Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Kerabat pembaca yang saya muliakan.
Bahwa tema "Perempuan Dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masyarakat Sulawesi Selatan" ini menarik untuk dikaji bersama, maka kelanjutan penulisannya senantiasa diedit, kiranya dapat lebih bermamfaat bagi kita sekalian.
Tulisan dibawah ini adalah tulisan yang sama dengan yang terdahulu, namun telah diadakan perbaikan disana sini sesuai kemampuan saya yang amat terbatas. Semoga layak mendapat mendapatkan derma perbaikan lebih lanjut dari segenap pembaca yang budiman, atas budi yang baik dihaturkan terima kasih.
Wassalam.
PARA PEREMPUAN PERKASA DARI PULAU ANGREK
Menjelang menghembuskan nafas terakhirnya, Rasulullahu Shallalaahu Alaihi Wasallam menitipkan wasiat mulia yang salahsatunya, adalah : ..jaga kemuliaan perempuan. Karena Rasul terakhir tersebut senantiasa mengingatkan bahwa : Perempuan adalah tiang Negara. Kemudian Baginda Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhah Radiayallahu Anhu berujar tentang perempuan, "..hanya orang mulia yang bisa memuliakan perempuan !.Sedemikian mulianya mahluk yang melahirkan sesamanya yang disebut sebagai perempuan.
Jika sekiranya Dienul Islam begitu menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan, bagaimanapula halnya "riwayat" perempuan dalam khazanah sejarah dan kebudayaan masyarakat Bugis Makassar ?
……………………………………………………………………………………………………
Pada sebuah acara diskusi perihal evaluasi penyelenggaran Pemilu tahun 2004, seorang pelopor kesataraan gender Kota Parepare (baca : Pemberdayaan Perempuan, penulis) begitu berapi-api menyuarakan keterwakilan perempuan yang dinilainya selalu "timpang" dimanapun di Republik ini. Sebelumnya pada setiap kesempatan pertemuan dengan beliau, tiada lain yang disuarakannya selain "penindasan laki-laki terhadap kaum perempuan". Hingga lama-lama penulis bosan juga dan sempat nyeletuk, "Apa gak ada KOMODITI lain sih ?!". Masalahnya, seringkali tema pertemuan pada saat itu tidak relevan dengan persolan kesetaraan gender yang selalu diumbarnya.
Sebenarnya bukan perihal rasa bosan atau tidak bosan mendengar sengitnya pembelaan terhadap kaum yang menurutnya "lemah" itu. Namun apakah benar jika kaum perempuan sesungguhnya lemah ?. "Jika menurut anda bahwa WANITA itu LEMAH sehingga memerlukan payung hukum untuk menjamin keterwakilannya dalam segala hal, maka justru anda sendiri yang MEMARGINALKAN kaum anda !", kataku. "..karena anda sendiri yang mengasumsikan bahwa wanita sesungguhnya mampu BERSAING dengan laki-laki dalam segala hal, maka buat apa lagi diperlukan Undang-Undang tersendiri untuk melindungi kepentingannya ?. Harap diingat, kesetaraan dalam suatu kompetisi yang adil semestinya berada dalam ranah hukum dan aturan main yang sama pula..", sambungku jua tak kalah sengitnya.
Akhirnya sayapun "terjebak" pada suatu sudut margin dengan "memperlombakan" dua kaum yang sesungguhnya dikodratkan berpasangan untuk menebar ruh kasih sayang dan rahmat keberlangsungan hidup berperadaban di dunia ini. Lalu bagaimanakah sesungguhnya manusia Bugis Makassar memandang "perempuan" dalam kehidupan masyarakatnya ?
"Makkunrai" adalah penyebutan orang Bugis terhadap gender perempuan dan orang Makassar menyebutnya sebagai "BainE". Penyebutan "Makkunrai" berasal dari kata "UnrE", yakni sejenis busana rok bawahan yang jika ditambah awalan "ma" dan akhiran "i" sebagai kata kerja, berarti "pemakai rok". Maka bahasa Bugis mencitrakan gender tersebut dari jenis busana yang lazim dipakainya. Namun orang Makassar lebih mebahasakannya dengan lebih "agung" lagi, yakni : "BainE" yang mendekati kata "binE" (benih atu cikal bakal), sehingga dapat dimaknai sebagai "asal atau permulaan". Namun bagaimanapun perbedaan harfiah dan makna terhadap perempuan bagi kedua suku Bangsa terbesar di Sulawesi ini, tetap saja menempatkan perempuan sebagai : puncak martabat kemanusiaanya. Bukan sekedar symbol, melainkan merupakan esensi luhur yang menandai derajat dan martabat dalam suatu rumpun keluarga. Sebagai contoh : suatu keluarga dapat dinilai tingkat strata sosialnya ketika anak gadisnya dilamar dengan jumlah mahar (mas kawin) tertentu.
Bahwa azas "siri na paccE" (Makassar) atau "siri na pessE" (Bugis) dalam artian "Harga diri dan Solidaritas Kemanusiaan" yang menjadi landasan moral dan kehidupan bermasyarakat (baca : Pangadereng, penulis) pada keduanya memiliki keseragaman dalam hal cara pandang terhadap martabat perempuan. Seorang perempuan dalam sebuah keluarga atau bahkan kaum (Appang atau Rapu) Bugis Makassar dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Pelecehan terhadap seorang perempuan baik sebagai isteri, anak , saudara, bibi, kemenakan maupun sepupu dalam suatu lingkup keluarga dari seorang lelaki dianggap sebagai pelanggaran "siri" (harkat, martabat dan harga diri) bagi seluruh anggota keluarganya (tomasiri'na). Maka seketika itu pula bangkitlah naluri "pessE" (solidaritas) bagi semuanya yang tak bisa ditawar untuk membela serta menegakkan "siri" dengan mempertaruhkan segala apapun, utamanya dengan darah dan nyawa. "Naiyya siri'E, nyawa na ranreng" (sesungguhnya harga diri selalu berdampingan dengan hidup), demikian semboyang masyarakat Bugis dan Makassar.
Memandang perempuan sebagai symbol kehormatan suatu keluarga maupun kaum, adalah salahsatu hal yang mendorong budaya "sompa" (persembahan mas kawin) yang teramat mahal sebagai suatu proses tradisi wajib pada suku Bugis dan Makassar sejak dulu sampai sekarang. Seorang laki-laki yang melamar untuk mendapatkan seorang perempuan dari suatu keluarga diwajibkan "massompa" yang dalam pengertian harafiahnya sebagai "penyembahan". Bukan sebagai suatu transaksi "penjualan" sebagaimana sebagian kalangan menilainya dengan sinis, namun lebih merupakan sebagai persaksian atas itikad baik yang sungguh-sungguh dalam menghargai serta MEMULIAKAN perempuan yang akan dipersuntingnya.
Setelah memenuhi segala tata cara dalam proses pernikahan yang panjang, seorang mertua dari pihak lelaki dianggap pula sebagai seorang beradab jika memberi "sangra" (hak penguasaan) pada menantu perempuannya. Penganugerahan "sangra" tersebut dapat berupa tanah perkebunan atau persawahan.
Suami isteri dalam suatu keluarga senantiasa berada pada kesetaraan yang mutlak.
Seorang suami menyebut isterinya sebagai "bainEku" (Makassar) atau "bEnEku / makkunraikku" (Bugis) yang sama-sama berarti : "Perempuanku/Wanitaku". Demikian pula sebaliknya, seorang isteri menyebut suaminya sebagai "buru'nEngku" (Makassar) atau "Lakkaikku" yang sama berarti " Lelakiku". Dengan demikian, keduanya memiliki makna "kepemilikan yang setara" atau saling memiliki. Tidak ada tata cara "cuci kaki" dan cium tangan dalam khazanah adat dan tradisi pernikahan Bugis dan Makassar, demi menjaga taraf kesetaraan suami dan isteri. Bahkan istilah gundik atau isteri simpanan tidak ada dalam perbendaharaan kata Bahasa Bugis dan Makassar.
Walaupun tidak menganut sistim matrilinear sebagaimana halnya pada Suku Minangkabau, sejarah Bugis dan Makassar serta semua suku bangsa yang ada di Sulawesi Selatan dan Barat mencatat RIBUAN "Ratu" yang pernah hidup sebagai penguasa tertinggi dalam suatu kerajaan. Selain sebagai Ratu, banyak pula yang berkiprah sebagai panglima perang yang ditakuti lawan dan disegani kawannya. Mereka para perempuan luar biasa itu mengukuhkan diri pada panggung sejarah sebagai pribadi agung yang dikenang dan dikagumi sepanjang masa, antara lain yang dapat menjadi catatan penulis, sebagai berikut :
Periode I Lagaligo
Walaupun merupakan sebuah epos, sastra I Lagaligo merupakan cerminan karakteristik dan pola berpikir masyarakat Bugis di masa menjelang fajar Pagi sejarah Sulawesi Selatan pada umumnya (meminjam istilah Prof. Dr. H. A. Mattulada Alm.).
Motif tradisi yang mengapresiasikan pola pikir masyarakat Bugis pra-Islam sangat jelas tergambar pada plot serta tokoh-tokohnya, sehingga sangatlah sulit memilah antara unsur mytologi dan unsur sejarah didalamnya. Mengingat tema tulisan ini, kiranya tidaklah terlalu berlebihan jika mencantumkan tokoh-tokoh perempuan yang menonjol dalam epic I La Galigo yang dipandang sebagai sumber inspirasi para perempuan perkasa yang terukir indah pada dinding sejarah "Pulau berbentuk Angrek" bernama : Sulawesi .
1. We Tenri AbEng Bissu ri Langi DaEng Manuttek
Tokoh sastra klasik I Lagaligo yang merupakan saudara kembar Sawerigading, tokoh utama epos tersebut. Gelar "Bissu ri Langi" yang disandangnya karena beliau merupakan Kepala Pendeta bagi para Dewata yang menghuni khayangan. Selain itu, beliau pula adalah "permaisuri" yang bertahta di Botinglangi (puncak tertinggi Kerajaan Khayangan) karena diperisteri oleh "Remmang ri Langi".
Sebagaimana dikisahkan, walaupun Sawerigading adalah kakak We Tenri AbEng, namun Maharaja para ksatria bumi tersebut tetap "menyembah" kepada adik perempuannya tersebut dalam kedudukannya sebagai manusia dan dewata. Berbagai permasalahan Sawerigading segalanya dimintai solusi kepada We Tenri AbEng yang digambarkannya sebagai "Dewi Kebijaksanaan".
2. We Cudai' DaEng ri Sompa Punna BolaE ri LatanEtE
Tokoh Sastra I La Galigo pula, yakni Puteri La Sattungpogi Datu Cina yang dilamar untuk dipersunting oleh Sawerigading. Namun disebabkan suatu hal, ia menolak dipersunting oleh Sawerigading, walau ayahanda dan segenap keluarganya telah menerima pinangan itu. Namun karena penghargaan seorang ayah yang juga adalah raja terhadap "hak azasi" seorang puteri yang telah dinobatkannya sebagai "Punna BolaE ri LatanEtE" (Penguasa Istana LatanEtE), maka dengan terpaksa "membatalkan" pernikahan itu yang mengakibatkan negerinya nyaris hancur lebur diperangi Sawerigading dan pasukan Luwunya.
3. We Tadampali Arung Masala Uli'E
Puteri Pajung ri Luwu La Busatana Datu MaongngE yang terkena penyakit lepra akibat kutukan Dewata disebabkan penerimaan lamaran Putera Mahkota Kerajaan Bone atas dirinya. Akhirnya beliau dihanyutkan dalam sebuah rakit bersama dengan segenap pengiringnya, hingga terdampar di Negeri "Tosora" kemudian membuka pemukiman baru pada kawasan tersebut. Oleh sebagian kalangan, peristiwa terdamparnya Sang Puteri Luwu di Tosora yang banyak ditumbuhi pohon "Wajo-Wajo" adalah cikal bakal berdirinya Kerajaan Wajo, salahsatu Kerajaan Bugis terbesar.
4. KaraEng Tompo ri Pujananti
Isteri I La Galigo Topadammani Lenne’pujiE Pajung Lolo ri Cina (Putera SawErigading dengan We Cudai Dg. Risompa) yang dipersuntingnya dalam muhibah perangnya ke Negeri Pujananti. Beberapa bulan setelah menikah, I Lagaligo bertolak ke Cina dengan meninggalkan KaraEng Tompo dalam keadaan mengandung di Pujananti. Setelah kepergian suaminya, Sang puteri Pujananti ini melahirkan La Mappanganro yang pada akhirnya menyusul pula ayahandanya (I Lagaligo) ke Negeri Cina.
Setelah bertahun-tahun tanpa menerima khabar dari anak dan suaminya, KaraEng Tompo bertolak ke Cina dengan menyamar sebagai laki-laki. Ia bersama pasukan Pujananti mengamuk di Cina hingga hampir saja menaklukkan negeri itu, tanpa dikenal oleh I Lagaligo sendiri. Namun berkat kebijaksanaan Sawerigading yang mendapatkan wangsit dari We Tenri Abeng, maka KaraEng Tompo dan pasukannya menghentikan amukannya dengan suka rela.
KaraEng Tompo adalah penggambaran seorang ksatria wanita yang dapat disamakan dengan tokoh “Srikandi” dalam kisah pewayangan Mahabharata. Seorang perempuan yang menuntut bela martabatnya sebagai isteri yang disia-siakan oleh suaminya.
Periode Sejarah
Masa realistis, dimana para tokoh perempuan ini tercatat dalam sejarah Sulawesi Selatan dengan kiprahnya yang luar biasa, sehingga mampu menempatkan namanya sejajar dengan tokoh lelaki manapun di negeri ini.
1. ManurungngE ri TamalatE Tunisombayya ri Gowa I
Hidup pada abad XIV M yang menandai lahirnya kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan setelah periode I La Galigo. Beliau adalah Raja Gowa I yang juga sebagai pendiri Kerajaan Gowa , dimana sebelumnya terdiri dari 9 Kerajaan lokal (BatE Salapang).
Sang Ratu dipersunting oleh KaraEng Bayo yang juga digelar "KaraEng TurijE'nE" karena kedatangannya yang luar biasa, yakni timbul dari samudera. Pernikahan keduanya melahirkan keturunan yang turun temurun menjadi Raja Gowa selanjutnya hingga sekarang.
2. We Batari Tungke' (Sultanah Fatimah) Petta MatinroE ri Pattiro Pajung ri Luwu XXII
Beliau adalah "perempuan" pertama yang dinobatkan menjadi "Pajung Luwu" (Raja Luwu), Kerajaan tertua dan paling dipandang mulia di jazirah Sulawesi. Sang Ratu adalah puteri La Onrong Topalaguna Petta MatinroE ri Langkanana Pajung XX dengan We PattEkE Tana . Pernikahannya dengan sepupu sekalinya, yakni : La Rumpangmegga TosappEilE Opu Cenning Luwu, melahirkan putera puteri yang juga adalah tokoh besar Sulawesi setelahnya. Mereka adalah : La Oddang RiuDaEng Mattinri' "Sultan Fachruddin" Datu TanEtE Datu Soppeng XXIII dan We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu XXIII-XXV.
3. We Tenri LElEang "Sultana Aisyah" Datu TanEtE, Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu XXV – XXVII
Terlahir pada paruh ketiga abad XVII dan wafat pada pertengahan abad XVIII (1750), kiranya tidaklah berlebihan jika penulis beranggapan bahwa tokoh perempuan yang satu ini adalah titik sentral silsilah yang memperhubungkan garis keturunan para Raja Besar di Sulawesi, Sumatera (Riau) dan Malaka. Baginda Ratu melahirkan keturunannya yang terdiri dari para Raja dan Ratu perkasa, sehingga mendominasi percaturan politik di Asia Tenggara pada abad XVIII hingga kini.
Ratu We Tenri lElEang adalah seorang pemimpin yang adil dan bermartabat. Hal ini dibuktikannya ketika salah seorang puteranya yang gemar melanggar adat, dijatuhinya hukuman "Ripaoppangi Tana" (diusir dari wilayah kerajaan dan tidak boleh kembali selamanya). Tidak cukup sampai disitu, sebagai pertanggungjawaban atas kesalahan puteranya, beliau mengundurkan diri sebagai Pajung Luwu.
Sebagai pengganti kekosongan tahta Luwu pasca pengunduran diri We Tenri LElEang, dinobatkanlah pamannya sendiri (saudara seayah Ibunda We Tenri LElEang), yakni : La KasEng Tosibengngareng Petta MatinroE ri Kaluku BodoE. Namun tidak lama memerintah, Baginda wafat. Maka We Tenri LElEang diminta kembali untuk menduduki singgasana Luwu.
Selama hidupnya, We Tenri LElEang menikah sebanyak dua kali. Pernikahannya dengan La Mappasiling (La Mappasali, La Mappaselli) Datu Pattojo Petta MatinroE Duninna, melahirkan : La Mappajanci Datu SoppEng XXVII dan We Tenri Abang DaEng Baji DatuE Watu. La Mappajanci Datu SoppEng XXVII menikahi sepupu sekalinya, yakni : I Sabong (puteri La Oddang Riu DaEng Mattinri' "Sultan Fachruddin" Datu TanEtE Datu SoppEng XXIII), melahirkan I MEnengratu Arung Lipukasi. Adapun halnya dengan We Tenri Abang DaEng Baji DatuE Watu, beliau dinikahkan dengan La Pallawagau' Arung Maiwa Datu Pammana Pilla ri Wajo, melahirkan 2 puteri, yakni : I Sompa DaEng Sinring Datu Pammana dan We Tenri Balobo DaEng RiyasE Datu Pammana.
I Sompa DaEng Sinring Datu Pammana telah menikah sebanyak dua kali pula. Dari suaminya yang bernama : La Settiang Opu Maddika Bua, beliau melahirkan I Nomba Petta Mabbola SadaE Datu Pammana (isteri Muhammad Arsak Petta CambangngE) dan La Patarai Opu Lamunreng. Maka dari garis inilah, keturunan We Tenri LElEang beranak cucu sebagai para penguasa Kerajaan Bone, Aja Tappareng, Pammana hingga Arung Matoa Wajo.
Kembali pada We Tenri LElEang, dari pernikahannya dengan La Mallarangeng Datu Datu Lompulle' Datu Marioriawa Datu TanEtE, melahirkan : La Maddusila Datu (KaraEng) TanEtE. Kemudian La Maddusila melahirkan Opu Tenri Borong DaEng ri LEkke', maka inilah yang melahirkan "Opu Lima", cikal bakal para Sultan di Mempawah (Kalimantan), Riau (Sumatera) dan Negeri Semenjung di Malaysia hingga kini.
Putera puteri lain We Tenri LElEang dengan La Mallarangeng adalah : We Batari Toja (I Wakkang) DaEng Matana Datu Bakke' (isteri La Tenri Peppang DaEng Paliweng Petta MatinroE ri Sabbangparu Pajung ri Luwu XXVIII, anak La KasEng Tosibengngareng) maka dari garis inilah yang meneruskan trah kesultanan Luwu hingga kini. Kemudian putera We Tenri LElEang yang lainnya adalah : La Tenri Sessu' Arung Pancana Opu Cenning Luwu memperisterikan We Tenri Lawa BessE PEampo, melahirkan : La Makkarakalangi Baso Tancung Datu Marioriawa (ayahanda La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo XLI).
4. Batari Toja DaEng Talaga "Sultana Zaenab Zakiyatuddin" Petta MatinroE ri Tippulunna Arung Timurung, Mangkau' ri Bone XVII- XXI, Pajung ri Luwu XXI, Datu Soppeng XXII-XXIV.
Mendapatkan warisan berupa tanggung jawab besar menjadi penguasa ketiga Kerajaan Utama di Sulawesi Selatan, kiranya bukanlah perkara mudah bagi siapapun yang hidup di permulaan abad XVIII atau dimasa kini sekalipun. Namun seorang perempuan pada masa itu terbukti mampu mengemban tanggung jawab itu, walaupun dengan "mengorbankan " kehidupan cintanya yang penuh intrik politik akibat wewenang kekuasaannya yang begitu besar. Konon ia menikah sebanyak tujuh kali tanpa memperoleh keturunan. Perempuan agung itu, adalah : We Batari Toja DaEng Talaga.
Batari Toja adalah puteri La Patau Matanna Tikka "Sultan Alimuddin Idris" Arung Palakka, Petta Ranreng Tuwa Wajo, Mangkau' ri Bone XVI Petta MatinroE ri Naga Uleng dengan We Yummung (Tenri Ummung) Datu Larompong Petta MatinroE ri Bola Jalajja'na (puteri Sattia Raja Pajung ri Luwu XX).
Dalam tahun 1704, Batari Toja dinikahkan dengan Mas Madina Sultan Sumbawa, demi memenuhi pesan paman kakeknya, yakni : La Tenri Tatta DaEng SErang Petta MalampE'E Gemme'na (Petta TorisompaE Datu Tungke'na Tana Sempugi) semasa hidupnya. Namun pernikahan tersebut tidak berlangsung lama karena keduanya resmi bercerai tanpa anak pada tanggal 27 Mei 1708. Kemudian sesuai dengan wasiat ayahandanya sebelum meninggal, Batari Toja dinobatkan sebagai Mangkau ri Bone XVII pada tanggal 19 September 1714.
Tidak lama setelah menduduki tahta Mangkau' Bone, Batari Toja dinobatkan lagi menjadi Pajung ri Luwu, menggantikan kakeknya (Sattia Raja) yang telah wafat. Hal ini sesuai dengan perjanjian Petta TorisompaE dengan Sattia Raja ketika menikahkan (La Patau dengan We Yummung) agar keturuan keduanya nantilah yang dinobatkan sebagai Pajung Luwu. Kemudian tidak lama pula setelah peristiwa itu, Batari Toja dinobatkan pula sebagai Datu Soppeng. Maka jadilah ia sebagai "Wanita paling berkuasa" diseluruh Sulawesi pada masa itu.
Namun agaknya menjadi penguasa 3 Negeri bukanlah hal yang mudah. Begitu banyaknya pihak yang meronrong kekuasaan itu didasari berbagai kepentingan. Akhirnya kurang dari setahun memangku jabatan, Batari Toja tidak tahan lagi dan meletakkan ketiga jabatannya. Beliau kemudian pindah menetap di Gowa dalam perlindungan saudara seayahnya yang menjadi penguasa Gowa, yakni : La ParEppai TosappEwali "Sultan Ismail" Petta MatinroE ri Somba Opu Sombayya ri Gowa (putera La Patau' Matanna Tikka dengan I Mariama KaraEng Pattukangan).
Adapun halnya dengan tahta Bone dan Soppeng, sebelum meninggalkan Tana Bone, Batari Toja menyerahkan kepada adiknya, yakni : La Padassajati Toappaware' Petta MatinroE ri BEulang (saudara kandung La ParEppai TosappEwali) yang dilantik pada tanggal 14 Oktober 1715. Namun tahun menduduki tahta, Baginda La Padassajati dimakzulkan pula akibat ulahnya yang menyuruh pemberaninya untuk membunuh La Cella' Arung Ujumpulu Datu Lamuru. Akhirnya La Padassajati menyingkirkan diri ke BEulang hingga wafatnya.
Sebagai pengganti La Padassajati, dinobatkanlah La ParEppai TosappEwali "Sultan Ismail" Petta MatinroE ri Somba Opu yang juga Ex Somba ri Gowa sebagai Mangkau Bone dan Datu Soppeng. Sebelumnya Baginda meninggalkan tahta Gowa karena politik BatE Salapang Gowa (akibat politik adu domba Belanda) yang menghendaki pewaris tahta Gowa yang "murni" berdarah Gowa dari garis ayah. Namun rupanya beliau hanya mampu memerintah selama 3 tahun pula, yang pada akhirnya meninggalkan Tana Bone menuju ke Somba Opu (Ibu Kota Kerajaan Gowa) hingga wafatnya.
Sepeninggal La ParEppai, dinobatkanlah saudaranya yang lain bernama : La Panaongi Topawawoi Arung Mampu Arung Sijelling dalam tahun 1721. Walaupun Baginda seorang Raja yang cakap serta dicintai oleh rakyatnya, namun 3 tahun kemudian beliau memilih meletakkan jabatannya seraya menyerahkannya kembali kepada kakaknya, yakni : Batari Toja DaEng Talaga.
Maka Batari Toja kembali menduduki tahta Bone dan Soppeng. Pada masa itulah, beliau menikah lagi dengan seorang pangeran yang merupakan sepupu tiga kalinya, yakni : La Oki. Namun karena La Oki menikah pula dengan seorang perempuan bangsawan bernama : We Tungke (puteri La Paulangi Petta Janggo'E), maka sang Ratu "menceraikan" suaminya tersebut dan " lagi-lagi " tidak memperoleh anak.
Pada tahun 1716, Ratu Batari Toja menikah untuk ketiga kalinya dengan Daeng Mamuntu Arung Kaju. Maka untuk membantunya mengendalikan pemerintahan, beliau mengankat suaminya sebagai "Petta MaddanrengngE ri Bone" (Wakil Ratu). Sementara itu, sebagai "refreshing" akibat permasalahan pemerintahan 2 Negeri yang banyak menyita perhatian, maka Batari Toja lebih sering berdiam di Jumpandang (Makassar). Namun sepeninggalnya, rupanya Petta MaddanrengngE yang juga suami Sang Ratu berniat merebut kekuasaan isterinya.Mengetahui niat jahat suaminya, Batari Toja "menceraikan" suaminya itu serta mengusirnya dari wilayah Bone dan Soppeng.
5. I Benning Arung Data "Sultana SalEha Rabiyatuddin" Petta MatinroE ri Kessi', Mangkau ri Bone XXV (1823-1835)
Seorang puteri yang keras hati, warisan dari kakaknya yang sebelumnya tidak mau tunduk terhadap kekuasaan asing, sehingga berperang sengit melawan Kolonial Inggris dan Belanda selama 11 tahun.
Nama lainnya adalah : I BaEgo, saudara kandung La Mappasessu Toappatunru Arung Palakka Mangkau ri Bone XXIV (1812-1823) dan La Mappaselling Arung Panyili "SultanAdam Najamuddin" Mangkau ri Bone XXVI. Mereka adalah putera puteri La Tenri Tappu Toappaliweng DaEng Palallo Petta MatinroE ri RompEgading Mangkau ri Bone XXIII (1775-1812) dengan We Tenripada Petta MatinroE ri Saodenra.
Sang Puteri dikenal sebagai Ratu yang sholeha dan menuntut ilmu Tasauf dengan tekun. Maka selama hidupnya, beliau tidak pernah menikah. Hingga ketika genap setahun setelah dilantiknya sebagai Ratu Bone, tibalah undangan dari Gubernur Belanda di Makassar. Bahwa sehubungan dengan kunjungan Gubernur General Hindia Belanda, Baron Van Der Capellen ke Makassar, maka diharapkan segenap Raja-Raja penguasa Negeri di Sulawesi Selatan untuk turut hadir di Makassar untuk member penghormatan sekaligus merumuskan "Perjanjian Baru" yang merupakan pembaharuan Perjanjian Bongaya yang sebelumnya diprakarsai oleh Admiral Spelman dengan Petta MalampE'E Gemme'na.
Maka pada tanggal 4 Juli 1824, tibalah Gubernur General Baron Van Der Capellen di Makassar. Namun, pihak Ratu Bone yang dianggap paling berperan penting dalam acara penyambutan itu tidak hadir. Baginda Ratu hanyalah mewakilkan kepada saudaranya, yakni : La MappaEwa Arung Lompu selaku pemimpin delegasi dari Kerajaan Merdeka Tana Bone. Kepada utusannya, Sang Ratu membekali pendirian dan sikap politik Tana Bone yang sebagaimana awalnya pada "Perjanjian Bongaya" terdahulu, bahwa Kerajaan Bone "Tana Bone MaradEka", sekutu Pemerintah Hindia Belanda yang SETARA. Sekaligus pula mengingatkan kepada pihak Gubernur General Belanda, bahwa "Arumpone" (setiap Raja/Ratu Bone) adalah PERTUANAN TUNGGAL dan KETUA PERHIMPUNAN RAJA-RAJA Se- Sulawesi Selatan. Tidak seorangpun Raja di Sulawesi Selatan yang boleh berhubungan langsung dengan Pemerintah Hindia Belanda kapan dan dimanapun, tanpa sepengetahuan dan ijin ArumponE. Demikian pendirian itu yang dipegang teguh oleh para utusan serta disampaikan dengan penuh sopan santun dihadapan Gubernur General.
Maka sejak kedatangan Gubernur General Baron Van Der Capellen, perundingan berjalan dengan alot selama beberapa hari, tanpa merumuskan suatu kesepakatan yang jelas. Azas-azas baru yang dikemukakan oleh pihak Gubernemen Belanda tidak satupun yang sesuai dengan sikap politik ArumponE I BaEgo melalui utusannya. Bahkan pada kesempatan itu, La MappaEwa Arung Lompu menuding Pemerintah Gubernemen sebagai pengecut yang dulunya semena-mena menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pemerintah Inggris tanpa berunding terlebih dahulu dengan Kerajaan Bone selaku Kerajaan Mitra yang setara. Lalu kini setelah Inggris meninggalkan Sulawesi Selatan setelah melalui perang berkepanjangan dengan Kerajaan Bone dan sekutunya, lagi-lagi secara "tidak tahu malu" Belanda kembali kemari dengan serta merta menuntut hak yang justru melampaui azas kesetaraan sebagaimana mulanya !. Bukankah ini merupakan penghianatan ?! Lebih baik berperang !!, pekik Arung Lompu dengan berangnya ketika itu yang disambut dukungan oleh Datu Suppa dan Datu TanEtE.
Melihat pendirian tegas pihak Kerajaan Bone, tiada satupun Raja-Raja Sulawesi Selatan lainnya yang berani memajukan pendirian lain yang mendekati azas yang dikemukakan Belanda. Maka dengan sikap "apa boleh buat", Gubernur General Baron Van Der Capellen memutuskan secara sepihak, antara lain :
1. Kerajaan-Kerajaan kecil Suppa dan TanEtE yang menjadi pengikut setia Kerajaan Bone dalam upaya menentang Belanda dengan ancaman kekerasan bersenjata, kepada keduanya harus diperangi dan ditaklukkan,
2. Tindakan memerangi kepada kedua Kerajaan kecil sebagaimana tersebut diatas dimaksudkan sebagai "peringatan" yang bersifat ancaman (ultimatum) kepada Ratu Bone agar segera merubah sikap politiknya dalam kurun waktu 15 hari setelah maklumat itu diterima.
Menyangkut tokoh bernama "I BaEgo", merunut pada ketiga Lontara Panguriseng tersebut, diuraikan lebih lanjut, sbb : Toappatunru Petta MatinroE ri Lalebbata Mangkau ri Bone XXIV (putera La Tenri Tappu Petta MatinroE ri Rompegading Mangkau Bone XXIII dengan We Tenripada Petta MatinroE ri Saodenra) menikah dengan Arung Kaju, melahirkan : I BaEgo Arung MacEgE yang dinikahkan dengan La Sumange'rukka Topatari Arung BErru. Pernikahan keduanya melahirkan : 1. We Tenripada Sultanah Aisyah Arung Berru (isteri I Malingkaan Sombayya Gowa XXXIII) dan 2. La Singkerrurukka Petta MatinroE ri Topaccing Mangkau ri Bone XXIX (suami St. Sairah Arung Timurung).
Penutup
Masih banyak "Penguasa Perempuan" yang menghiasi sejarah perjalanan Sulawesi dimasa lalu yang agaknya sulit untuk dicantumkan satu persatu pada kolom sederhana ini. Mereka menorehkan peristiwa heroik yang akan dikenang sepanjang masa. Sebutlah nama We Pancaitana BessE' Kajuara Datu Suppa Petta MatinroE ri Majennang Mangkau Bone XXXVIII (puteri La Tenri Sukki Arung Kajuara Petta MAddanrengngE ri Bone dengan We Tenrilipu Daeng Matana Datu Suppa) yang juga adalah kemenakan I Benning Arung Data "Sultana SalEha Rabiyatuddin" Petta MatinroE ri Kessi', Mangkau ri Bone XXV. Beliau adalah janda dari La ParEnrEngi Arumpogi Petta MatinroE ri Aja BEntEng Mangkau ri Bone XXXVII yang wafat setelah menyatakan perang dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sang Ratu yang keras hati ini terkenal dengan tindakannya yang kontroversial, yakni : memerintahkan memasang TERBALIK bendera Kerajaan Belanda bagi setiap kapal maupun perahu yang melintasi Teluk Bone. Akibat tindakannya tersebut, Bone mengalami perang dahsyat dengan Belanda sehingga Ratu Bone BessE' Kajuara yang memimpin pertempuran itu terpaksa harus menyingkir ke Kerajaan Suppa, dimana beliau dinobatkan pula sebagai Datu Suppa sebagai warisan dari Ibundanya. Sama halnya dengan mendiang "bibinya", BessE' Kajuara tidak pernah tunduk selama hidupnya terhadap Belanda.
Hingga masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tokoh perempuan Sulawesi Selatan terus menorehkan namanya dalam kancah perjuangan, mereka antara lain adalah : Pahlawan Nasional Opu DaEng Risaju, Pahlawan Nasional Emmy SaElan, Pahlawan Nasional Andi DEpu Maraddia Pamboang (?) yang disapa oleh Presiden Soekarno sebagai "Ibu Agung" serta masih banyak lagi yang lainnya. Maka betullah kiranya jika seorang tokoh dunia (penulis lupa namanya) menyatakan dengan penuh hormat, bahwa : " Hormatilah perempuan karena bagaimanapun hebatnya seorang lelaki, ia pastilah telah dilahirkan seorang perempuan..".
Wallahualam bissawwab..
Kerabat pembaca yang saya muliakan.
Bahwa tema "Perempuan Dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masyarakat Sulawesi Selatan" ini menarik untuk dikaji bersama, maka kelanjutan penulisannya senantiasa diedit, kiranya dapat lebih bermamfaat bagi kita sekalian.
Tulisan dibawah ini adalah tulisan yang sama dengan yang terdahulu, namun telah diadakan perbaikan disana sini sesuai kemampuan saya yang amat terbatas. Semoga layak mendapat mendapatkan derma perbaikan lebih lanjut dari segenap pembaca yang budiman, atas budi yang baik dihaturkan terima kasih.
Wassalam.
PARA PEREMPUAN PERKASA DARI PULAU ANGREK
Menjelang menghembuskan nafas terakhirnya, Rasulullahu Shallalaahu Alaihi Wasallam menitipkan wasiat mulia yang salahsatunya, adalah : ..jaga kemuliaan perempuan. Karena Rasul terakhir tersebut senantiasa mengingatkan bahwa : Perempuan adalah tiang Negara. Kemudian Baginda Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhah Radiayallahu Anhu berujar tentang perempuan, "..hanya orang mulia yang bisa memuliakan perempuan !.Sedemikian mulianya mahluk yang melahirkan sesamanya yang disebut sebagai perempuan.
Jika sekiranya Dienul Islam begitu menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan, bagaimanapula halnya "riwayat" perempuan dalam khazanah sejarah dan kebudayaan masyarakat Bugis Makassar ?
……………………………………………………………………………………………………
Pada sebuah acara diskusi perihal evaluasi penyelenggaran Pemilu tahun 2004, seorang pelopor kesataraan gender Kota Parepare (baca : Pemberdayaan Perempuan, penulis) begitu berapi-api menyuarakan keterwakilan perempuan yang dinilainya selalu "timpang" dimanapun di Republik ini. Sebelumnya pada setiap kesempatan pertemuan dengan beliau, tiada lain yang disuarakannya selain "penindasan laki-laki terhadap kaum perempuan". Hingga lama-lama penulis bosan juga dan sempat nyeletuk, "Apa gak ada KOMODITI lain sih ?!". Masalahnya, seringkali tema pertemuan pada saat itu tidak relevan dengan persolan kesetaraan gender yang selalu diumbarnya.
Sebenarnya bukan perihal rasa bosan atau tidak bosan mendengar sengitnya pembelaan terhadap kaum yang menurutnya "lemah" itu. Namun apakah benar jika kaum perempuan sesungguhnya lemah ?. "Jika menurut anda bahwa WANITA itu LEMAH sehingga memerlukan payung hukum untuk menjamin keterwakilannya dalam segala hal, maka justru anda sendiri yang MEMARGINALKAN kaum anda !", kataku. "..karena anda sendiri yang mengasumsikan bahwa wanita sesungguhnya mampu BERSAING dengan laki-laki dalam segala hal, maka buat apa lagi diperlukan Undang-Undang tersendiri untuk melindungi kepentingannya ?. Harap diingat, kesetaraan dalam suatu kompetisi yang adil semestinya berada dalam ranah hukum dan aturan main yang sama pula..", sambungku jua tak kalah sengitnya.
Akhirnya sayapun "terjebak" pada suatu sudut margin dengan "memperlombakan" dua kaum yang sesungguhnya dikodratkan berpasangan untuk menebar ruh kasih sayang dan rahmat keberlangsungan hidup berperadaban di dunia ini. Lalu bagaimanakah sesungguhnya manusia Bugis Makassar memandang "perempuan" dalam kehidupan masyarakatnya ?
"Makkunrai" adalah penyebutan orang Bugis terhadap gender perempuan dan orang Makassar menyebutnya sebagai "BainE". Penyebutan "Makkunrai" berasal dari kata "UnrE", yakni sejenis busana rok bawahan yang jika ditambah awalan "ma" dan akhiran "i" sebagai kata kerja, berarti "pemakai rok". Maka bahasa Bugis mencitrakan gender tersebut dari jenis busana yang lazim dipakainya. Namun orang Makassar lebih mebahasakannya dengan lebih "agung" lagi, yakni : "BainE" yang mendekati kata "binE" (benih atu cikal bakal), sehingga dapat dimaknai sebagai "asal atau permulaan". Namun bagaimanapun perbedaan harfiah dan makna terhadap perempuan bagi kedua suku Bangsa terbesar di Sulawesi ini, tetap saja menempatkan perempuan sebagai : puncak martabat kemanusiaanya. Bukan sekedar symbol, melainkan merupakan esensi luhur yang menandai derajat dan martabat dalam suatu rumpun keluarga. Sebagai contoh : suatu keluarga dapat dinilai tingkat strata sosialnya ketika anak gadisnya dilamar dengan jumlah mahar (mas kawin) tertentu.
Bahwa azas "siri na paccE" (Makassar) atau "siri na pessE" (Bugis) dalam artian "Harga diri dan Solidaritas Kemanusiaan" yang menjadi landasan moral dan kehidupan bermasyarakat (baca : Pangadereng, penulis) pada keduanya memiliki keseragaman dalam hal cara pandang terhadap martabat perempuan. Seorang perempuan dalam sebuah keluarga atau bahkan kaum (Appang atau Rapu) Bugis Makassar dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Pelecehan terhadap seorang perempuan baik sebagai isteri, anak , saudara, bibi, kemenakan maupun sepupu dalam suatu lingkup keluarga dari seorang lelaki dianggap sebagai pelanggaran "siri" (harkat, martabat dan harga diri) bagi seluruh anggota keluarganya (tomasiri'na). Maka seketika itu pula bangkitlah naluri "pessE" (solidaritas) bagi semuanya yang tak bisa ditawar untuk membela serta menegakkan "siri" dengan mempertaruhkan segala apapun, utamanya dengan darah dan nyawa. "Naiyya siri'E, nyawa na ranreng" (sesungguhnya harga diri selalu berdampingan dengan hidup), demikian semboyang masyarakat Bugis dan Makassar.
Memandang perempuan sebagai symbol kehormatan suatu keluarga maupun kaum, adalah salahsatu hal yang mendorong budaya "sompa" (persembahan mas kawin) yang teramat mahal sebagai suatu proses tradisi wajib pada suku Bugis dan Makassar sejak dulu sampai sekarang. Seorang laki-laki yang melamar untuk mendapatkan seorang perempuan dari suatu keluarga diwajibkan "massompa" yang dalam pengertian harafiahnya sebagai "penyembahan". Bukan sebagai suatu transaksi "penjualan" sebagaimana sebagian kalangan menilainya dengan sinis, namun lebih merupakan sebagai persaksian atas itikad baik yang sungguh-sungguh dalam menghargai serta MEMULIAKAN perempuan yang akan dipersuntingnya.
Setelah memenuhi segala tata cara dalam proses pernikahan yang panjang, seorang mertua dari pihak lelaki dianggap pula sebagai seorang beradab jika memberi "sangra" (hak penguasaan) pada menantu perempuannya. Penganugerahan "sangra" tersebut dapat berupa tanah perkebunan atau persawahan.
Suami isteri dalam suatu keluarga senantiasa berada pada kesetaraan yang mutlak.
Seorang suami menyebut isterinya sebagai "bainEku" (Makassar) atau "bEnEku / makkunraikku" (Bugis) yang sama-sama berarti : "Perempuanku/Wanitaku". Demikian pula sebaliknya, seorang isteri menyebut suaminya sebagai "buru'nEngku" (Makassar) atau "Lakkaikku" yang sama berarti " Lelakiku". Dengan demikian, keduanya memiliki makna "kepemilikan yang setara" atau saling memiliki. Tidak ada tata cara "cuci kaki" dan cium tangan dalam khazanah adat dan tradisi pernikahan Bugis dan Makassar, demi menjaga taraf kesetaraan suami dan isteri. Bahkan istilah gundik atau isteri simpanan tidak ada dalam perbendaharaan kata Bahasa Bugis dan Makassar.
Walaupun tidak menganut sistim matrilinear sebagaimana halnya pada Suku Minangkabau, sejarah Bugis dan Makassar serta semua suku bangsa yang ada di Sulawesi Selatan dan Barat mencatat RIBUAN "Ratu" yang pernah hidup sebagai penguasa tertinggi dalam suatu kerajaan. Selain sebagai Ratu, banyak pula yang berkiprah sebagai panglima perang yang ditakuti lawan dan disegani kawannya. Mereka para perempuan luar biasa itu mengukuhkan diri pada panggung sejarah sebagai pribadi agung yang dikenang dan dikagumi sepanjang masa, antara lain yang dapat menjadi catatan penulis, sebagai berikut :
Periode I Lagaligo
Walaupun merupakan sebuah epos, sastra I Lagaligo merupakan cerminan karakteristik dan pola berpikir masyarakat Bugis di masa menjelang fajar Pagi sejarah Sulawesi Selatan pada umumnya (meminjam istilah Prof. Dr. H. A. Mattulada Alm.).
Motif tradisi yang mengapresiasikan pola pikir masyarakat Bugis pra-Islam sangat jelas tergambar pada plot serta tokoh-tokohnya, sehingga sangatlah sulit memilah antara unsur mytologi dan unsur sejarah didalamnya. Mengingat tema tulisan ini, kiranya tidaklah terlalu berlebihan jika mencantumkan tokoh-tokoh perempuan yang menonjol dalam epic I La Galigo yang dipandang sebagai sumber inspirasi para perempuan perkasa yang terukir indah pada dinding sejarah "Pulau berbentuk Angrek" bernama : Sulawesi .
1. We Tenri AbEng Bissu ri Langi DaEng Manuttek
Tokoh sastra klasik I Lagaligo yang merupakan saudara kembar Sawerigading, tokoh utama epos tersebut. Gelar "Bissu ri Langi" yang disandangnya karena beliau merupakan Kepala Pendeta bagi para Dewata yang menghuni khayangan. Selain itu, beliau pula adalah "permaisuri" yang bertahta di Botinglangi (puncak tertinggi Kerajaan Khayangan) karena diperisteri oleh "Remmang ri Langi".
Sebagaimana dikisahkan, walaupun Sawerigading adalah kakak We Tenri AbEng, namun Maharaja para ksatria bumi tersebut tetap "menyembah" kepada adik perempuannya tersebut dalam kedudukannya sebagai manusia dan dewata. Berbagai permasalahan Sawerigading segalanya dimintai solusi kepada We Tenri AbEng yang digambarkannya sebagai "Dewi Kebijaksanaan".
2. We Cudai' DaEng ri Sompa Punna BolaE ri LatanEtE
Tokoh Sastra I La Galigo pula, yakni Puteri La Sattungpogi Datu Cina yang dilamar untuk dipersunting oleh Sawerigading. Namun disebabkan suatu hal, ia menolak dipersunting oleh Sawerigading, walau ayahanda dan segenap keluarganya telah menerima pinangan itu. Namun karena penghargaan seorang ayah yang juga adalah raja terhadap "hak azasi" seorang puteri yang telah dinobatkannya sebagai "Punna BolaE ri LatanEtE" (Penguasa Istana LatanEtE), maka dengan terpaksa "membatalkan" pernikahan itu yang mengakibatkan negerinya nyaris hancur lebur diperangi Sawerigading dan pasukan Luwunya.
3. We Tadampali Arung Masala Uli'E
Puteri Pajung ri Luwu La Busatana Datu MaongngE yang terkena penyakit lepra akibat kutukan Dewata disebabkan penerimaan lamaran Putera Mahkota Kerajaan Bone atas dirinya. Akhirnya beliau dihanyutkan dalam sebuah rakit bersama dengan segenap pengiringnya, hingga terdampar di Negeri "Tosora" kemudian membuka pemukiman baru pada kawasan tersebut. Oleh sebagian kalangan, peristiwa terdamparnya Sang Puteri Luwu di Tosora yang banyak ditumbuhi pohon "Wajo-Wajo" adalah cikal bakal berdirinya Kerajaan Wajo, salahsatu Kerajaan Bugis terbesar.
4. KaraEng Tompo ri Pujananti
Isteri I La Galigo Topadammani Lenne’pujiE Pajung Lolo ri Cina (Putera SawErigading dengan We Cudai Dg. Risompa) yang dipersuntingnya dalam muhibah perangnya ke Negeri Pujananti. Beberapa bulan setelah menikah, I Lagaligo bertolak ke Cina dengan meninggalkan KaraEng Tompo dalam keadaan mengandung di Pujananti. Setelah kepergian suaminya, Sang puteri Pujananti ini melahirkan La Mappanganro yang pada akhirnya menyusul pula ayahandanya (I Lagaligo) ke Negeri Cina.
Setelah bertahun-tahun tanpa menerima khabar dari anak dan suaminya, KaraEng Tompo bertolak ke Cina dengan menyamar sebagai laki-laki. Ia bersama pasukan Pujananti mengamuk di Cina hingga hampir saja menaklukkan negeri itu, tanpa dikenal oleh I Lagaligo sendiri. Namun berkat kebijaksanaan Sawerigading yang mendapatkan wangsit dari We Tenri Abeng, maka KaraEng Tompo dan pasukannya menghentikan amukannya dengan suka rela.
KaraEng Tompo adalah penggambaran seorang ksatria wanita yang dapat disamakan dengan tokoh “Srikandi” dalam kisah pewayangan Mahabharata. Seorang perempuan yang menuntut bela martabatnya sebagai isteri yang disia-siakan oleh suaminya.
Periode Sejarah
Masa realistis, dimana para tokoh perempuan ini tercatat dalam sejarah Sulawesi Selatan dengan kiprahnya yang luar biasa, sehingga mampu menempatkan namanya sejajar dengan tokoh lelaki manapun di negeri ini.
1. ManurungngE ri TamalatE Tunisombayya ri Gowa I
Hidup pada abad XIV M yang menandai lahirnya kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan setelah periode I La Galigo. Beliau adalah Raja Gowa I yang juga sebagai pendiri Kerajaan Gowa , dimana sebelumnya terdiri dari 9 Kerajaan lokal (BatE Salapang).
Sang Ratu dipersunting oleh KaraEng Bayo yang juga digelar "KaraEng TurijE'nE" karena kedatangannya yang luar biasa, yakni timbul dari samudera. Pernikahan keduanya melahirkan keturunan yang turun temurun menjadi Raja Gowa selanjutnya hingga sekarang.
2. We Batari Tungke' (Sultanah Fatimah) Petta MatinroE ri Pattiro Pajung ri Luwu XXII
Beliau adalah "perempuan" pertama yang dinobatkan menjadi "Pajung Luwu" (Raja Luwu), Kerajaan tertua dan paling dipandang mulia di jazirah Sulawesi. Sang Ratu adalah puteri La Onrong Topalaguna Petta MatinroE ri Langkanana Pajung XX dengan We PattEkE Tana . Pernikahannya dengan sepupu sekalinya, yakni : La Rumpangmegga TosappEilE Opu Cenning Luwu, melahirkan putera puteri yang juga adalah tokoh besar Sulawesi setelahnya. Mereka adalah : La Oddang RiuDaEng Mattinri' "Sultan Fachruddin" Datu TanEtE Datu Soppeng XXIII dan We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu XXIII-XXV.
3. We Tenri LElEang "Sultana Aisyah" Datu TanEtE, Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu XXV – XXVII
Terlahir pada paruh ketiga abad XVII dan wafat pada pertengahan abad XVIII (1750), kiranya tidaklah berlebihan jika penulis beranggapan bahwa tokoh perempuan yang satu ini adalah titik sentral silsilah yang memperhubungkan garis keturunan para Raja Besar di Sulawesi, Sumatera (Riau) dan Malaka. Baginda Ratu melahirkan keturunannya yang terdiri dari para Raja dan Ratu perkasa, sehingga mendominasi percaturan politik di Asia Tenggara pada abad XVIII hingga kini.
Ratu We Tenri lElEang adalah seorang pemimpin yang adil dan bermartabat. Hal ini dibuktikannya ketika salah seorang puteranya yang gemar melanggar adat, dijatuhinya hukuman "Ripaoppangi Tana" (diusir dari wilayah kerajaan dan tidak boleh kembali selamanya). Tidak cukup sampai disitu, sebagai pertanggungjawaban atas kesalahan puteranya, beliau mengundurkan diri sebagai Pajung Luwu.
Sebagai pengganti kekosongan tahta Luwu pasca pengunduran diri We Tenri LElEang, dinobatkanlah pamannya sendiri (saudara seayah Ibunda We Tenri LElEang), yakni : La KasEng Tosibengngareng Petta MatinroE ri Kaluku BodoE. Namun tidak lama memerintah, Baginda wafat. Maka We Tenri LElEang diminta kembali untuk menduduki singgasana Luwu.
Selama hidupnya, We Tenri LElEang menikah sebanyak dua kali. Pernikahannya dengan La Mappasiling (La Mappasali, La Mappaselli) Datu Pattojo Petta MatinroE Duninna, melahirkan : La Mappajanci Datu SoppEng XXVII dan We Tenri Abang DaEng Baji DatuE Watu. La Mappajanci Datu SoppEng XXVII menikahi sepupu sekalinya, yakni : I Sabong (puteri La Oddang Riu DaEng Mattinri' "Sultan Fachruddin" Datu TanEtE Datu SoppEng XXIII), melahirkan I MEnengratu Arung Lipukasi. Adapun halnya dengan We Tenri Abang DaEng Baji DatuE Watu, beliau dinikahkan dengan La Pallawagau' Arung Maiwa Datu Pammana Pilla ri Wajo, melahirkan 2 puteri, yakni : I Sompa DaEng Sinring Datu Pammana dan We Tenri Balobo DaEng RiyasE Datu Pammana.
I Sompa DaEng Sinring Datu Pammana telah menikah sebanyak dua kali pula. Dari suaminya yang bernama : La Settiang Opu Maddika Bua, beliau melahirkan I Nomba Petta Mabbola SadaE Datu Pammana (isteri Muhammad Arsak Petta CambangngE) dan La Patarai Opu Lamunreng. Maka dari garis inilah, keturunan We Tenri LElEang beranak cucu sebagai para penguasa Kerajaan Bone, Aja Tappareng, Pammana hingga Arung Matoa Wajo.
Kembali pada We Tenri LElEang, dari pernikahannya dengan La Mallarangeng Datu Datu Lompulle' Datu Marioriawa Datu TanEtE, melahirkan : La Maddusila Datu (KaraEng) TanEtE. Kemudian La Maddusila melahirkan Opu Tenri Borong DaEng ri LEkke', maka inilah yang melahirkan "Opu Lima", cikal bakal para Sultan di Mempawah (Kalimantan), Riau (Sumatera) dan Negeri Semenjung di Malaysia hingga kini.
Putera puteri lain We Tenri LElEang dengan La Mallarangeng adalah : We Batari Toja (I Wakkang) DaEng Matana Datu Bakke' (isteri La Tenri Peppang DaEng Paliweng Petta MatinroE ri Sabbangparu Pajung ri Luwu XXVIII, anak La KasEng Tosibengngareng) maka dari garis inilah yang meneruskan trah kesultanan Luwu hingga kini. Kemudian putera We Tenri LElEang yang lainnya adalah : La Tenri Sessu' Arung Pancana Opu Cenning Luwu memperisterikan We Tenri Lawa BessE PEampo, melahirkan : La Makkarakalangi Baso Tancung Datu Marioriawa (ayahanda La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo XLI).
4. Batari Toja DaEng Talaga "Sultana Zaenab Zakiyatuddin" Petta MatinroE ri Tippulunna Arung Timurung, Mangkau' ri Bone XVII- XXI, Pajung ri Luwu XXI, Datu Soppeng XXII-XXIV.
Mendapatkan warisan berupa tanggung jawab besar menjadi penguasa ketiga Kerajaan Utama di Sulawesi Selatan, kiranya bukanlah perkara mudah bagi siapapun yang hidup di permulaan abad XVIII atau dimasa kini sekalipun. Namun seorang perempuan pada masa itu terbukti mampu mengemban tanggung jawab itu, walaupun dengan "mengorbankan " kehidupan cintanya yang penuh intrik politik akibat wewenang kekuasaannya yang begitu besar. Konon ia menikah sebanyak tujuh kali tanpa memperoleh keturunan. Perempuan agung itu, adalah : We Batari Toja DaEng Talaga.
Batari Toja adalah puteri La Patau Matanna Tikka "Sultan Alimuddin Idris" Arung Palakka, Petta Ranreng Tuwa Wajo, Mangkau' ri Bone XVI Petta MatinroE ri Naga Uleng dengan We Yummung (Tenri Ummung) Datu Larompong Petta MatinroE ri Bola Jalajja'na (puteri Sattia Raja Pajung ri Luwu XX).
Dalam tahun 1704, Batari Toja dinikahkan dengan Mas Madina Sultan Sumbawa, demi memenuhi pesan paman kakeknya, yakni : La Tenri Tatta DaEng SErang Petta MalampE'E Gemme'na (Petta TorisompaE Datu Tungke'na Tana Sempugi) semasa hidupnya. Namun pernikahan tersebut tidak berlangsung lama karena keduanya resmi bercerai tanpa anak pada tanggal 27 Mei 1708. Kemudian sesuai dengan wasiat ayahandanya sebelum meninggal, Batari Toja dinobatkan sebagai Mangkau ri Bone XVII pada tanggal 19 September 1714.
Tidak lama setelah menduduki tahta Mangkau' Bone, Batari Toja dinobatkan lagi menjadi Pajung ri Luwu, menggantikan kakeknya (Sattia Raja) yang telah wafat. Hal ini sesuai dengan perjanjian Petta TorisompaE dengan Sattia Raja ketika menikahkan (La Patau dengan We Yummung) agar keturuan keduanya nantilah yang dinobatkan sebagai Pajung Luwu. Kemudian tidak lama pula setelah peristiwa itu, Batari Toja dinobatkan pula sebagai Datu Soppeng. Maka jadilah ia sebagai "Wanita paling berkuasa" diseluruh Sulawesi pada masa itu.
Namun agaknya menjadi penguasa 3 Negeri bukanlah hal yang mudah. Begitu banyaknya pihak yang meronrong kekuasaan itu didasari berbagai kepentingan. Akhirnya kurang dari setahun memangku jabatan, Batari Toja tidak tahan lagi dan meletakkan ketiga jabatannya. Beliau kemudian pindah menetap di Gowa dalam perlindungan saudara seayahnya yang menjadi penguasa Gowa, yakni : La ParEppai TosappEwali "Sultan Ismail" Petta MatinroE ri Somba Opu Sombayya ri Gowa (putera La Patau' Matanna Tikka dengan I Mariama KaraEng Pattukangan).
Adapun halnya dengan tahta Bone dan Soppeng, sebelum meninggalkan Tana Bone, Batari Toja menyerahkan kepada adiknya, yakni : La Padassajati Toappaware' Petta MatinroE ri BEulang (saudara kandung La ParEppai TosappEwali) yang dilantik pada tanggal 14 Oktober 1715. Namun tahun menduduki tahta, Baginda La Padassajati dimakzulkan pula akibat ulahnya yang menyuruh pemberaninya untuk membunuh La Cella' Arung Ujumpulu Datu Lamuru. Akhirnya La Padassajati menyingkirkan diri ke BEulang hingga wafatnya.
Sebagai pengganti La Padassajati, dinobatkanlah La ParEppai TosappEwali "Sultan Ismail" Petta MatinroE ri Somba Opu yang juga Ex Somba ri Gowa sebagai Mangkau Bone dan Datu Soppeng. Sebelumnya Baginda meninggalkan tahta Gowa karena politik BatE Salapang Gowa (akibat politik adu domba Belanda) yang menghendaki pewaris tahta Gowa yang "murni" berdarah Gowa dari garis ayah. Namun rupanya beliau hanya mampu memerintah selama 3 tahun pula, yang pada akhirnya meninggalkan Tana Bone menuju ke Somba Opu (Ibu Kota Kerajaan Gowa) hingga wafatnya.
Sepeninggal La ParEppai, dinobatkanlah saudaranya yang lain bernama : La Panaongi Topawawoi Arung Mampu Arung Sijelling dalam tahun 1721. Walaupun Baginda seorang Raja yang cakap serta dicintai oleh rakyatnya, namun 3 tahun kemudian beliau memilih meletakkan jabatannya seraya menyerahkannya kembali kepada kakaknya, yakni : Batari Toja DaEng Talaga.
Maka Batari Toja kembali menduduki tahta Bone dan Soppeng. Pada masa itulah, beliau menikah lagi dengan seorang pangeran yang merupakan sepupu tiga kalinya, yakni : La Oki. Namun karena La Oki menikah pula dengan seorang perempuan bangsawan bernama : We Tungke (puteri La Paulangi Petta Janggo'E), maka sang Ratu "menceraikan" suaminya tersebut dan " lagi-lagi " tidak memperoleh anak.
Pada tahun 1716, Ratu Batari Toja menikah untuk ketiga kalinya dengan Daeng Mamuntu Arung Kaju. Maka untuk membantunya mengendalikan pemerintahan, beliau mengankat suaminya sebagai "Petta MaddanrengngE ri Bone" (Wakil Ratu). Sementara itu, sebagai "refreshing" akibat permasalahan pemerintahan 2 Negeri yang banyak menyita perhatian, maka Batari Toja lebih sering berdiam di Jumpandang (Makassar). Namun sepeninggalnya, rupanya Petta MaddanrengngE yang juga suami Sang Ratu berniat merebut kekuasaan isterinya.Mengetahui niat jahat suaminya, Batari Toja "menceraikan" suaminya itu serta mengusirnya dari wilayah Bone dan Soppeng.
5. I Benning Arung Data "Sultana SalEha Rabiyatuddin" Petta MatinroE ri Kessi', Mangkau ri Bone XXV (1823-1835)
Seorang puteri yang keras hati, warisan dari kakaknya yang sebelumnya tidak mau tunduk terhadap kekuasaan asing, sehingga berperang sengit melawan Kolonial Inggris dan Belanda selama 11 tahun.
Nama lainnya adalah : I BaEgo, saudara kandung La Mappasessu Toappatunru Arung Palakka Mangkau ri Bone XXIV (1812-1823) dan La Mappaselling Arung Panyili "SultanAdam Najamuddin" Mangkau ri Bone XXVI. Mereka adalah putera puteri La Tenri Tappu Toappaliweng DaEng Palallo Petta MatinroE ri RompEgading Mangkau ri Bone XXIII (1775-1812) dengan We Tenripada Petta MatinroE ri Saodenra.
Sang Puteri dikenal sebagai Ratu yang sholeha dan menuntut ilmu Tasauf dengan tekun. Maka selama hidupnya, beliau tidak pernah menikah. Hingga ketika genap setahun setelah dilantiknya sebagai Ratu Bone, tibalah undangan dari Gubernur Belanda di Makassar. Bahwa sehubungan dengan kunjungan Gubernur General Hindia Belanda, Baron Van Der Capellen ke Makassar, maka diharapkan segenap Raja-Raja penguasa Negeri di Sulawesi Selatan untuk turut hadir di Makassar untuk member penghormatan sekaligus merumuskan "Perjanjian Baru" yang merupakan pembaharuan Perjanjian Bongaya yang sebelumnya diprakarsai oleh Admiral Spelman dengan Petta MalampE'E Gemme'na.
Maka pada tanggal 4 Juli 1824, tibalah Gubernur General Baron Van Der Capellen di Makassar. Namun, pihak Ratu Bone yang dianggap paling berperan penting dalam acara penyambutan itu tidak hadir. Baginda Ratu hanyalah mewakilkan kepada saudaranya, yakni : La MappaEwa Arung Lompu selaku pemimpin delegasi dari Kerajaan Merdeka Tana Bone. Kepada utusannya, Sang Ratu membekali pendirian dan sikap politik Tana Bone yang sebagaimana awalnya pada "Perjanjian Bongaya" terdahulu, bahwa Kerajaan Bone "Tana Bone MaradEka", sekutu Pemerintah Hindia Belanda yang SETARA. Sekaligus pula mengingatkan kepada pihak Gubernur General Belanda, bahwa "Arumpone" (setiap Raja/Ratu Bone) adalah PERTUANAN TUNGGAL dan KETUA PERHIMPUNAN RAJA-RAJA Se- Sulawesi Selatan. Tidak seorangpun Raja di Sulawesi Selatan yang boleh berhubungan langsung dengan Pemerintah Hindia Belanda kapan dan dimanapun, tanpa sepengetahuan dan ijin ArumponE. Demikian pendirian itu yang dipegang teguh oleh para utusan serta disampaikan dengan penuh sopan santun dihadapan Gubernur General.
Maka sejak kedatangan Gubernur General Baron Van Der Capellen, perundingan berjalan dengan alot selama beberapa hari, tanpa merumuskan suatu kesepakatan yang jelas. Azas-azas baru yang dikemukakan oleh pihak Gubernemen Belanda tidak satupun yang sesuai dengan sikap politik ArumponE I BaEgo melalui utusannya. Bahkan pada kesempatan itu, La MappaEwa Arung Lompu menuding Pemerintah Gubernemen sebagai pengecut yang dulunya semena-mena menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pemerintah Inggris tanpa berunding terlebih dahulu dengan Kerajaan Bone selaku Kerajaan Mitra yang setara. Lalu kini setelah Inggris meninggalkan Sulawesi Selatan setelah melalui perang berkepanjangan dengan Kerajaan Bone dan sekutunya, lagi-lagi secara "tidak tahu malu" Belanda kembali kemari dengan serta merta menuntut hak yang justru melampaui azas kesetaraan sebagaimana mulanya !. Bukankah ini merupakan penghianatan ?! Lebih baik berperang !!, pekik Arung Lompu dengan berangnya ketika itu yang disambut dukungan oleh Datu Suppa dan Datu TanEtE.
Melihat pendirian tegas pihak Kerajaan Bone, tiada satupun Raja-Raja Sulawesi Selatan lainnya yang berani memajukan pendirian lain yang mendekati azas yang dikemukakan Belanda. Maka dengan sikap "apa boleh buat", Gubernur General Baron Van Der Capellen memutuskan secara sepihak, antara lain :
1. Kerajaan-Kerajaan kecil Suppa dan TanEtE yang menjadi pengikut setia Kerajaan Bone dalam upaya menentang Belanda dengan ancaman kekerasan bersenjata, kepada keduanya harus diperangi dan ditaklukkan,
2. Tindakan memerangi kepada kedua Kerajaan kecil sebagaimana tersebut diatas dimaksudkan sebagai "peringatan" yang bersifat ancaman (ultimatum) kepada Ratu Bone agar segera merubah sikap politiknya dalam kurun waktu 15 hari setelah maklumat itu diterima.
Namun hanya berselang beberapa hari setelah menerima ultimatum, I BaEgo ArumponE membalas ultimatum itu dengan peryataan yang lebih tegas pula, bahwa "Kemitraan Setara antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Belanda adalah HARGA MATI !!!!!!!". serta mengingatkan kembali bahwa Kerajaan Bone adalah ketua perserikatan
Raja-Raja se- Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat ketika itu).
Berkenaan dengan sikap Arumpone tersebut, pemerintah Gubernemen Belanda
meneruskan perundingan dengan Raja-Raja lain yang bersedia menerimanya. Adapun
halnya dengan Arumpone, Gubernemen memberi batas waktu selama 2 bulan serta
menyiapkan posisi selaku "anggota tertua" sekiranya dalam tenggang
waktu tersebut bersedia bergabung. Maka pada tanggal 27 Agustus 1824,
perjanjian yang diberi nama : "Vernieuwd Bongaisch Contract"
(Kontrak Bongaya yang diperbaharui) telah dimufakati serta ditutup dengan resmi
tanpa kehadiran delegasi dari Kerajaan Bone yang "walk out" terlebih
dahulu.
Pada tanggal 17 September 1824, genap empat hari setelah kepulangan Gubernur
General Baron Van De Capellen ke Batavia, atas perintah langsung I BaEgo
Arumpone Pasukan Kerajaan Bone melakukan penyerbuan ke negeri-negeri Marusu
(Maros), PangkajEnE dan lain-lain negeri yang menerima perjanjian pembaharuan
dengan Gubernemen Belanda serta dinyatakan oleh Belanda sebagai negeri yang
dikuasainya secara langsung. Negeri-negeri itu dibumihanguskan tanpa perlawanan
berarti.
Perseteruan I BaEgo Arumpone dengan pihak Gubernemen Belanda
menimbulkan pergolakan secara meluas di segenap negeri Sulawesi Selatan serta
menimbulkan kegemparan hebat pada petinggi Pemerintah Hindia Belanda di
Batavia. Bagaimana tidak, seorang Ratu Negeri yang masih gadis serta memiliki
angkatan perang dan pengaruh yang besar telah menyatakan perang terbuka
terhadap Belanda dan sekutu-sekutunya. Kemudian bersamaan pula dengan peristiwa
tersebut, Pemerintah Hindia Belanda sedang sibuk pula bergelut dalam kancah "Perang
Paderi" di Sumatera Barat dan "Perang Diponegoro" di Jawa.
Melihat pengaruh besar pada perlawanan I BaEgo Arumpone, maka dengan sikap
"apa boleh buat" Pemerintah Hindia Belanda memutuskan mengirimkan
ekspedisi perang yang dipimpin oleh Kolonel
Bischoff ke Kerajaan Bone yang dalam Historiografi Indonesia disebut
sebagai : Ekspedisi Bone-I (1824-1830) serta tercatat pula dalam Lontara
Bone sebagai : "Rumpa'na Bone MammulangngE".
Sebelum pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia memutuskan pengiriman
ekspedisi, telah terjadi peperangan sengit antara Gubernemen Belanda beserta
sekutunya dengan Arumpone beserta sekutunya pula. Berselang tidak beberapa lama
setelah keputusan "menghukum" Negeri TanEtE dan Suppa, pihak
Gubernemen melancarkan pula serangan balasan dengan mengadakan penyerbuan ke
kedua kerajaan kecil tersebut yang dicap sebagai pendukung Tana Bone yang
paling loyal.
Penyerbuan ke TanEtE dipimpin oleh Kolonel H. De Stour mengalami perlawanan sengit dari lasykar
TanEtE yang dipimpin oleh Rajanya sendiri, yakni : La Patau Petta MatinroE
ri Salo Moni. Setelah bertempur selama beberapa hari, Baginda La Patau
dengan lasykarnya terdesak hebat hingga mengundurkan diri ke pedalaman, maka
Kotaraja TanEtE berhasil dikuasai Belanda dan sekutunya.
Penyerbuan berlanjut ke Kerajaan Suppa. Dibawah pimpinan Letnan
(Marinir) Buya serta dibantu pula pasukan dari Kerajaan SidEnrEng dan
Barru. Pertempuran itu berkecamuk selama berhari-hari dengan menelan korban
yang tidak sedikit pada kedua belah pihak. Pasukan Kerajaan Suppa yang gagah
berani serta dibantu pula oleh lasykar Kerajaan Alitta, Sawitto
dan Rappang berhasil mematahkan serangan Pasukan Belanda dan sekutunya.
Belanda mengalami kekalahan yang parah dengan tewasnya beberapa perwiranya,
diantaranya : Letnan Marinir Van Der Velt dan puluhan lainnya serta
ratusan prajurit Eropa yang terluka parah. Maka Pasukan Belanda mengundurkan
diri kembali ke Makassar sambil membawa malu.
Adapun halnya dengan Kolonel
H. De Stour , beliau memimpin penyerangan ke kamp-kamp pertahanan
pasukan Bone yang bergabung dengan pasukan TanEtE dibawah pimpinan La Patau
Datu TanEtE di kawasan sebelah utara Kota Makassar (Maros dan PangkajEnE).
Dalam penyerangan itu, pasukan Belanda dibantu oleh pasukan Gowa, GalEsong,
Simbang, Tanralili dan SanrobonE dibawah pimpinan Pangeran Mahkota Kerajaan
Gowa, yakni : I Malingkaan DaEng Manyonri KaraEng Katangka. Namun
kenyataan yang terjadi, tidak seperti yang diprediksikan semula, bahwa pasukan
Bone dan TanEtE bakal disapu bersih dengan mudah oleh personel gabungan yang
terlatih serta persenjataan lengkap yang lebih mutakhir. Kolonel H. De Stour
menghadapi pertempuran selama berhari-hari yang amat sengit.
Pasukan Bone dan TanEtE mampu menaggulangi pasukan Belanda dan sekutunya
dengan amat baiknya. Tidak kurang dari 8.000 personel pasukan Bone ditambah
pasukan TanEtE bahu membahu menahan serbuan tentara Belanda dan sekutunya serta
membalas penyerangan itu dengan amat gencarnya. Maka berjatuhanlah korban jiwa
pada kedua belah pihak. Pada pihak Belanda, seorang perwiranya bernama Kapiten
Leckereg dan Letnan Kris bersama puluhan prajurit lainnya tewas di
arena pertempuran. Pada pihak Bone dan
TanEtE tidak kurang 100 personal gugur berkalang tanah, dalam mempertahankan
martabat negerinya.
Mengetahui kekuatan Pasukan Kerajaan Bone dan sekutunya yang tidak bisa
dipandang sebelah mata tersebut, Gubernemen Belanda di Makassar mengutus
seorang petingginya ke Batavia untuk mendapatkan bantuan tambahan personel dan
persenjataan. Maka dikirimlah Ekspedisi Perang Bone yang dipimpin oleh Kolonel
Bischoff.
Setibanya di Makassar, Kolonel Bischoff berniat melancarkan
serangan besar-besaran dengan menggunakan personelnya yang masih segar bugar
serta kekuatan persenjataan yang lebih lengkap dengan didukung pula informasi
dan strategi yang matang. Namun niat itu tidak dapat dilaksanakan dengan serta
merta karena datangnya musim hujan yang lebat. Pasukan Bone dan TanEtE telah
membangun basis pertahanan di pegunungan Camba yang didukung oleh
kondisi alam yang amat berat dan strategis pula. Maka rencana penyerangan Kolonel
Bischoff dinyatakan gagal seketika itu.
Melihat seriusnya keadaan, pihak Gubernemen Belanda di Makassar mengutus
Mr. Tobias ke Batavia untuk meyakinkan Gubernur Jenderal bahwa dalam
menghadapi I BaEgo ArumponE beserta sekutunya tidaklah cukup dengan
kekuatan militer yang setengah-setengah, melainkan membutuhkan pemusatan
sepenuhnya segenap kekuatan tempur pemerintah Hindia Belanda yang ada. Akhirnya
Gubernur General menyanggupi dengan mengutus General Mayor Van Geen
beserta segenap kekuatan perangnya untuk menyusul dan memimpin Ekspedisi Perang
penaklukan Bone.
Pada pertengahan Januari 1825, General Mayor Van Geen tiba di
Makassar. Perwira tinggi itu menempatkan Garnizoen-Garnizoen Militer untuk
memperketat kepungannya ke sasaran terakhir, yakni : Watampone,
Kotaraja Kerajaan Bone. Selanjutnya kurang lebih personel militer bangsa Eropa
yang amat terlatih dan berpengalaman dikerahkan untuk melancarkan penyerbuan ke
pusat pertahanan Bone. Sebagai pelindung serangan itu, disiapkan pula satu
divisi Angkatan Laut untuk melakukan pendaratan di BajoE yang berdekatan
langsung dengan pusat Kerajaan Bone. Kemudian sebagai pendukung serangan umum
itu, didatangkan pula pasukan Invantri dari Maluku yang dipersiapkan untuk
penyerangan darat bersama kurang lebih
3.200 personel Pasukan Kerajaan Gowa. Raja-raja lainnya yang ikut pula
menandatangani Perjanjian Pembaharuan Bongaya, juga mempersiapkan pasukan
berkuda bersenjata senapan, barisan berjalan kaki bersenjatakan tombak dan
kelewan serta 1.000 orang lasykar dari Pulau Selayar.
Kekuatan Angkatan Laut Belanda yang dikerahkan ke teluk Bone, terdiri
atas 8 buah kapal perang dan 3 buah kapal bermeriam besar, juga kapal-kapal pengangkut
personel dan perbekalan yang didatangkan dari Sumenep, Pulau Madura. Beberapa
puluh buah kapal swasta (partikulir) yang disewa, bersama 80 bark dan
kapal-kapal pengangkut pasukan Bumiputera, kesemuanya itu tergabung dalam satu
ekspedisi perang penaklukan Kerajaan Bone.
Pasukan infanri regular dari Pulau Jawa sebagai kekuatan utama,
berangsur-angsur berdatangan ke Makassar. Hingga pada akhir bulan Januari 1825,
segala persiapan menyangkut ekspedisi penyerbuan itu dinyatakan rampung secara
keseluruhan.
Dapat dibayangkan dari melihat konsentrasi penggerahan kekuatan pasukan
Belanda tersebut, betapa dahsyatnya perang yang terjadi di Watampone ketika itu. Sementara dibalik
itu, betapa teguh dan beraninya seorang perempuan yang menghadang segala
tantangan itu, demi menjaga martabat agama, diri, bangsa dan negerinya.
Pasukan Belanda dan sekutunya mengerahkan segenap kekuatan dan
kemampuannya untuk menaklukkan Kerajaan Bone yang dipimpin oleh Ratu I BaEgo
Arung Data dengan saudaranya laki-lakinya, yakni : La MappaEwa Arung Lompu yang dibantu sepenuhnya Petta PonggawaE (Panglima Kerajaan Bone). Hingga pendaratan pasukan Belanda dan aliansinya di BajoE haruslah dibayarnya dengan "amat mahal". Mereka melakukan pendaratan yang amat sulit, dibawah semburan hujan peluru yang ditembakkan para pasukan pertahanan Tana Bone. Mereka terdiri dari personel-personel "Berani Mati" yang bertekad mempertahankan posisi pertahanannya hingga tetes darah dan hembusan nafasnya yang terakhir. Sejengkal tanahnya dipertahankan dengan tebusan setetes darahnya. Watampone hanya dapat dimasuki oleh penyerbu jika mereka semua "Syahid fii Sabilillah", demikian tekad mereka. Maka walaupun akhirnya pasukan penyerbu itu berhasil mendarat karena jumlah personel dan persenjataan yang lebih unggul, namun banyak diantaranya yang tewas di pantai, diikuti pula para barisan pertahanan yang berguguran satu demi satu.
Sejarah akhirnya telah menuliskan peristiwa heroik para lasykar Bone yang "dimahkotai" oleh junjungan mereka, I Benning Arung Data. Walaupun pada akhirnya General Mayor Van Geen beserta sekutunya berhasil menduduki Watampone, namun Sang Ratu beserta segenap perangkat kerajaannya termasuk "Arajang" menyingkir ke daerah Wajo kemudian membangun basis pertahanan di PassEmpe', sebuah basis pertahanan klasik bagi para ArumponE sejak dulu. Walau sekeras apapun usaha General Mayor Van Geen untuk bertemu serta berunding secara langsung dengan Arumpone, namun usaha itu tidak pernah berhasil. Pada sisi lain, walau Pasukan penyerbu berhasil menduduki Kotaraja Watampone, namun Arumpone tetap tak tersentuh apalagi tertaklukkan.
Watampone yang telah dikuasai Belanda tiada lain hanyalah sebuah kota mati belaka. Pasukan Belanda yang kelelahan serta banyak terluka parah mengalami penderitaan berat di Kota Mati itu. Perbekalan makanan dan obat-obatan semakin menipis serta berjangkitnya penyakit Kolera membuat mereka semakin frustasi. Terutama pula, mereka tidak berhasil menangkap ArungponE yang bahkan melakukan perlawanan gerilya dari Bukit PassEmpe' semakin melengkapi penderitaannya. Pasukan Belanda dan sekutunya banyak yang mati akibat penyakit menular itu . Akhirnya, General Mayor Van Geen mendapat surat dari Batavia yang memerintahkannya untuk menarik pasukannya dari wilayah Bone sesegera mungkin. Hal itu disebutkan meletusnya "Perang Jawa" yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro sehingga memerlukan pula tambahan kekuatan.
Setelah kepergian Pasukan Penyerbu, Arumpone kembali ke Watampone seraya menata kembali pemerintahan dan pertahanan militernya yang lebih kuat lagi dari sediakala. Maka terbuktilah jika ketahan mental keberanian dan persatuan rakyat akan selalu menjadi pemenang. Kerajaan Bone yang dipimpin oleh seorang "Perempuan Hebat" berhasil mempertahankan kedaulatan martabat dan kemerdekaannya.
Perihal I Benning Arung Data "Sultana SalEha Rabiyatuddin" Petta MatinroE ri Kessi', Mangkau ri Bone XXV kerap ditemukan "kerumpangan" menyangkut nama, gelar dan silsilah beliau. Penulis setidaknya menemukan dua versi yang berbeda menyangkut perihal yang dikemukakan diatas. Prof. Dr. H. Andi Mattulada (Sejarah, Kebudayaan dan Masyarakat Sulawesi Selatan , Hasanuddin University Press - 1998) menyebutkan bahwa Arungpone ke XXV ini adalah putera Toappatunru Petta MatinroE ri Lalebbata Mangkau Bone XXIV dari perkawinannya dengan Arung Kaju. Kemudian disebutkan lebih lanjut, bahwa : nama lain daripada "I Benning" adalah "I BaEgo" yang sebelum dinobatkan menjadi "ArumponE" adalah menjabat sebagai "Arung Data".
Berbeda halnya dengan "Lontara Akkarungeng Bone" dan "Lontara Panguruseng Abbatirengna Soppeng" serta "Lontara La Wahide", memiliki kesamaan alur perihal "Mangkau Bone XXV". Disebutkan dengan jelas, bahwa : La Tenri Tappu Petta MatinroE ri Rompegading Mangkau Bone XXIII (putera La Mappapenning To Appaware' dengan I Mida Arung Lapanning) menikah dengan We Tenripada Petta MatinroE ri Saodenra, melahirkan putera puteri sebagai berikut : 1. Toappatunru Petta MatinroE ri Lalebbata Mangkau ri Bone XXIV, 2. La Pawawoi Arung Amali, 3. La MappaEwa (La MappalEwa) Arung Lompu Petta MatinroE ri Soni, 4. La Tenri Sukki Arung Kajuara Petta MaddanrengngE ri Bone, 5. We Pancaitana (I Manni) Arung Data Petta MatinroE ri Kessi Mangkau ri Bone XXIV. Berdasar pada uraian tersebut, maka jelaslah jika We Pancaitana Arung Data Petta MatinroE ri Kessi Mangkau ri Bone XXIV yang nama kecilnya tertulis sebagai "I Manni" (mirip dengan I Benning menurut Mattulada) adalah tokoh yang dimaksudkan pada kisah ini.Sejarah akhirnya telah menuliskan peristiwa heroik para lasykar Bone yang "dimahkotai" oleh junjungan mereka, I Benning Arung Data. Walaupun pada akhirnya General Mayor Van Geen beserta sekutunya berhasil menduduki Watampone, namun Sang Ratu beserta segenap perangkat kerajaannya termasuk "Arajang" menyingkir ke daerah Wajo kemudian membangun basis pertahanan di PassEmpe', sebuah basis pertahanan klasik bagi para ArumponE sejak dulu. Walau sekeras apapun usaha General Mayor Van Geen untuk bertemu serta berunding secara langsung dengan Arumpone, namun usaha itu tidak pernah berhasil. Pada sisi lain, walau Pasukan penyerbu berhasil menduduki Kotaraja Watampone, namun Arumpone tetap tak tersentuh apalagi tertaklukkan.
Watampone yang telah dikuasai Belanda tiada lain hanyalah sebuah kota mati belaka. Pasukan Belanda yang kelelahan serta banyak terluka parah mengalami penderitaan berat di Kota Mati itu. Perbekalan makanan dan obat-obatan semakin menipis serta berjangkitnya penyakit Kolera membuat mereka semakin frustasi. Terutama pula, mereka tidak berhasil menangkap ArungponE yang bahkan melakukan perlawanan gerilya dari Bukit PassEmpe' semakin melengkapi penderitaannya. Pasukan Belanda dan sekutunya banyak yang mati akibat penyakit menular itu . Akhirnya, General Mayor Van Geen mendapat surat dari Batavia yang memerintahkannya untuk menarik pasukannya dari wilayah Bone sesegera mungkin. Hal itu disebutkan meletusnya "Perang Jawa" yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro sehingga memerlukan pula tambahan kekuatan.
Setelah kepergian Pasukan Penyerbu, Arumpone kembali ke Watampone seraya menata kembali pemerintahan dan pertahanan militernya yang lebih kuat lagi dari sediakala. Maka terbuktilah jika ketahan mental keberanian dan persatuan rakyat akan selalu menjadi pemenang. Kerajaan Bone yang dipimpin oleh seorang "Perempuan Hebat" berhasil mempertahankan kedaulatan martabat dan kemerdekaannya.
Perihal I Benning Arung Data "Sultana SalEha Rabiyatuddin" Petta MatinroE ri Kessi', Mangkau ri Bone XXV kerap ditemukan "kerumpangan" menyangkut nama, gelar dan silsilah beliau. Penulis setidaknya menemukan dua versi yang berbeda menyangkut perihal yang dikemukakan diatas. Prof. Dr. H. Andi Mattulada (Sejarah, Kebudayaan dan Masyarakat Sulawesi Selatan , Hasanuddin University Press - 1998) menyebutkan bahwa Arungpone ke XXV ini adalah putera Toappatunru Petta MatinroE ri Lalebbata Mangkau Bone XXIV dari perkawinannya dengan Arung Kaju. Kemudian disebutkan lebih lanjut, bahwa : nama lain daripada "I Benning" adalah "I BaEgo" yang sebelum dinobatkan menjadi "ArumponE" adalah menjabat sebagai "Arung Data".
Menyangkut tokoh bernama "I BaEgo", merunut pada ketiga Lontara Panguriseng tersebut, diuraikan lebih lanjut, sbb : Toappatunru Petta MatinroE ri Lalebbata Mangkau ri Bone XXIV (putera La Tenri Tappu Petta MatinroE ri Rompegading Mangkau Bone XXIII dengan We Tenripada Petta MatinroE ri Saodenra) menikah dengan Arung Kaju, melahirkan : I BaEgo Arung MacEgE yang dinikahkan dengan La Sumange'rukka Topatari Arung BErru. Pernikahan keduanya melahirkan : 1. We Tenripada Sultanah Aisyah Arung Berru (isteri I Malingkaan Sombayya Gowa XXXIII) dan 2. La Singkerrurukka Petta MatinroE ri Topaccing Mangkau ri Bone XXIX (suami St. Sairah Arung Timurung).
Penutup
Masih banyak "Penguasa Perempuan" yang menghiasi sejarah perjalanan Sulawesi dimasa lalu yang agaknya sulit untuk dicantumkan satu persatu pada kolom sederhana ini. Mereka menorehkan peristiwa heroik yang akan dikenang sepanjang masa. Sebutlah nama We Pancaitana BessE' Kajuara Datu Suppa Petta MatinroE ri Majennang Mangkau Bone XXXVIII (puteri La Tenri Sukki Arung Kajuara Petta MAddanrengngE ri Bone dengan We Tenrilipu Daeng Matana Datu Suppa) yang juga adalah kemenakan I Benning Arung Data "Sultana SalEha Rabiyatuddin" Petta MatinroE ri Kessi', Mangkau ri Bone XXV. Beliau adalah janda dari La ParEnrEngi Arumpogi Petta MatinroE ri Aja BEntEng Mangkau ri Bone XXXVII yang wafat setelah menyatakan perang dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sang Ratu yang keras hati ini terkenal dengan tindakannya yang kontroversial, yakni : memerintahkan memasang TERBALIK bendera Kerajaan Belanda bagi setiap kapal maupun perahu yang melintasi Teluk Bone. Akibat tindakannya tersebut, Bone mengalami perang dahsyat dengan Belanda sehingga Ratu Bone BessE' Kajuara yang memimpin pertempuran itu terpaksa harus menyingkir ke Kerajaan Suppa, dimana beliau dinobatkan pula sebagai Datu Suppa sebagai warisan dari Ibundanya. Sama halnya dengan mendiang "bibinya", BessE' Kajuara tidak pernah tunduk selama hidupnya terhadap Belanda.
Hingga masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tokoh perempuan Sulawesi Selatan terus menorehkan namanya dalam kancah perjuangan, mereka antara lain adalah : Pahlawan Nasional Opu DaEng Risaju, Pahlawan Nasional Emmy SaElan, Pahlawan Nasional Andi DEpu Maraddia Pamboang (?) yang disapa oleh Presiden Soekarno sebagai "Ibu Agung" serta masih banyak lagi yang lainnya. Maka betullah kiranya jika seorang tokoh dunia (penulis lupa namanya) menyatakan dengan penuh hormat, bahwa : " Hormatilah perempuan karena bagaimanapun hebatnya seorang lelaki, ia pastilah telah dilahirkan seorang perempuan..".
Wallahualam bissawwab..