimu, "..jangan marah dulu. Mungkin saja orang itu terburu-buru disebabkan keperluan yang amat mendesak.. atau barangkali saja ibunya sakit ?".
Maka untuk menenangkan diri, tiada salahnya jika kita "menghibur diri" dengan melihat kenyataan yang terjadi pada saat itu, misalnya : "maupe'kosi essoE namotoro' uwinreng uwola !" (Kau beruntung lagi hari ini karena aku mengendarai motor pinjaman..). Kedengarannya sih marah, tapi marah gak beneran. Karena menyatakan orang lain sebagai maupe' (beruntung) sesungguhnya adalah do'a yang menyimpan harapan baik, anakku. Kita pula bukannya penakut, melainkan tidak mau bertindak konyol dengan balap-balapan di jalan raya yang tentu saja dapat merugikan orang lain yang tidak tahu menahu persoalan kita.
Akhirnya, besar harapanku kiranya kalian dapat memahami judul tulisan ini, anakku. Sesuatu yang tidak perlu kau tahu dari kata ke kata, melainkan memahami berdasarkan uraian hikmah yang sesungguhnya tidak perlu kalian alami.
(buat anak-anakku : Sangaji Adiguna, Anugerah Pallawagau, Muh. Fahrul Jauhari, Misbahuddin, Suwandi, Ifa (Alifati), Zulfikar, Aulia, Ikram Maulana, Tonra Sumange, Jumadi Al Bugisi, Toyyib, Adi, Unhu Malstem Fmc, Misbah Wija Ogi Belawa, Putri Denia Osd dan segenap putera puteriku yang lain..)
Wallahualam bissawab..
.........................................................................................................................
Bertahun yang lalu, sewaktu kalian masih kecil. Masa-masa sulit menderaku. sembari kuberusaha membesarkanmu. Bukan segumpal nasi yang kusuapkan pada bibir mungilmu, namun sesungguhnya itu adalah keringatku yang dipadatkan oleh Mamamu tersayang. Dimasaknya butiran keringatku itu diatas nyala kompor minyak berjelaga, hingga dihidangkannya untukmu dengan senyum bersimbah air mata..
Hingga suatu ketika, beras telah hampir habis. Mamamu melaporkannya padaku, seraya berusaha tersenyum menenankan. Kubuka ember cat yang selama ini dijadikan tempat beras, duhai.. literan beras yang terbuat dari batok kelapa itu nampak utuh, seakan tersenyum maklum pada kami. Bergegas kunaiki sepeda motor bututku, kukendarai seraya menguatkan hati mendengar renggekannya yang memelas. NgEEEEEEnnnngggggg...
Berselang beberapa lama anganku melayang dan menguap diatas RC 100, tiba-tiba aku tersentak !. Hei, aku mau kemana ?!. Beras telah habis, kemana mesti mencari ?. Tentu saja kau tahu, anakku. Kemana lagi jika bukan ke Belawa ?. Setidaknya kita masih punya beberapa lembar sawah dan sebidang kebun. Walaupun yang sesungguhnya, aku malu kembali mengambil sebutir beras di Belawa, sekalipun itu adalah mutlak kepunyaanku. Warisan dari Almarhum kakek Puangmu. Karena sesungguhnya orang-orang Belawa di perantauan senantiasa mewasiatkan : Naiyya BElawa, madEcEngngi natamai waramparang, tennapudEcEng nawessuri waramparang.. (Sesungguhnya Negeri Belawa, akan jadi suatu kebaikan jika dimasuki harta, namun tidak menjadi hal baik jika hartanya dibawa keluar..). Namun tidak bisa tidak, hari ini aku berniat membawa harta dari Belawa keluar dari penyimpanannya.. Apa boleh buat, keluhku pasrah.
Sementara khayalku menimbang-nimbang, tiba-tiba.. Astagfirullohiladzim, serombongan anak remaja berkendara motor baru menyalibku dari belakang ! Hampir saja aku disambarnya. Dapat kurasakan jika darahku menggelegak naik ke kepala dan berhasrat mengejarnya. Nanti jika kudapat, akan ku........... apa saja !. Tapi apa gunanya ?, celetuk "ininnawakku". Iya juga ya ?, sahutku tanpa sadar. Tapi aku masih terlanjur panas seraya ngedumel sendiri, "maupe'ko essoE natania motoro' baru uwola !" (kalian beruntung hari ini karena aku tidak mengendarai motor baru !), rungutku gemas. Tapi, "ajaib" !. Omelan sendiri itu membuat amarahku terobati.
Akhirnya akupun keranjingan bolak-balik ke Belawa untuk mengambil hasil bumi ke Parepare. Maklum gratis kepunyaan sendiri. Hingga suatu waktu, motor tuaku ngadat. Terpaksa kuharus meminjam sepeda motor Puangmu. Ketika dalam perjalanan tidak jauh dari Pangkajene, lagi-lagi seorang pengendara motor ugal-ugalan menyalibku dari belakang. Ia melaju kencang kedepan namun seketika itu kuberpikir jika sepeda motor baru Puang Aji yang kukendarai ini sanggup mengejarnya !. Tapi..SssEEt, tunggu dulu ! Kau harus menghargai kepunyaan orang, sekalipun itu adalah kakak kandungmu sendiri.., lagi-lagi Sang Ininnawa memperingatkan. Maka kuacungkan tinjuku, "maupe'kosi essoE namotoro' uwinreng uwola !" (Kau beruntung lagi hari ini karena aku mengendarai motor pinjaman..). Andai tidak, hingga ke ujung dunia pun akan kukejar, rungutku. Tapi sungguh ajaib, dongkolku hilang lagi dengan sendirinya.
Waktu demi waktu, berlalu tanpa terasa. Kalianpun tumbuh tanpa terasa pula. Kesulitan-kesulitan ekonomi yang senantiasa menghimpit kita selama ini agaknya kelelahan pula. Mereka berjatuhan satu demi satu dilindas roda waktu yang terus berputar. Maklum, kita adalah "Rakyat Terlatih", anakku. Kita memiliki daya tahan yang berhasil melewati tiga zaman. Walaupun sesungguhnya kita adalah seonggok batu merah, tapi merupakan puing-puing dari sebuah benteng kejayaan bangsa ini dimasa lalu. Alhamdulillah, sebagaimana kau lihat, kini akupun sudah mampu membeli motor baru sebagaimana orang kebanyakan.
Mengendarai sepeda motor baru milik sendiri pada suatu hari, lagi-lagi aku hampir disambar pengendara yang lain. Akupun hanya tersenyum maklum, seraya berkata : "Maupe'ko essoE, unennengimitu motoro' barukku.." (Kau beruntung hari ini, karena aku sangat menyayangi motor baruku..). Duh, anakku.. bukankah orang-orang tua kita bersama berpesan, bahwa : "Anu engkaEmi iyanennengi.." (..hanya sesuatu yang ADAlah yang disayangi..) ?. Maka orang-orang yang tidak menyayangi barang-barang miliknya, itulah pertanda orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah.SWT.
Sesungguhnya nafsu amarah haruslah dapat dikendalikan, anakku. Kadang-kadang kita terlepas kontrol akibat bisikan nafsu syaitan yang senantiasa mengeram dalam diri. Sebagai contoh, ketika seseorang menyalib kita dengan tingkah yang dinilai kurang ajar, maka dalam diri kita yang lain seakan berbisik : Dia anggap apa aku ?!. Mungkin dia melihatku sebagai kura-kura yang penakut sehingga dapat diperlakukan seperti ini ?!!. ... Namun dengarlah pula bisik "ininnawa" dari sudut lain hatimu, "..jangan marah dulu. Mungkin saja orang itu terburu-buru disebabkan keperluan yang amat mendesak.. atau barangkali saja ibunya sakit ?".
Maka untuk menenangkan diri, tiada salahnya jika kita "menghibur diri" dengan melihat kenyataan yang terjadi pada saat itu, misalnya : "maupe'kosi essoE namotoro' uwinreng uwola !" (Kau beruntung lagi hari ini karena aku mengendarai motor pinjaman..). Kedengarannya sih marah, tapi marah gak beneran. Karena menyatakan orang lain sebagai maupe' (beruntung) sesungguhnya adalah do'a yang menyimpan harapan baik, anakku. Kita pula bukannya penakut, melainkan tidak mau bertindak konyol dengan balap-balapan di jalan raya yang tentu saja dapat merugikan orang lain yang tidak tahu menahu persoalan kita.
Akhirnya, besar harapanku kiranya kalian dapat memahami judul tulisan ini, anakku. Sesuatu yang tidak perlu kau tahu dari kata ke kata, melainkan memahami berdasarkan uraian hikmah yang sesungguhnya tidak perlu kalian alami.
(buat anak-anakku : Sangaji Adiguna, Anugerah Pallawagau, Muh. Fahrul Jauhari, Misbahuddin, Suwandi, Ifa (Alifati), Zulfikar, Aulia, Ikram Maulana, Tonra Sumange, Jumadi Al Bugisi, Toyyib, Adi, Unhu Malstem Fmc, Misbah Wija Ogi Belawa, Putri Denia Osd dan segenap putera puteriku yang lain..)
Wallahualam bissawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar