Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Kamis, 21 Februari 2013

Catatan Muhibah


“LUWU, TANAH PERADABAN”,
Suatu Catatan Muhibah, by. La Oddang Panguriseng


“Disanjung sebagai To Manurung karena ia membawa peradaban ditengah masyarakat !”, kurang lebih demikian ujar Saudara Musli Anwar dalam suatu perbincangan santai di Kafe Aleta, Jum’at 8 Pebruari 2013. Obrolan santai malam itu berlangsung hangat, kala pertama bersua di alam nyata dengan Pung Ancha Maupe, Adik Faisal Toware, Sdr. Idwar dan Sdr. Musli Anwar. “To Manurung mengajarkan adab sopan santun yang begitu luhur serta aturan kehidupan bermasyarakat untuk bersinergi dengan alamnya..”, celetuk teman lainnya dengan santai. Seketika itu saya tersadar jika kini sedang duduk semeja dengan para orang muda Tana Luwu yang memaknai sejarah dan budaya negerinya dengan penuh khidmat. Mereka adalah jendela-jendela pengetahuanku tentang banyak hal lewat jejaring social facebook, khususnya seputar Sejarah Luwu, negeri leluhur para junjunganku.

Alhamdulillah, malam pertamaku di Kota Palopo ini adalah “ziarah ilmu pengetahuan” dengan teman-teman yang saya pandang benar-benar mendedikasikan segenap waktu dan pikirannya untuk sejarah dan budaya Tana Luwu yang dicintainya. Sementara keesokan harinya, Insya Allah kami dijadwalkan untuk menghadap Sri Baginda Datu Luwu ke – 40 di Istana Kedatuan, ziarah kemuliaan yang kami emban atas nama rumpun keluarga kami, bibit Wija Luwu yang bersemi dan tumbuh sebagaimana adanya di sebuah hamparan tanah endapan TellumpoccoE bernama : TanaE Belawa.
………………………………………………………………………..

“Assalamualakum Warahmatullahi Wabarakatuh”, dengan segenap takzim kupanjatkan salam dan do’a ketika memasuki gerbang barat Istana Kedatuan yang agung ini. Suatu komplek bangunan tua di pusat kota Palopo, namun senantiasa menyimpan nilai sejarah dan aura kemuliaannya. Pada istana ini telah merekam perihal kehidupan para Bangsawan Berdarah Murni ManurungngE yang Patriot Bangsa Sejati. Pada istana ini pula pada setiap jengkalnya tersimpan jejak-jejak peradaban “alebbireng” yang kemudian menebarkan bibitnya keseluruh penjuru negeri di Pulau laksana Bunga Angrek ini.

Bertemu lalu menghaturkan sembah takzim kehadapan Baginda Datu Luwu ke- 40, kiranya adalah pengalaman yang tak terlupakan sepanjang hayat dan Insya Allah akan menjadi buah tutur yang berharga bagi anak keturunan kami kelak. Kami berhadapan dengan sosok Raja yang tawaddu, ramah dan penuh kehangatan. Sosok pribadi agung yang pastinya akan membuat setiap kawulanya merasa betah duduk bersila dihadapannya dengan senantiasa berbesar hati. “AlEna tongengmi atanna DatuE sibawa rennunna pangoloi akkasuwiangenna ri cappa’ ajEna Opukku DatuE..”.

Demikian pula dengan para hadatnya yang sarat dengan Ilmu Pengetahuan. Berhadapan dengan Paduka Yang Mulia Opu Anton Pangeran serasa berada dalam suatu ruang penuh manuskrip Lontara yang amat luas. Berbincang-bincang dengan Paduka Opu Lolo bagaikan menggelar selembar Panguriseng seluas tikar balairung Istana, begitu luasnya perihal pengetahuan silsilah yang beliau ketahui. Demikian pula pertemuan awal dengan Paduka Yang Mulia Opu BalirantE Luwu, saya merasakan kesantunan adab Puteri yang menenteramkan, sehingga sejenak terlupa jika beliau sesungguhnya seorang Guru Besar Ilmu Sejarah. Hingga sanubari ini membatin, “Upe’pagaha To Luu’E..” (sungguh beruntung orang-orang Luwu..) .

Bagaimana tidak beruntung ?, kata batinku pula. Ketika Istana-Istana pada segenap Kabupaten/Kota yang lain di Sulawesi Selatan telah habis terbakar pada masa penjajahan Belanda dan masa kekacauan tahun 50-an, Istana Kedatuan Luwu masih lestari nan megah dengan segenap keagungannya. Tidak sekedar Istana tanpa mahkota, melainkan tahtanya senantiasa berkesinambungan dengan segenap perangkat hadatnya sampai hari ini.

Inilah “Istana Bangsa Luwu”, istana kerajaan satu-satunya yang memimpin “suatu bangsa” di Sulawesi Selatan. Suatu identitas kebangsaan yang mempersatukan beberapa tribe/ethnic dan agama didalamnya. Sementara itu, sejarahnya jika digali semakin dalam, maka kebesaran dan keagungannya semakin bercahaya.

Mulai dari Tradisi Perjuangan menentang VoC yang mencatatkan Pahlawan Besar Puetta La Palissubaya Sultan Nazaruddin DaEng Mattuju KaraEng LambEngi Pajung Luwu ke – 18  (1637 – 1662) yang adalah Pahlawan Nusantara I (pertama) yang diasingkan oleh Belanda di Cape Town (Afrika Selatan), 14 tahun sebelum Syekh Yusuf "Petta Tosalama'E" Tajul Khalwati Al Makassari (Menantu Sultan Ageng Tirtayasa) diasingkan pada tempat yang sama (Ligtvoet.1877:144). Baginda adalah sekutu Sultan Hasanuddin Sombayya Gowa Tumenanga ri Balla’ Pangkana  yang amat ulet selama Perang Makassar (1667-1669) yang kemudian melanjutkan perjuangan menentang VoC dan sekutunya dengan membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Semangat perjuangan yang pantang menyerah itu kemudian diwariskan kepada puteranya, yakni : Puetta Sattiaraja Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung ri Luwu ke-19 (1662 – 1675). Pangeran Patriot ini bahkan aktif menggempur VoC dan sekutunya sejak umur remaja ketika masih menjabat selaku Opu Cenning Luwu.

Hingga kemudian pada awal memasuki abad XX, Ekspedisi Pendaratan Pasukan Belanda haruslah bertempur habis-habisan melawan Pasukan Kedatuan Luwu barulah dapat menginjakkan kakinya di Bumi Sawerigading ini. Bermula ketika Gouverneur Van Celebes mengajukan tuntutan sepihak  kepada Datu Luwu Puetta We Kambo Opu DaEng Risompa MatinroE Bintangna Pajung Luwu ke – 32. Suatu tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi Baginda Ratu beserta Hadatnya, demi menjunjung harkat dan martabat Tana Luwu. Maka dalam suatu perundingan pada tanggal 11 September 1905 di PonjalaE, Opu Pabbicara Kerajaan Luwu yakni Andi Tadda Opu Tosangaji tidak kuasa menahan kemarahannya melihat keangkuhan Opsir Belanda dengan serta merta melemparnya dengan sebuah “Ammiccueng” (teko tempat ludah). Insinden tersebut mengakibatkan perundingan gagal. Maka pertempuran frontal yang menelan banyak korban pada kedua belah pihak akhirnya pecah. Pada suatu pertempuran sengit selama 14 jam di PonjalaE dan Balandai pada tanggal 12 September 1905, Tana Luwu dibasahi darah para musuh dan ksatria terbaiknya, diantaranya : Andi Tadda Opu Tosangaji  dan To Ijo.

Dari masa ke masa, Tana Luwu senantiasa melahirkan Patriot Agungnya. Pada masa Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan, ketokohan Pahlawan Nasional Puetta Andi Djemma Opu ToappamEne’ Wara-WaraE MatinroE ri Panaikang Pajung Luwu ke-33 adalah salahsatu yang bersinar gemilang dalam Sejarah Perjuangan Bangsa ini. Baginda adalah termasuk Raja I (pertama) selain Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menyatakan dukungan penuh terhadap Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menggali kesejarahan Tana Luwu tiada habisnya hingga penggalian mencapai titik terdalam pada masa “In Illo Tempora” (masa permulaan), dikala para Dewata merintis system kehidupan bermasyarakat di Pulau Sulawesi ini. Epos Warisan Dunia I La Galigo adalah kisah kepahlawanan Bangsa Luwu. Demikian pula dengan budaya cendekiawannya, kiranya Luwu dapat berbangga dengan Tokoh To Ciung Tongeng MaccaE ri Luwu yang adalah “Guru Besar” Cendekiawan La Pagala NEnE’ Mallomo TopamulaE DEcEng ri SidEnrEng dan Puetta La Mannussa’ Towakkarangeng Datu Soppeng ke-9.

“Maupe’ tongeng na malebbii’ To Luu’E” (sungguh beruntung dan mulia orang-orang Luwu), demikian selalu kata batinku sepulang dari Istana Kedatuan. Pada mulanya kami berencana bermalam 1 malam di Palopo, namun pada akhirnya jua kami menambah waktu hingga 2 malam. “Sebatang Rantin pohon WalenrEng” ini masih betah berlama-lama dibawah naungan pohon asal muasalnya. Sepanjang malam, saya selalu berdiskusi dengan Kakanda H. Andi Pajung perihal kebesaran Luwu ini.

Hingga kemudian terbitlah harapan yang sedemikian besarnya pada kami. Semoga sekalian Orang Luwu merasa bangga pula dengan berkah ini. Menjadi bagian dari suatu Bangsa yang besar di masa lalu, sungguh suatu rahmat. Menjadi warga suatu daerah yang memiliki “Istana Kedatuan” (Kraton), sungguh suatu hal yang membanggakan. Menjadi kawula dari Seorang Raja dan para hadatnya yang berbudi luhur, adalah suatu kemuliaan yang besar.

Namun tidaklah cukup dengan sekedar bangga, lebih dari itu amat dituntut rasa memiliki yang tulus berlandaskan kesyukuran. Bangsa Luwu dengan keragaman bahasa, etnik dan agamanya sudah saatnya untuk kembali kepada kesadaran luhur dalam kesamaan identitasnya sebagai suatu kesatuan dalam naungan “Satu Payung” untuk semuanya. Corak dan simbol busana boleh jadi berbeda, namun inilah kebesaran Luwu pada masa lalu yang menyatu dalam keberagamannya. Istana anak negeri Luwu boleh jadi berbeda bentuk satu sama lainnya, namun ibarat batu mulia beraneka warna yang bertaburan dalam suatu cincin kebesaran, sesungguhnya menjadi kesatuan dalam se-bentuk cincin emas kemuliaannya. Maka segenap Istana Anak Negeri itu disatukan oleh “LangkanaE”, Istana Kedatuan Luwu. Istana suatu Bangsa, bukannya Istana suatu Suku. Bangsa Luwu dengan “Alebbireng Pangaderengna”, terpancar dari Tata Kramanya yang halus semoga kiranya senantiasa membumi, walau Sang Manurung telah kembali pada asalnya masing-masing. Semoga, Amin Yaa Robbal Alamin

Wallahualam Bissawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar