Patutkah
kalau kita menyamakan cinta kasih dengan kesenangan ?. Benarkah anggapan
sementara orang, bahwa cinta kasih adalah pemuasan berahi belaka ?. Tepatkah
kalau cinta kasih mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian dan kedukaan ?.
…………………………………………………………………..
Memang kasihanlah bagi
siapapun yang menganggap cinta kasih sebagai suatu hal yang harus menjadi sumber
kesenangan. Menjadi suatu hal yang harus menjadi pemuas keinginan
diri sendiri belaka, karena siapa saja yang beranggapan demikian sudah pasti
akan menemui kegagalan dalam cinta. Ia sudah pasti pada suatu waktu, akan
kecewa karena cinta kasih yang tadinya dianggap sebagai sumber kesenangan dan
tidaklah seperti yang diharapkan semula.
Setiap bentuk kesenangan
sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan
kedukaan. Maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan, sudah pasti
tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan. Pada
akhirnya, cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan. Jelaslah bahwa hal itu berarti, bahwa cinta
kasih juga merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan!. Karena kesenangan
mempunyai kebalikannya, yaitu kedukaan. Maka,
kalau kesenangan terluput, datanglah kekecewaan atau kedukaan.
Tidaklah mungkin untuk
menentukan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu. Cinta kasih bukanlah
benda atau hal mati yang sudah dapat ditentukan sifatnya. Namun jelas bukan
cinta kasih kalau mendatangkan duka !. Pementingan mendatangkan duka,
pengejaran kesenangan mendatangkan duka, jadi semua itu bukanlah cinta kasih !.
Maka jelaslah, rasa yang
menimbulkan suka dan duka bukan cinta kasih. Hal masih dicengkeram suka duka
tak mungkin mengenal bahagia Cinta kasih atau bahagia tentu jauh lebih tinggi
di atas alam suka duka !.
Semenjak kecil, kita sudah
terdidik dan terbiasa untuk menilai segala sesuatu melalui kata-kata. Pada
akhirnya terjerumuslah kita semua ke dalam dunia penuh kepalsuan yang tersembunyi
dibalik kata-kata manis !. Maka kepalsuan-kepalsuan melalui kata-kata manis dan
senyum buatan ini oleh kita, dinamai : PERADABAN. Sesungguhnya inilah peradaban
yang tidak beradab. Kita namakan pula kesopanan, namun ia adalah kesopanan yang
tidak sopan. Kita sudah terbiasa untuk menilai keadaan luarnya saja. Inilah
yang menyebabkan kita sering tergelincir oleh kemanisan kata-kata dan sikap
palsu.
Kita tidak lagi peka untuk
mengenal keadaan yang lebih mendalam, karena perasaan kita sudah dibikin tumpul oleh
kebiasaan menilai kulitnya saja. Maka diobral oranglah kata-kata “aku cinta
padamu”, sehingga tidak ada artinya lagi. Diobral orang pula senyum palsu,
sikap menghormat dan menjilat yang kesemuanya itu sesungguhnya tidak wajar dan
palsu adanya. Hal ini dapat kita lihat jelas sekali terjadi di sekeliling kita,
bahkan dalam diri kita, kalau saja kita mau MEMBUKA MATA memandang dan
mengamati apa adanya. Maka dapatkah kita hidup tanpa menjadi hamba kepalsuan
ini ?.
Demikianlah pula dengan “Nurani
Mencinta”. Dia sudah yakin benar akan perasaan cinta yang terbalas kepadanya,
namun tidak puaslah hatinya kalau dia tidak mendengar pernyataan cinta itu
melalui kata-kata, padahal pernyataan macam ini sesungguhnya tidak ada harganya
sama sekali, karena apakah artinya kata-kata hampa dibandingkan dengan perasaan
yang murni dan agung itu ?.
Memang demikianlah Cinta !.
Amat besar kuasanya atas perasaan manusia. Sekali Cinta menyentuh hati sanubari
insan, selanjutnya merupakan titik terang satu-satunya yang meniadakan segala
persoalan hidup. Menjadi satu-satunya tujuan hidup penuh dengan hasrat dan
harapan, melambungkan cita-cita setinggi angkasa, membuat yang terkena terapung
muluk dan satu-satunya hal yang penting dalam hidup hanyalah tercapainya hasrat
dan harapannya.
Cinta memang indah, namun
keindahan yang cemerlang menyilaukan hati sehingga terlupakan orang, bahwa di
dalam keindahan itu terdapat lika-liku yang ruwet dan rumit, lika-liku yang
mudah menyesatkan dan sekali terpeleset, segala kemanisan berubah kepahitan. Madu berubah empedu, keindahan berubah
keburukan dan kebahagiaan terbang pergi, kegembiraan berganti kedukaan !.
Cinta, bagaikan pohon kembang nan indah. Namun sesungguhnya mengandung duri,
mengandung ular yang mudah pula layu. Kalau pandai merawatnya, menghindarkan
durinya, pandai memupuknya, barulah akan subur dan semakin indah !. Maka
merawatnya, tiada lain dengan ketulusan. Kemudian memupuknya dengan kerinduan.
Lalu menyiramnya dengan curahan kasih. Kemudian pada akhirnya menatanya dengan
sayang.
Lalu apa dan
bagaimana “Cinta Asmara” yang sesungguhnya itu ?. Cinta Asmara bukan sekedar
terdorong oleh daya tarik masing-masing antara pria dan wanita, walaupun tentu
saja dimulai oleh suatu daya tarik. Daya tarik, itu bisa saja berupa wajah
rupawan, kedudukan tinggi, harta benda, kepandaian, atau keturunan keluarga
orang besar. Akan tetapi juga dapat berupa sikap yang menyenangkan hati yang
tertarik, tentu saja sikap ini pun bermacam-macam sesuai dengan selera
masing-masing yang tertarik. Akan tetapi, hubungan kasih sayang ini barulah
mendalam dan juga membahagiakan orang yang dicintanya. Sebaliknya, cinta asmara
yang didorong oleh keinginan menyenangkan diri sendiri, sudah tentu akan
bertumbuk kepada banyak hal yang mendatangkan derita. Derita ini timbul karena
sekali waktu tentu orang yang dicintanya itu akan melakukan sesuatu yang
dianggapnya tidak menyenangkan hatinya lagi !. Sungguh, tiada sesuatu yang
kekal di dalam kehidupan ini kecuali cinta kasih !.
Semenjak manusia tercipta, nafsu berahi merupakan
nafsu yang paling kuat dan jika nafsu ini telah mencengkeram diri manusia, maka
si manusia lupa akan segala hal, kehilangan kewaspadaannya dan seluruhnya
menjadi permaianan nafsu. Dapat dilihat dalam catatan sejarah betapa banyaknya tokoh
yang jatuh kerena diperhamba nafsu berahi, para ksatria yang runtuh karena
wanita, dan orang-orang alim ulama yang tergoda oleh nafsu, godaan terkuat.
Nafsu berahi merupakan anugerah alamiah yang memperindah cinta kasih antara
pria dan wanita, mendorong manusia untuk berkembang biak dan sudahlah menjadi
hukum alam.
Namun apabila nafsu berahi
tidak dikekang dan sudah mencengkeram diri manusia yang telah menciptakan
hukum-hukum kesusilaan, maka segala rintangan, segala pantangan akan dilanggar
di luar kesadarannya.
Penderitaan batin yang
timbul akibat cinta asmara memang amatlah berat penanggungannya. Hati akan
merasa amat kesunyian, amat nelangsa, hidup seakan-akan kosong tidak ada
artinya, lenyaplah semua gairah hidup, lenyap semua kegembiraan, yang terasa
hanyalah kelesuan, lemah lunglai rasanya seluruh tubuh, tanpa semangat membuat
orang malas dan tak acuh. Semua ini timbul karena perasaan iba diri yang amat
mendalam. Duka lara yang tak terperikan.
Wahai, dari mana timbulnya
duka lara ?. Akibat duka sudah jelas, membuat orang menjadi gelap pikiran dan
tidak sabar, dan dalam keadaan sesak oleh duka itu jasmani pun bekerjalah untuk
menolong dirinya dari ancaman bahaya karena duka, yaitu dengan jalan
menciptakan air mata yang bercucuran keluar dan peristiwa ini dapat
melampiaskan duka seperti bendungan yang dibuka sehingga genangan duka itu
dapat membanjir keluar.
Akan tetapi dari manakah timbulnya duka ?. Jelaslah bahwa duka timbul dari pikiran sendiri. Pikiran dilayangkan kepada hal-hal yang sudah lewat, hal-hal yang dianggap merugikan diri sendiri, dianggap tidak cocok dengan apa yang dikehendaki sehingga hal yang telah terjadi itu mendatangkan kekecewaan yang kemudian menciptakan rasa nelangsa dan iba kepada diri sendiri, menjadi duka.
Jelaslah bahwa duka menguasai batin hanya pada saat kita tidak sadar, pada saat kita tidak waspada, pada saat kita membiarkan batin diselubungi kenangan hal-hal yang sudah lewat. Dan kita melakukan sesuatu yang amat keliru, yaitu kita selalu ingin lari dari duka, yang datang menyerang. Ingin lari dari duka, ingin menghibur dan melupakan hal yang mendukakan.
Namun usaha menjauhkan duka ini malah memperbesar duka itu sendiri !. Kita tidak pernah mau menghadapi duka itu sebagaimana adanya, atau mengamati duka dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran. Mengamati betapa kita penuh dengan iba diri, betapa kita mengenang-ngenang hal yang merugikan itu, terus mengunyah-ngunyah kenangan itu sehingga semua kenangan itu seolah-olah merupakan sebuah tangan setan yang meremas-remas hati kita sendiri!.
Untuk dapat terbebas dari duka, kita harus mengenal duka sebagaimana adanya, kita harus berani mengamati duka, tidak lari darinya. Karena hanya dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan inilah maka akan timbul pengertian yang sedalam-dalamnya tentang duka, dan pengertian ini akan menimbulkan kesadaran yang dengan sendirinya akan melenyapkan duka tanpa kita berusaha menghilangkannya.
Namun sayang, betapa kita semua tidak sadar dan membiarkan diri terseret ke dalam arus suka-duka ini. Kita terseret duka, mengharapkan hiburan, menikmati hiburan yang mendatangkan suka, untuk kemudian diseret ke dalam duka kembali, dan demikian selanjutnya kita terjebak ke dalam lingkaran setan yang berupa suka dan duka. Namun yang lebih menyedihkan lagi, kita menganggap bahwa memang sudah demikian itulah hidup !. “C’ Est La Vie !”, demikian Orang Perancis mengatakannya. “Olala”, seolah-olah tidak ada jalan lain dalam kehidupan ini, kecuali menjadi hamba suka duka yang menyedihkan.
Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka apabila kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita mengikatkan diri dengan segala yang anggap akan mendatangkan kesenangan abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan suami/isteri, dengan keluarga, dengan kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya. Pengikatan diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi maupun kesenangan rohani. Kalau sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas.
Sesungguhnya
bahwa suka maupun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri,
tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi
pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti
kebahagiaan dan sumbernya terletak di harta, kedudukan, nama dan sebagainya.
Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya. Dimanakah letak kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda ?. Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Biarpun orang memiliki lima buah gunung emas, apabila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin apabila dia menginginkan barang yang lebih dari jumlah itu harganya. Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apapun yang berada di dalam tangannya, betapapun tinggi nilai benda itu, apabila dia menginginkan barang yang lain daripada yang telah dimilikinya. Sesungguhnya orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, takkan pernah merasa cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang dinamakan kebahagiaan hidup.
Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dengan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan gembira dan tidak pernah dia tenggelam di dalam duka maupun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya, selalu jatuh bangun di antara suka dan duka. Akan tetapi betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini !. Kita menerimanya sebagai hal yang “sudah semestinya”.
Hidup yang penuh dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan macam ini sebagai hal yang semestinya! Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri kepada pemuasan kesenangan sungguhpun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu : kita !.
Tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang bersumber di dalam diri pribadi, kecuali KITA SENDIRI. Bukan kita yang mengusahakan perobahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, akan tetapi dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dalam, dengan pengawasan dan pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perobahan. Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati tentang filsafat atau kebatinan manapun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka.
Biasanya, kita manusia, di ujung dunia yang manapun juga, selalu mengejar-ngejar pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan atau dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau menghindari apa saja yang dianggap menyusahkan. Kita ingin hidup ini penuh dengan yang manis-manis saja. Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan sebagainya karena semua itu muncul apabila yang manis dan kita dambakan itu tidak tercapai. Itulah romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yang menjadi isi daripada kehidupan kita sekarang ini.
Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja ?. Mengapa mesti bersenang kalau mendapatkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa penilaian “si pikiran” yang mencari manis selalu, mungkin kita akan melihat sesuatu yang ajaib. Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar maniskah yang kita anggap manis ?. Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita tidak merasakan tidak enaknya pahit ? Apakah kita dapat mengenal terang kalau kita tidak mengenal gelap ?. Maka inilah yang saya maksudkan “memandang dari Sisi Gelap”, atau dengan kata lain : Sisi Pahit.