Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Sabtu, 19 Mei 2012



BADIK LUWU MABBORI BOJOE, sebuah obrolan malam
                                                                         By. La Oddang

..lagi-lagi sebuah cerita belaka, “caritana La Cado Pappura Ico” yang konon “telluni bola rondang naburu’” (sudah tiga pos ronda yang dirusaknya) sejak menjalani hobbinya yang saban malam mengobrol bersama para peronda kampung.
……………………………………………………………………………………………

Salahsatu benda yang paling dicari dalam era tahun 50-an, adalah “Kawali Makkure’ Bojo” (badik berpamor Bori Bojo) yang juga dikenal luas sebagai “Badik Luwu”. Adalah para “Passompe’ Tana Bare’” (Perantau Bugis ke Sumatera) yang mencarinya. Konon khabarnya, bahkan ada yang dihargai  dengan “siparE’ dare’ Kaluku” (satu parit kebun kelapa ?). Manengkamana soli ???!! (kok sampE segitu mahal ???!!), tanyaku pada La Cado.

Sambil mengisap dalam-dalam lintingan tembakaunya yang sebesar jempol kaki itu, La Cado yang mantan perantau dari Indragiri itu berkisah dengan takzimnya. Bahwa Badik Luwu dengan pamor khasnya yang menyerupai bagian belakang rumah keong (gulungan spiral) itu adalah “cap stempel” Sang Sawerigading sendiri.

Alkisah, pada suatu petualangan pelayarannya, tibalah di selat Malaka dan membuang sauh disalahsatu pantai Pulau Sumatera. Kebetulan pada saat itu persediaan kayu bakar di armada WElenrEngngE sudah sangat menipis. Maka diperintahkanlah beberapa awak kapal untuk merambah pulau besar yang tidak dikenal itu. Maka turunlah mereka untuk “Mala Aju” (mengambil kayu) dengan membawa beberapa ekor anjing.

Setelah beberapa lama, para “Parala Aju” (pengambil kayu)  itu tidak pulang-pulang ke kapal. Agaknya mereka tersesat dalam hutan yang lebat. Setelah ditunggu selama beberapa hari, Sawerigading memutuskan untuk melanjutkan pelayaran. Dititahkannya kepada para “oroE” untuk menarik sauh.

Sementara para “oro” menarik sauh, tiba-tiba kucing kesayangan Sang Opunna Ware’ (Sawerigading) melompat turun ke daratan. Maka Sang Sawerigading memanggil-mangil kucingnya dengan berbagai macam bujukan agar kembali ke kapal. Namun si kucing tidak menggubrisnya. Maka murkalah, Pangeran Manusia Dewa itu. “..maponco’ sunge’ko rEkko mupakkalEjja’ mEmengngi ajEmu ri TanaE Luwu ! “ (..kau akan berumur pendek jika menginjakkan kaki kembali di Tana Luwu !), demikian kira-kira bunyi kutukan itu. Lalu pelayaran dilanjutkan ke samudera berikutnya.

Sejak itu, kucing Sawerigading tinggal beranak pinak di pulau itu dan dikenal sebagai “macang” (harimau). Kemudian anjing-anjing yang turut mendarat bersama awak kapal sebelumnya, kini dikenal sebagai “baruang” (beruang). Adapun halnya dengan rombongan pencari kayu yang tersesat itu kemudian berkembang pula sebagai suku “malaju” (melayu ?), dari asal kata : Mala Aju (ambil kayu). Itulah sebabnya, “Kawali Luwu Mabboribojo” (Badik Luwu) sangat dihargai oleh perantau Bugis di Sumatera. “Sesuatu yang dijadikan sebagai “penjaga diri” karena harimau Sumatera senantiasa segan dan hormat pada pemegang Badik Luwu, pertanda keberadaan pertuanannya”, demikian La Cado mengakhiri kisahnya.

“AwwE, tongengmuaga jE ?! Lontara aga naonroi iyE caritaE ?” (Ah, yang benar aja ?! Lontar apa gerangan yang menulis kisah ini ?), tanyaku gamang. “..dE’to naparellu tasappaa akko Lontara’E. Idi’mua rEkko dE’ tateppeki, dE’namarigaga rialEku, ha ha..” (..gak perlu dicari pada Lontara. Terserah anda sekiranya gak percaya, it doesn’t matter for me, ha ha..), sahut La Cado tergelak sambil mengepulkan asap rokoknya dengan amat santainya… La Cado toongeng ! (dasar La Cado !), kataku, ..dalam hati.

Wallahualam Bissawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar