“LUWU, TANAH PERADABAN”,
Suatu Catatan Muhibah, by. La
Oddang Panguriseng
“Disanjung sebagai To Manurung
karena ia membawa peradaban ditengah masyarakat !”, kurang lebih demikian ujar
Saudara Musli Anwar dalam suatu perbincangan santai di Kafe Aleta, Jum’at 8
Pebruari 2013. Obrolan santai malam itu berlangsung hangat, kala pertama bersua
di alam nyata dengan Pung Ancha Maupe, Adik Faisal Toware, Sdr. Idwar dan Sdr.
Musli Anwar. “To Manurung mengajarkan adab sopan santun yang begitu luhur serta
aturan kehidupan bermasyarakat untuk bersinergi dengan alamnya..”, celetuk
teman lainnya dengan santai. Seketika itu saya tersadar jika kini sedang duduk
semeja dengan para orang muda Tana Luwu yang memaknai sejarah dan budaya
negerinya dengan penuh khidmat. Mereka adalah jendela-jendela pengetahuanku
tentang banyak hal lewat jejaring social facebook, khususnya seputar Sejarah
Luwu, negeri leluhur para junjunganku.
Alhamdulillah, malam pertamaku di
Kota Palopo ini adalah “ziarah ilmu pengetahuan” dengan teman-teman yang saya
pandang benar-benar mendedikasikan segenap waktu dan pikirannya untuk sejarah
dan budaya Tana Luwu yang dicintainya. Sementara keesokan harinya, Insya Allah
kami dijadwalkan untuk menghadap Sri Baginda Datu Luwu ke – 40 di Istana
Kedatuan, ziarah kemuliaan yang kami emban atas nama rumpun keluarga kami, bibit
Wija Luwu yang bersemi dan tumbuh sebagaimana adanya di sebuah hamparan tanah
endapan TellumpoccoE bernama : TanaE Belawa.
………………………………………………………………………..
“Assalamualakum Warahmatullahi Wabarakatuh”,
dengan segenap takzim kupanjatkan salam dan do’a ketika memasuki gerbang barat
Istana Kedatuan yang agung ini. Suatu komplek bangunan tua di pusat kota
Palopo, namun senantiasa menyimpan nilai sejarah dan aura kemuliaannya. Pada
istana ini telah merekam perihal kehidupan para Bangsawan Berdarah Murni ManurungngE
yang Patriot Bangsa Sejati. Pada istana ini pula pada setiap jengkalnya
tersimpan jejak-jejak peradaban “alebbireng” yang kemudian menebarkan bibitnya
keseluruh penjuru negeri di Pulau laksana Bunga Angrek ini.
Bertemu lalu menghaturkan sembah
takzim kehadapan Baginda Datu Luwu ke- 40, kiranya adalah pengalaman yang tak
terlupakan sepanjang hayat dan Insya Allah akan menjadi buah tutur yang
berharga bagi anak keturunan kami kelak. Kami berhadapan dengan sosok Raja yang
tawaddu, ramah dan penuh kehangatan. Sosok pribadi agung yang pastinya akan
membuat setiap kawulanya merasa betah duduk bersila dihadapannya dengan
senantiasa berbesar hati. “AlEna tongengmi atanna DatuE sibawa rennunna pangoloi
akkasuwiangenna ri cappa’ ajEna Opukku DatuE..”.
Demikian pula dengan para
hadatnya yang sarat dengan Ilmu Pengetahuan. Berhadapan dengan Paduka Yang
Mulia Opu Anton Pangeran serasa berada dalam suatu ruang penuh manuskrip
Lontara yang amat luas. Berbincang-bincang dengan Paduka Opu Lolo bagaikan
menggelar selembar Panguriseng seluas tikar balairung Istana, begitu luasnya
perihal pengetahuan silsilah yang beliau ketahui. Demikian pula pertemuan awal
dengan Paduka Yang Mulia Opu BalirantE Luwu, saya merasakan kesantunan adab
Puteri yang menenteramkan, sehingga sejenak terlupa jika beliau sesungguhnya
seorang Guru Besar Ilmu Sejarah. Hingga sanubari ini membatin, “Upe’pagaha To
Luu’E..” (sungguh beruntung orang-orang Luwu..) .
Bagaimana tidak beruntung ?, kata
batinku pula. Ketika Istana-Istana pada segenap Kabupaten/Kota yang lain di
Sulawesi Selatan telah habis terbakar pada masa penjajahan Belanda dan masa
kekacauan tahun 50-an, Istana Kedatuan Luwu masih lestari nan megah dengan
segenap keagungannya. Tidak sekedar Istana tanpa mahkota, melainkan tahtanya
senantiasa berkesinambungan dengan segenap perangkat hadatnya sampai hari ini.
Inilah “Istana Bangsa Luwu”,
istana kerajaan satu-satunya yang memimpin “suatu bangsa” di Sulawesi Selatan.
Suatu identitas kebangsaan yang mempersatukan beberapa tribe/ethnic dan agama
didalamnya. Sementara itu, sejarahnya jika digali semakin dalam, maka kebesaran
dan keagungannya semakin bercahaya.
Mulai dari Tradisi Perjuangan menentang
VoC yang mencatatkan Pahlawan Besar Puetta La Palissubaya Sultan
Nazaruddin DaEng Mattuju KaraEng LambEngi Pajung Luwu ke – 18 (1637 – 1662) yang adalah Pahlawan Nusantara I
(pertama) yang diasingkan oleh Belanda di Cape Town (Afrika Selatan), 14 tahun
sebelum Syekh Yusuf "Petta Tosalama'E" Tajul Khalwati Al
Makassari (Menantu Sultan Ageng Tirtayasa) diasingkan pada tempat yang
sama (Ligtvoet.1877:144). Baginda adalah sekutu Sultan Hasanuddin Sombayya Gowa
Tumenanga ri Balla’ Pangkana yang amat ulet selama Perang Makassar
(1667-1669) yang kemudian melanjutkan perjuangan menentang VoC dan sekutunya
dengan membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Semangat
perjuangan yang pantang menyerah itu kemudian diwariskan kepada puteranya,
yakni : Puetta Sattiaraja Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung ri Luwu
ke-19 (1662
– 1675). Pangeran Patriot ini bahkan aktif menggempur VoC dan sekutunya sejak
umur remaja ketika masih menjabat selaku Opu Cenning Luwu.
Hingga kemudian pada awal
memasuki abad XX, Ekspedisi Pendaratan Pasukan Belanda haruslah bertempur
habis-habisan melawan Pasukan Kedatuan Luwu barulah dapat menginjakkan kakinya
di Bumi Sawerigading ini. Bermula ketika Gouverneur Van Celebes mengajukan tuntutan
sepihak kepada Datu Luwu Puetta We Kambo Opu
DaEng Risompa MatinroE Bintangna Pajung Luwu ke – 32. Suatu tuntutan
yang tidak mungkin dipenuhi Baginda Ratu beserta Hadatnya, demi menjunjung
harkat dan martabat Tana Luwu. Maka dalam suatu perundingan pada tanggal 11
September 1905 di PonjalaE, Opu Pabbicara Kerajaan Luwu yakni Andi
Tadda Opu Tosangaji tidak kuasa menahan kemarahannya melihat keangkuhan
Opsir Belanda dengan serta merta melemparnya dengan sebuah “Ammiccueng” (teko tempat ludah).
Insinden tersebut mengakibatkan perundingan gagal. Maka pertempuran frontal
yang menelan banyak korban pada kedua belah pihak akhirnya pecah. Pada suatu
pertempuran sengit selama 14 jam di PonjalaE dan Balandai pada tanggal 12
September 1905, Tana Luwu dibasahi darah para musuh dan ksatria terbaiknya, diantaranya
: Andi
Tadda Opu Tosangaji dan To
Ijo.
Dari masa ke masa, Tana Luwu
senantiasa melahirkan Patriot Agungnya. Pada masa Perjuangan Mempertahankan
Kemerdekaan, ketokohan Pahlawan Nasional Puetta Andi Djemma Opu ToappamEne’
Wara-WaraE MatinroE ri Panaikang Pajung Luwu ke-33 adalah salahsatu
yang bersinar gemilang dalam Sejarah Perjuangan Bangsa ini. Baginda adalah
termasuk Raja I (pertama) selain Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang
menyatakan dukungan penuh terhadap Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Menggali kesejarahan Tana Luwu
tiada habisnya hingga penggalian mencapai titik terdalam pada masa “In Illo
Tempora” (masa permulaan), dikala para Dewata merintis system kehidupan
bermasyarakat di Pulau Sulawesi ini. Epos Warisan Dunia I La Galigo adalah kisah
kepahlawanan Bangsa Luwu. Demikian pula dengan budaya cendekiawannya, kiranya
Luwu dapat berbangga dengan Tokoh To Ciung Tongeng MaccaE ri Luwu yang
adalah “Guru Besar” Cendekiawan La Pagala NEnE’ Mallomo TopamulaE DEcEng ri
SidEnrEng dan Puetta La Mannussa’ Towakkarangeng Datu Soppeng
ke-9.
“Maupe’ tongeng na malebbii’ To Luu’E” (sungguh beruntung dan mulia
orang-orang Luwu), demikian selalu kata batinku sepulang dari Istana Kedatuan.
Pada mulanya kami berencana bermalam 1 malam di Palopo, namun pada akhirnya jua
kami menambah waktu hingga 2 malam. “Sebatang Rantin pohon WalenrEng” ini masih
betah berlama-lama dibawah naungan pohon asal muasalnya. Sepanjang malam, saya
selalu berdiskusi dengan Kakanda H. Andi Pajung perihal kebesaran Luwu ini.
Hingga kemudian terbitlah harapan
yang sedemikian besarnya pada kami. Semoga sekalian Orang Luwu merasa bangga
pula dengan berkah ini. Menjadi bagian dari suatu Bangsa yang besar di masa
lalu, sungguh suatu rahmat. Menjadi warga suatu daerah yang memiliki “Istana
Kedatuan” (Kraton), sungguh suatu hal yang membanggakan. Menjadi kawula dari
Seorang Raja dan para hadatnya yang berbudi luhur, adalah suatu kemuliaan yang
besar.
Namun tidaklah cukup dengan
sekedar bangga, lebih dari itu amat dituntut rasa memiliki yang tulus
berlandaskan kesyukuran. Bangsa Luwu dengan keragaman bahasa, etnik dan
agamanya sudah saatnya untuk kembali kepada kesadaran luhur dalam kesamaan
identitasnya sebagai suatu kesatuan dalam naungan “Satu Payung” untuk semuanya.
Corak dan simbol busana boleh jadi berbeda, namun inilah kebesaran Luwu pada
masa lalu yang menyatu dalam keberagamannya. Istana anak negeri Luwu boleh jadi
berbeda bentuk satu sama lainnya, namun ibarat batu mulia beraneka warna yang
bertaburan dalam suatu cincin kebesaran, sesungguhnya menjadi kesatuan dalam
se-bentuk cincin emas kemuliaannya. Maka segenap Istana Anak Negeri itu
disatukan oleh “LangkanaE”, Istana
Kedatuan Luwu. Istana suatu Bangsa, bukannya Istana suatu Suku. Bangsa Luwu
dengan “Alebbireng Pangaderengna”, terpancar dari Tata Kramanya yang halus semoga
kiranya senantiasa membumi, walau Sang Manurung telah kembali pada asalnya
masing-masing. Semoga, Amin Yaa Robbal Alamin
Wallahualam Bissawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar