KEADILAN SIKAP BERMARTABAT
By. La Oddang
Kadangkala didapati suatu kepribadian yang dianggap gampang naik darah.
Hal yang disebabkan menurut persepsi umum jika itu hal sepele. Namun
sesungguhnya menurut standard nilai dalam kebudayaan Suku Bangsa tertentu hal
tersebut adalah sangat sacral. Maka mereka menjaga nilai-nilai itu dengan amat
rapatnya, hingga menjadikan sebagai orang-orang yang peka karena over protectif
terhadap nilai luhurnya. Hal yang sesungguhnya karena begitu halus adabnya,
maka mereka menghargai martabat dan menjaga perasaan orang lain, kemudian pada
akhirnya iapun mudah tersentuh jika dikasari dihadapan orang banyak.
“Siri’Engmi na toTau, naiyya Siri’E : Nyawa naranreng, Sunge’ nakira-kira..”
(Karena harga dirilah maka kita disebut manusia, sesungguhnya harga diri itu : sandingannya
nyawa, hidup yang menjadi taruhannya..), demikian antara lain suatu suku bangsa
berlabel “Bugis” memaknai proteksi terhadap mustika budinya.
Orang Bugis yang sesungguhnya adalah orang-orang yang berkepribadian
amat berhati-hati dan mawas diri ditengah masyarakat. “Manini ri collai,
nasaba’ pangkaukengna..” (sangat menghindari diperlakukan sembarangan,
dikarenakan perbuatannya sendiri..).
Dalam tahun 2010, saya menyertai salah seorang junjungan untuk mengurus
Pasport dalam rangka perjalanan umroh. Setelah passport itu selesai, saya
mengusulkan kiranya Sang Datu mengurus Kartu NPWP agar tidak perlu membayar
Piskal yang sekira-kira senilai 2,5 juta Rupiah.
“..aja’na
kapang, Oddang. NadE’na jE’ gaga jaman-jamangku, pensiunna’ iya’. DE’na
na’Engka umakkamaja pajak, agapi riyala mala kartu pajak ?” (..agaknya tidak
usah, Oddang. Saya tidak punya pekerjaan lagi, sudah pensiun. Maka saya tidak
pernah lagi membayar pajak, buat apa lagi mengurus kartu pajak ?”, tolaknya.
“EbarE’
dE’nakkamaja piskal DatuE, Puang..” (Agar paduka tidak bayar piskal lagi,
Tuanku..), jawabku meyakinkan.
“Wee..
aja’na kasi’. DE’saharo namaEga dui, naEkia taroni iwajaa.. Engka ammani
Pagawai Pajak’E mapparEssa lao ri bolaE, nasakke’rupa napoadangki’. Tomasiri
bawangnatu, natosala mEmeng..” (Wee.. tidak usahlah. Memang kita tidak
memiliki uang yang banyak, namun biarlah dibayar.. Nanti pegawai pajak datang
memeriksa di rumah, lalu sembaranglah nanti dikatakannya pada kita. Kita akan
merasa malu saja, karena memang kita yang bersalah..).
Bagi orang-orang yang memagari SIRI (harkat dan martabat azasi) dengan
“sipakatau” (tenggang rasa) serta membelanya dengan segenap jiwa yang
dimilikinya. Mereka menjaga kehormatan dan kemuliaannya dengan terlebih dahulu
“menghargai, menghormati dan memuliakan” orang lain. Sesuatu yang senantiasa
dimaknainya dengan adil, bahwa : MatE siri mappakasiri, mate siri ripakasiri
(Mati bayarannya jika mempermalukan dan Mati pula bayarannya jika
dipermalukan).
Menjaga harkat dan martabat orang lain adalah sama pentingnya dengan
membela harkat dan martabat diri. Inilah yang kemudian diwujudkan dalam suatu
patokan nilai yang disebut : PessE’ (Solidaritas Kemanusiaan). Hingga tidaklah salah
jika diistilahkan bahwa para “To MatanrE Siri” (orang yang bermartabat tinggi)
adalah bagaikan melangkahkan kaki pada suatu jalan yang penuh dengan telur yang
berserakan. Ia harus berhati-hati menjaga langkahnya agar tidak sampai
menginjak dan memecahkan salahsatu telur itu. Karena apabila ia menginjaknya,
berarti ia melakukan suatu kesalahan yang merugikan orang lain dan mencederai
harkatnya sendiri.
Wallahualam Bissawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar