NURANI KASIH PATRIOT !
By. La Oddang
“Bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai jasa pahlawannya” (Ir. Soekarno, Proklamator Kemerdekaan
Republik Indonesia).
………………………………………………………………………………………….
Lebih dari sekedar “Pahlawan” bagi bangsanya,
Datu Luwu MallinrungngE Andi Djemma Opu ToappemEne’ Wara-WaraE adalah seorang
“Raja Berdaulat” bagi Negeri Luwu. Namun lebih dari segalanya, Raja Patriot itu
adalah seorang yang mencintai Rakyat Luwu, melebihi sayangnya terhadap diri
sendiri, tahta dan keluarganya.
Insiden Bua yang terjadi pada
tanggal 20 Januari 1946 adalah satu dari sekian peristiwa kesewenang-wenangan
KNIL terhadap martabat Rakyat Luwu yang sudah tak tertahankan lagi !. Sepasukan
KNIL dengan kasarnya menggeledah rumah kediaman Maddika Bua. Mereka
mengobrak-abrik seisi rumah yang dimuliakan itu dengan alasan mencari senjata
seorang mata-mata NICA yang terbunuh di Bua beberapa waktu yang lalu. Tidak
puas dengan perlakuan itu, mereka masuk ke Mesjid Bua dengan tidak membuka alas
kaki. Mereka naik pula ke loteng mesjid, mengobrak-abrik seisi loteng. Salah
seorang diantara mereka menginjak Kitab Suci Al Qur’an dengan pongahnya. Tak
tertahankan lagi, To Manjawani menegur penistaan itu, namun dibalas dengan
tamparan !.
Peristiwa Bua amat melukai hati
rakyat Luwu, terlebih-lebih Rajanya. Pada tanggal 21 Januari 1946, sebuah
ultimatum telah ditandatangani masing-masing : Andi Djemma selaku Pemerintah
RI, Kerajaan Luwu; M. Yusuf Arif sebagai Ketua Dewan Pertahanan Rakyat Luwu;
dan Haji Muhammad Ramli, Kadhi Luwu atas nama Umat Islam Luwu. Suatu pernyataan
sikap yang tegas dan disertai ancaman yang disampaikan kepada tentara Sekutu,
sbb :
“Dalam tempo 24 jam, pihak Australia memerintahkan kepada
pasukan-pasukan KNIL yang sedang berkeliaran melakukan patrol didalam dan
diluar Kota Palopo; supaya segera masuk tangsi dengan senjatanya. Jika sampai
batas waktu ini tidak diindahkan, maka ketertiban tidak bisa
dipertanggungjawabkan lagi”.
Namun, dapat diduga bahwa pihak
Sekutu tidaklah menggubris ultimatum tersebut. Pada tanggal 23 Januari 1946,
Kota Palopo terbakar !. Tercatat tidak kurang dari 20 rumah yang terlalap api
dan puluhan jiwa melayang. Tangsi KNIL
ditembaki oleh para pejuang Luwu yang dipimpin M. Yusuf Arief dan Andi
Tenriajeng. Mereka bahu membahu dengan pemuda pejuang dan massa rakyat dibawah
pimpinan Abdullah Dg Mallimpo dan Abu Perto. Tidak cukup begitu saja, mereka
menyerang pula para mata-mata NICA serta membakar rumah mereka. Palopo membara
di medan juang untuk sesuatu tujuan yang pantas untuk diperjuangkan, yakni :
mempertahankan kemerdekaan Bangsa dan Negara. Suatu tujuan mulia yang dipandang
sebagai Siri dan PaccE bersama, bukannya kepentingan antar golongan.
Peristiwa Penyerbuan Palopo
adalah suatu momentum baru yang menentukan langkah Sri Baginda Andi Djemma
dalam memimpin para pejuang Luwu selanjutnya. Pada kejadian itu, 3 orang
bangsawan tinggi yang merupakan kerabat Sri Baginda ikut menjadi korban
revolusi itu. Mereka yang pro pada NICA selama ini. Mengetahui kematian mereka
sebagaimana dilaporkan oleh para pimpinan pejuang dihadapan Sang Datu, beliau hanya
termenung sejenak seraya berkata : “Saya pun kalau menghianat, niscaya akan
mengalami nasib yang sama..”.
Atas dukungan segenap rakyat Luwu
dan pejuang PKR, Datu Luwu beserta
hadatnya dan permaisuri bersama segenap puteranya melancarkan perang gerilya
melawan pendudukan Belanda. Suatu perjuangan pisik yang penuh kesulitan dan
penderitaan lahir batin. Terlupalah segala kenikmatan dan kemuliaan hidup di
istananya, walau pihak Belanda menjanjikan “kelestarian” terhadap kedudukannya
sebagai “Raja Luwu” yang berkuasa atas perlindungan kekuatan Militer Belanda
dan sekutu. Bahkan sebagian pejuang meminta dengan sangat kepada Sri Baginda
kiranya mengurungkan niatnya untuk ikut bergerilya. Ketika A. Hamid menanyakan
perihal pendirian Sri Baginda mengenai permintaan sebagian pejuang itu, beliau
menjawab dengan tegas, : “Saya tetap pada pendirian; Kalau pemuda mengapung,
saya mengapung. Kalau pemuda tenggelam, sayapun ikut tenggelam !”.
Keputusan “Pewaris Tahta Bumi
Sawerigading” memasuki kancah perjuangan didalam hutan belantara adalah sesuai
ikrarnya sebagai “Payung” bagi segenap bangsanya. “MEsa’ kada dipotuo, Pantang
kada dipomatE !” (bersatu kata senantiasa menghidupkan kita, berbeda kata niscaya
akan mematikan kita !), demikian arahan Sribaginda pada suatu ketika dihadapan
para pemuka adat. Suatu tanggungjawab kepemimpinan yang senantiasa disifatkan
kepada para Datu Luwu secara turun temurun, yakni :
“Naiyya DatuE mattukku ului,
mattukku ajE, tennawellang tikka, tennairi anging “
(Adapun Raja itu menutup kepala,
menutup kaki, tidak terkena sinar matahari, tidak dihembus angin).
Bahwa Sri Baginda memahami dan
memanifestasikan jiwa raganya sebagai “Bangsa dan Negeri Luwu secara
keseluruhan”. Belas kasihnya dicurahkan sepenuhnya hanya kepada kedamaian dan
kesejahteraan Rakyat Luwu yang dicintainya. Beliau memimpin perjuangan Rakyat
Luwu pada medan gerilya dengan sertamerta merombak cabinet Pemerintahan
Kerajaan Luwu untuk kesesuaian kondisi perjuangan masa itu. Hingga setelah
penangkapannya di Benteng BonEputE, tiada lain yang dipinta Sri Baginda kepada
pihak Belanda setelah dijatuhkan vonis pembuangan atasnya selama 25 tahun di
Ternate, : “Perlakukan saja saya apapun yang kalian mau, tapi jangan sentuh
rakyatku..”. Demikian pula dengan Sri Paduka Andi Makkulawu Opu DaEng Parebba,
putera tertuanya yang senantiasa mendampingi perjuangan Ayahanda dan Rajanya,
beliaupun bersama segenap Hadat Luwu dijatuhi pula hukuman pembuangan keluar
wilayah Sulawesi Selatan. Adapun halnya dengan putera puteranya yang lain,
yakni : Andi Achmad bersama M. Yusuf Arief, Jufri Tambora dan segenap pemimpin
PKR Luwu yang lainnya dijatuhi hukuman mati. Namun belum sempat dieksekusi
hingga pada pengakuan kedaulatan RI pada tahun 1949.
Pada suatu ketika dihadapan
Presiden Soekarno, Sri Baginda berkata : “Saya tidaklah menginginkan tahta atas
Tana Luwu, melainkan kedamaian dan kesejahteraan Rakyat Luwu adalah diatas
segalanya”. Hingga pada catatan kecil ini, pada akhirnya saya teringat dengan
kejadian tragis di Kota Palopo pada tanggal 1 April kemarin. Hal yang
mengingatkan atas kepemimpinan dan cinta seorang Pemimpin Rakyat Luwu yang
senantiasa mendahulukan kedamaian dan ketentraman rakyat Luwu dibandingkan jiwa
raga dan keluarganya sendiri. Namun pada hari yang kelam ini, pada suatu Jalan
yang diatasnamakan baginya (Jl. Andi Djemma), anak-anak negerinya melampiaskan
amarah diatasnya. “Inikah balasan yang mesti diterima seorang Pahlawan yang
mendedikasikan seluruh hidupnya dan segenap apapun yang dimilikinya untuk
mewujudkan kedamaian dan ketentraman rakyatnya ?”. “TassEddimua riyakkitai..”
(cukuplah satu yang dipandang..”), demikian pesan leluhur dalam hal adab
sebagaimana mestinya Bangsa yang Berbudi.
Tiada maksud untuk memperbincangkan
perihal akar permasalahan Pemilihan Walikota Palopo yang sesungguhnya saya
secara pribadi bahkan tidak tahu nama-nama pasangan yang bertarung dalam “pesta
demokrasi” ini. Namun kita sekalian pastilah sependapat, bahwa : “Hal-hal baik
semestinya diperjuangkan dengan cara yang baik pula”. Dengan demikian, pada
akhirnya pantaslah jika dinilai sebagai pemimpin bagi bangsa yang beradab. Maka
catatan kecil ini, tiada lain saya haturkan sebagai prihatin sedalam-dalamnya
atas RASA SEDIH DAN PILU yang tak terkira oleh Pemimpin dan Panutan kami : Sri
Paduka Datu Luwu ke - XL. “Air mata DatuE jatuh ke bumi”, suatu hal yang amat
disakralkan dari masa ke masa. Semoga Allah senantiasa mencurahkan hidayah dan
inayah kepada Paduka dan segenap nurani Rakyat Luwu, Kurrujiwa Sumange’
Torilangina Datu Patuppu BatuE Tana Luwu. Amin yaa Robbal Alamien.
Wallahualam Bissawwab.