Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Rabu, 13 Februari 2013


 Keterangan Gambar :

Bersiap-siap berkunjung pada acara malam di Istana Kedatuan Luwu, Palopo (Hotel Buana, 8 Pebruari 2013)


PERBINCANGAN SEPUTAR BERITA TO MANURUNG
                                                                  By. La Oddang


Adalah hal menarik ketika Paduka Opu Anton Pangerang menuturkan tentang Keagungan Sejarah Luwu pada hari Sabtu, 9 Pebruari 2013 di Ruang Keluarga Istana Kedatuan Luwu, Palopo. “Luwu dengan Mytologi Tomanurungnya yang komplit, senantiasa disertai dengan alur kisah yang terlembaga. Jika para Tokoh Manurung yang menjelma pada negeri-negeri sekitar Luwu muncul tanpa identitas yang tidak jelas asal muasalnya, maka para Tomanurung di Luwu muncul dengan identitas nazab dan asal muasal yang dikisahkan dengan mendetai lewat suatu epos warisan dunia bernama : I La Galigo”, demikian ujar beliau.

Seketika itu saya teringat dengan pemikiran senada dari uraian Paduka Prof. Mr. Dr. H. Andi Zainal Abidin (The Emergence Of The Kingdom Of Luwu), dikatakannya : “Hampir-hampir semua Lontara Bugis yang mengisahkan Raja Pertama yang digelar To Manurung, dilukiskan secara RAGU-RAGU oleh Penulis Lontara, dengan kalimat-kalimat sebagai berikut : Nariaseng garE’ Tomanurung, nasaba’ tenrisseng asenna, tenrissengto apolEngenna (Konon Ia digelar Orang Turun dari Khayangan karena ia tidak diketahui nama dan asal muasalnya)”.

Perihal eksistensi To Manurung sebagaimana yang mendasari pemikiran kedua pakar sejarah Sulawesi Selatan tersebut adalah sesuai uraian apa adanya yang tertera pada bagian pertama sekian banyaknya Lontara Atturiolong (Lontara Patturiolong ; Makassar) pada banyak negeri di Sulawesi Selatan dan Barat.

Pada bagian pertama Lontara Soppeng, diuraikan dengan singkat, sbb :
“..pitullapini dE’ puwangna To SoppEngngE // Puppu tE-E ri Galigo // Naiyyamani Matowa ennengngEpulona paoto’ palEwu’i tanaE // Namarunna Petta ri SEkkanyili’ // Napaissengna Matowa Tinco // Napoadangngi Matowa Botto, Matowa Ujung, Matowa Bila makkedaE engkaro Manurung ri SEkkanyili’..,” (..sudah tujuh generasi tidak ada penguasa bagi rakyat SoppEng // Tiada lagi penguasa dari masa Galigo // Hanyalah Enam Puluh Tetua yang menentukan nasib negeri // Kemudian turunlah Pertuanan Kita di SEkkanyili // Maka ini diketahui oleh Matowa Tinco // Diberitahukanlah kepada Matowa Botto, Matowa Ujung, Matowa Bila bahwa ada Manurung di SEkkanyili’ ..,).

Petta ManurungngE ri SEkkanyili yang diperkirakan hidup dalam tahun 1300, kemudian pada Lontara Soppeng yang lain “baru diketahui” bernama “La Temmalala”, bertitah kepada segenap Matoa yang mengelu-elukan kemunculannya :

“..engkatu sapposisekku manurung ri Libureng // MadEcEngngi muakkareng alE muduppaiwi // Kuduwa sapparekko mupodEcEngngE // Naiyya’ tudang ri SoppEngriaja // Naiyatonasa Datu ri SoppEngrilau, ..” (..aku memiliki sepupu sekali yang Manurung ri Libureng // Sebaiknya kalian menjemputnya // Agar kiranya kami berdua mencarikan kalian kebaikan // Akulah yang bertahta di SoppEngriaja // Lalu dia yang menjadi Datu di SoppEngrilau, ..).

Maka para Matoa itu melaksanakan titah ManurungngE, hingga tiba pada suatu tempat bernama “GoariE” dalam wilayah Libureng, didapatilah Sang Manurung sedang duduk di gucinya. Maka digelarilah sebagai “ManurungngE ri GoariE”. Lontara SoppEng tidak menjelaskan dengan tegas, perihal jenis kelamin Sang Manurung ini, sehingga pagi para penela’ah yang tidak pernah membaca reverensi SoppEng lainnya dengan mudah berpresepsi bahwa “Sepupu Sekali ManurungngE ri SEkkanyili” ini mestilah seorang lelaki pula. Namun kemudian pada suatu Lontara Panguriseng SoppEng didapati bahwa Sang Manurung ini adalah bernama : WE Temmapupu ManurungngE ri GoariE yang diketahui kemudian sebagai permaisuri La Temmalala ManurungngE ri SEkkanyili Datu SoppEng I.

Demikian pula halnya dengan suatu peristiwa besar di Matajang yang diperkirakan pada tahun 1330, munculnya seorang tokoh misterius yang dipandang luar biasa beserta dengan perangkatnya yang terbuat dari emas permata berkilauan, yakni : ManurungngE ri Matajang. Sang Dewata yang berujud manusia itu kemudian “dirajakan” oleh PituE Uluanang (Tujuh Tetua Kaum) dengan gelar “Mangkau’E” (Yang Berdaulat), serta sebutan lainnya yang khas, yakni : “La MammatasilompoE” berkat ketajaman pandangannya yang konon mampu mengetahui jumlah ratusan rakyatnya yang berkumpul dalam suatu dataran rendah (lapangan). Peristiwa singkat tersebut dengan serta merta ditandai sebagai titik masa berdirinya Kerajaan Bone, sebagaimana diuraikan pada Lontara Akkarungeng ri Bone (Drs. A. Amir Sessu). Suatu Lontara Bugis pula yang terlebih dahulu memberitakan ikhwal permulaan masa SianrE BalE (masa kacau balau bagai ikan-ikan yang saling memakan) terjadi setelah habisnya turunan Puetta MEnrE’E ri Galigo di muka bumi.

Pada kurun masa yang sama dengan kemunculan Manurung di Soppeng dan Bone, pada sebuah pemukiman pesisir teluk Parepare bernama Bacukiki, terbit pula seorang Manurung. Tokoh yang konon muncul bersama perangkat perlengkapannya yang terbuat dari emas berkilauan pula. Manusia dewa tersebut dinamai : ManurungngE ri Bacukiki. Berbeda dengan To Manurung di Tana Bone dan Soppeng, beliau diketahui langsung memiliki “nama”, yakni : La BungEnge’ (La BangengE), namun tetap pula tidak diketahui dari mana asal usulnya. Demikian pula dengan  alur  kisah selanjutnya To Manurung yang satu ini, tidak menetap di kawasan dimana  ia  manurung  (diturunkan ?). Beliaupun tidak disambut dengan ikrar kesetiaan oleh para tetua negeri dimana ia diketahui telah muncul (Bacukiki). Puetta ManurungngE kemudian melakukan perjalanan ke utara hingga bertemu dan menikahi Tomanurung Perempuan bernama : WE Teppulinge’ ManurungngE ri La Waramparang (Suppa).

ManurungngE ri Bacukiki adalah seorang pioneer, sekaligus seorang visioner. Beliau tidaklah serta merta menjadi Raja ditempat dimana ia manurung dan juga pada negeri dimana ia mempersunting Tokoh Manurung setempat. Beliau melakukan pengembaraan seputar kawasan LimaE Ajattappareng untuk mencari kawasan potensial bagi kehidupan anak turunannya dan pengikut-pengikutnya. Hingga perjalanannya tiba pada suatu negeri yang ia namai Sawitto dan beliau menjadi Addatuang Sawitto I. Pada generasi berikutnya, ManurungngE ri Bacukiki kemudian berhasil mewujudkan visinya dengan mendudukkan anak-anaknya sebagai Raja dan Ratu pada negeri-negeri yang kemudian beraliansi dalam suatu persekutuan LimaE Ajattappareng.

Demikian pula dengan kisah kemunculan para To Manurung pada negeri-negeri lainnya, selain Luwu dan Pammana. KaraEngta Tumanurungnga ri TamalatE (KaraEng BaEnEa) di Gowa, Puang Tamboro Langi di kawasan Tallu LEmbangna, Tokombong Di Wura dan TowissE Di Tallang di kawasan Pitu Ulunna Salu’ dan Pitu Babanna Binanga, NEnE’ Matindo Dama di Duri, ManurungngE ri Ujung LohE di Bulukumba serta segenap lainnya adalah menggambarkan perihal tokoh yang tidak jelas asal muasalnya. Bahkan pada Lontara Sukkuna Wajo mengemukakan dengan lebih jujur dan realis tentang ketokohan ManurungngE ri Lampulungeng, bahwa : “Nariaseng garE’ Tomanurung, nasaba’ tenrisseng asenna, tenrissengto apolEngenna (Konon Ia digelar Orang Turun dari Khayangan karena ia tidak diketahui nama dan asal muasalnya)”.

Lalu bagaimana halnya dengan To Manurung di Negeri Luwu dan Pammana yang dikatakan sebagian besar Sejarawan Bugis-Makassar sebagai Negeri Tertua di Jazirah Sulawesi ?. Negeri Asal Muasal ini terlahir bersama Epos Sastranya, yakni : I La Galigo. Suatu Kitab Sastra Suci yang mengabarkan tentang ihwal Tokoh To Manurung di Luwu dengan informasi yang lengkap tentang nama, gelar, leluhur,  negeri asal usul, serta para generasi setelahnya. Hingga kemudian, R A Kern menyebutnya sebagai : Roman Keluarga Dewata.

Bermula pada Bab I yang berjudul “Mula Tau” Kitab Sastra terpanjang di dunia ini menguraikan pergulatan batin Sang Patoto’E dan permaisurinya di Botinglangi (Khayangan) yang harus melepas putera kesayangannya (La Toge’langi Batara Guru Sunge’ ri Sompa Aji Sangkuru Wirang) untuk diturunkan ke Attawareng (Dunia Tengah). Hingga kemudian kisah berlanjut, dimana Batara Guru haruslah jua memenuhi takdirnya untuk membuka peradaban sifat-sifat langit di tengah-tengah masyarakat manusia di Attawareng.

Proses “Manurung” Sang Pangeran Botinglangi itu digambarkannya dengan sangat dahsyat, sbb :
“Kuwa adanna To PalanroE // Appangarao Sangka Batara // Narileggareng calikerrana lE’ langi’E //
LE’ narireddu’ temmaggongratu // LE’ passuluna tange’ Batara Rakkile’E // Risenne’ dua lE’ langi’E // Ripattingowa lE’ pitullappi lE’ bittaraE // riyulo maneng lE ata dewata tessirupaE // Nawoni pettang To LettEile’ // Paturung riu Sangiyang Pajung // PabbittE oling Rumamakkompo // MappasiyanrE wEro rakkile’ Pulaka Liye’ // Palluwa’-luwa’ api dewata To Walabboreng // Nariyulona tojang rakkile’ natonangiE lE’ awo pettung // NalEwuriE Batara Guru // Nasinrang guttu // Mallarung-larung Balasariwu // WEro sianrE Oddang sibali lE’ rumaE // SibEtta-bEtta lE’ olingngE // Malluwa’-luwa’ lE api dewata sitinroo’E Balasariwu // Masisi’ lao pananrangngE tanra telluE // LE’ wEppangngE // lE’ manu’-manu’E // LE’ woromporong // lE’ tappituE // LE’ To Sunra’E // PaddengngengngE // PErosolaE // Ata dEwata tessErupaE // Larung-larungngi Datu Puwanna // Mattoddang maneng To Walebboreng PulakaliyE // … “

( Demikianlah titah To PalanroE // Memerintahlah engkau Sangka Batara // Untuk membuka palang pintu langit // Lalu dicabutlah tanpa membunyikan gong pusaka // Kunci pintu langit nan berkilauan itu // Maka langit terbelah dua // Terbukalah tujuh lapisan langit // Diturunkanlah abdi dewata yang beraneka ragam itu // Kemudian diturunkan pula gelap kelam para orang LettEile’ // Diturunkan pula angin badai Sangiyang Pajung // Mengadu petirlah Rumamakkompo // Saling membenturkan kilat dan badai PulakaliyE // Dinyalakanlah kilat oleh orang Walabboreng // Kemudian diturunkanlah ayunan emas dimana diletakkan Bambu Betung //  Yang disemayami Batara Guru // Diiringi ledakan petir Balasariwu // Kilat yang tiada terputus nan saling sambung menyambung // Guntur saling sambut menyambut // Saling berlombalah petir dan kilat yang mengiringi Balasariwu // Segalanya beranjak sebagai pertanda rasi bintang Tanra TelluE // Rasi bintang WEppangngE // Rasi bintang Manu’-Manu’E // Rasi bintang WoromporongngE // Rasi bintang TappituE // Begitu pula dengan para orang dari Sunra’ // Para pemburu // Para PErosolaE // Serta para dewata turut mengiringi Junjungannya // Maka berangkatlah para orang Walebboreng dan PulakaliyE // ..).

Adapun halnya kemudian dengan La Toge'langi Batara Guru Sunge' ri Sompa Aji Sangkuru Wira ManurungngE ri Tellampulaweng Pajung ri Luwu I menjadi penguasa Attawareng, yang menandai lahirnya Kerajaan Luwu.

Pada kurun generasi yang sejajar, terbit pula To Manurung lain yaitu : TurubElaE Laurengpessi ri Coppo' MEru ManurungngE ri Sawammegga Datu Tompotikka I (putera La Oddangriu Sankabatara ri RuwallettE), yang menandai lahirnya Kerajaan Tompotikka. Suatu wangsa yang kemudian ditakdirkan pula menjalin perhubungan darah dengan wangsa turunan Batara Guru yang bertahta di Luwu, berkat pernikahan puterinya dengan putera Sang Raja Luwu I tersebut. Maka generasi berikutnya dari kedua wangsa tersebut menyatu menjadi keturunan bersama, yakni : Luwu dan Tompotikka yang kemudian membaur pula dengan turunan wangsa Cina pada generasi setelahnya.

Sezaman dengan La Togelangi Batara Guru, terbitlah Tomanurung lainnya yang diturunkan di Cina, yaitu : La Tenriangke' ManurungngE ri Tellampulaweng Datu Cina I, yang menandai lahirnya Kerajaan Cina yang kelak berganti nama menjadi Pammana. Kemudian terjadilah pernikahan yang amat terkenal antar keturunan mereka, yaitu : Sawerigading Opunna Ware' (cucu Batara Guru) dengan We Cudai' DaEng ri Sompa Punna BolaE ri LatanEtE (cucu La Tenriangke'). Maka pada masa itulah dinyatakan sebagai penyatuan 2 Bangsa, yakni Luwu dan Cina yang pada keturunan mereka mengidentiitaskan diri sebagai "Towugi" yang diambil berdasar nama ayahanda We Cudai', yakni : La Sattumpogi Punna LipuE ri Cina , yang kemudian menobatkan menantunya (Sawerigading) menjadi "Datu Cina".

“Kearifan senantiasa mencetak dirinya dari masa ke masa”, kiranya demikian sejarah menyebut dirinya melalui jendela waktu. Para To Manurung yang terbit di Jazirah Sulawesi dengan jarak tempuh yang mengantarai tempat mereka masing-masing, namun pada akhirnya menyatukan darah kemuliaan mereka pada masa kini. Sejauh yang penulis telusuri perihal silsilah para Raja dan Ratu serta segenap Bangsawan di Sulawesi Selatan dan Barat, kiranya mereka kini adalah turunan dari para To Manurung dari berbagai negeri sebagaimana yang disebutkan dalam catatan perbincangan selintas ini. Maka tidak ada lagi diantaranya yang bisa berujar : Saya adalah turunan ManurungngE ri Ussu’ dan anda adalah turunan ManurungngE ri Matajang. Melainkan dikatakannya : Kita adalah turunan para pembawa peradaban Pangadereng di Bumi Tercinta ini, maka adalah kewajiban kita bersama untuk melestarikannya.


Wallahualam Bissawwab.



 Keterangan Gambar :

Bersama Paduka Yang Mulia Junjungan Kami, Sribaginda Andi Maradang Opu Datu Luwu ke- 40 di Ruang Keluarga Istana Kedatuan Luwu, Palopo (9 Pebruari 2013).



 Keterangan Gambar :

Kakanda Dr. H. Andi Pajung, S.Pd, M.Pd bersama Paduka Yang Mulia Junjungan Kami, Sribaginda Andi Maradang Opu Datu Luwu ke- 40 di Ruang Keluarga Istana Kedatuan Luwu, Palopo (9 Pebruari 2013).



 Keterangan Gambar :

Suasana santai dalam acara Ramah Tamah Keluarga Kedatuan Luwu, dari kiri ke kanan : Paduka Yang Mulia Junjungan Kami, Sribaginda Andi Maradang Opu Datu Luwu ke- 40, Paduka Yang Mulia Andi Sitti Khusaimah Opu DaEng Pajung Opu Cenning Luwu (Puteri Mahkota Kerajaan Luwu), Sdr. Faisal To Ware' (Malili), Sdr Idwar Anwar (Penulis), Sdr. Muslyh (Pelukis/Budayawan Luwu), Paduka Yang Mulia Opu Lolo (Pengurus Protokoler Rumah Tangga Istana Kedatuan Luwu), Paduka Yang Mulia Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd Opu BalirantE (Menteri Urusan Kesejahteraan Kedatuan Luwu).


Keterangan Gambar :

Suasana santai dalam acara Ramah Tamah Keluarga Kedatuan Luwu, dari kiri ke kanan : Paduka Yang Mulia Opu Lolo (Pengurus Protokoler Rumah Tangga Istana Kedatuan Luwu), Paduka Yang Mulia Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd Opu BalirantE (Menteri Urusan Kesejahteraan Kedatuan Luwu), Paduka Yang Mulia Opu Andi Anton Pangerang (Sejarawan Luwu, Putera Alm. Andi Pangerang Opu TosinilElE Maddika Bua Opu Pabbicara Luwu), Andi Oddang (Penulis), Kakanda H. Dr. Andi Pajung, S.Pd. Mpd, Andi Ancha Maupe', Paduka Yang Mulia Junjungan Kami, Sribaginda Andi Maradang Opu Datu Luwu ke- 40, Sdr. Faisal To Ware' (Malili), Sdr Idwar Anwar (Penulis Sejarah Luwu), Sdr. Muslyh (Pelukis/Budayawan Luwu).




 Keterangan Gambar :

Komplek Istana LangkanaE Kedatuan Luwu, Palopo.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar