PRAKATA
Assalamualaikum Wr. Wb,
Alhamdulillahi Robbil Alamin, wassolaatu wassalaamu ‘alaa asyrofil
ambiyaa’i wal mursaliim, Allohumma sholli ‘alaa Muhammad, wa ‘alaa alihii wa
shohbihii aj’main.
Cendekiawan Nursangaji berujar, "..kita sedang menuntut ilmu
pada Universitas Kehidupan". "..saya memilih Fakultas Sejarah",
kataku kemudian.
"Hal ihwal masa sebelum saat ini..", demikian
pengertianku tentang "sejarah". Terukir jelas pada dinding waktu,
dimana Allah berfirman tentangnya. Maka ia adalah kisah yang digurat oleh Sang
Guru Mumpuni, bernama : Pengalaman. Sejarah menulis jatuh bangunnya seseorang,
keluarga, kaum, umat, bangsa dan semua mahluk. Maka ia adalah ta'wil, cerminan
ihwal bagi masa yang akan datang. Maka bagaimana menyikapi dan memutuskan
langkah pasti kedepan, tergantung bagaimana memaknai sejarah pada saat ini,
bersama jati diri yang ditemukan lewat jendela sejarah.
Sang Guru mengajarkan sejarah, ia mengutip setiap butir hikmah
didalamnya, sebagai ibrah yang adiguna. Memaafkan dan berlaku adil, begitulah
permata sejarah menamakan dirinya. Menghargai waktu dan arif bagi kehidupan di
masa ini, demikian sejarah senantiasa menunjukkannya. Maka sejarah,
sesungguhnya adalah "Ayat Allah" yang terukir pada sepanjang masa.
Akhirnya, merupakan suatu kebanggaan bagi saya pribadi yang
mendapat curahan kehormatan untuk mengantarkan suatu materi, yang semoga
kiranya menjadi “setetes air” dari telaga Sejarah “Bumi La Sinrang”. Salahsatu
Kabupaten paling makmur di Sulawesi Selatan, beserta latar sejarah dan
budayanya yang kaya philosofi, tentang keberagaman dan tradisi kejuangannya
yang menggetarkan.
Tiada lain yang amat diharapkan pada pemaparan materi ini selain
ridlo Allah semata. Hidayah melalui suatu majelis yang akan mengeksplorasi pengetahuan
tentang ke-sejarah-an Kabupaten Pinrang dengan lebih dalam, dimana materi
sederhana berjudul “Pinrang, Makna Kecintaan Anak Negeri” ini hanyalah sebagai
pengantar belaka.
Hashbunalloha wa ni’mal wakiil, ni’mal mawla wa ni’mannashiir,
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Parepare,
2 Nopember 2012
Andi Oddang Panguriseng
I. PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Kabupaten
Pinrang yang merupakan salahsatu Daerah Tingkat II di Propinsi Sulawesi Selatan
sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah
Tingkat II di Sulawesi yang berlaku pada tanggal 4 Juli 1959, merupakan suatu
Kabupaten yang terhitung sebagai suatu Daerah Tingkat II seluas 10.196.77 Km2
dengan mewilayahi 12 Kecamatan, dimana beberapa kecamatan diantaranya adalah
bekas kerajaan yang cukup berpengaruh di masa sebelum kemerdekaan.
Berbeda
halnya dengan Kabupaten/Kota lainnya di Sulawesi Selatan, Kabupaten Pinrang
bukanlah merupakan suatu bekas kerajaan secara utuh, sebagaimana halnya dengan
Kabupaten Bone, Wajo, Soppeng dan Gowa kini, melainkan gabungan beberapa
kerajaan yang tergabung dari 2 kawasan, yakni : Ajatappareng dan
MassEnrEngpulu.
Kerajaan
Suppa, Sawitto dan Alitta adalah diantaranya yang merupakan 3 Kerajaan Utama
dalam wilayah persekutuan LimaE
Ajattappareng yang terbentuk sejak abad-17, sampai pada awal abad-20
merupakan kerajaan-kerajaan yang tidak dikuasai secara langsung oleh Belanda
berdasarkan Perjanjian Bungaya
(1667/1669), melainkan dipandang selaku “negeri sahabat” yang lazim disebut “Zelefbesturende Landschappen”. Demikian
pula halnya dengan Kerajaan Kassa’-Batulappa yang sesungguhnya berada dalam
kawasan persekutuan MassEnrEngpulu.
Sehubungan
dengan perihal tersebut diatas, maka penulisan Sejarah Kabupaten Pinrang secara
menyeluruh adalah uraian kronik setiap kerajaan yang meliputi pengaruh 4 etnis
besar di Sulawesi Selatan dan Barat, yakni : Bugis, Makassar, Mandar dan
Toraja. Selain itu, tidak dapat pula diabaikan keberagaman periode permulaan
kesejarahan Sulawesi Selatan yang terhitung sejak abad-14 - 16, kemudian pada
masa babak baru kehidupan Politik Kolonial dalam abad-17 sampai pada masa
kemerdekaan yang menandai akhir era pemerintahan kerajaan dalam abad-20 bagi
masing-masing kerajaan didalamnya.
Mengingat
ruang lingkup kesejarahan yang beragam pada Kabupaten Pinrang, maka perkenankan
saya untuk membatasi makna topik “Sejarah Kabupaten Pinrang”, menjadi “Sejarah
Pinrang” sebagai awal penamaan suatu pemukiman kecil dalam wilayah Kerajaan
Sawitto.
-
Maksud dan Tujuan
Sebagai
bahan kajian pada Seminar Sejarah Kabupaten Pinrang dengan harapan kiranya
menjadi kilasan pengetahuan yang semoga menjadi pengenalan awal untuk
menumbuhkan minat dan cinta generasi muda terhadap sejarah dan budaya
leluhurnya.
II. KERAJAAN SAWITTO
A. Masa Awal
Sebagaimana
halnya dengan kesejarahan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, awal
mula berdirinya Kerajaan Sawitto dituturkan dan dituliskan dengan beragam
versi. Terlebih pula, Sawitto sesungguhnya berada pada titik persimpangan antar
etnis besar di Sulawesi Selatan dan Barat, sebagaimana dikemukakan sebelumnya.
Wilayah
titik perbatasan antar etnis inilah yang kemudian membuahkan beragam versi
tentang penduduk awalmula Sawitto, diantaranya dikatakan dari Enrekang, Tana
Toraja dan Bone. Namun terlepas dari berbagai versi tersebut, Sawitto kemudian
berdiri sebagai suatu kerajaan beserta dengan tokoh foundernya, yakni seorang Tomanurung atau To Tompo yang didahului masa chaos
sebagaimana biasanya dikenal sebagai masa SianrEbalE
(saling memakan bagai komunitas ikan).
Bahwa dalam
abad-14, wilayah dataran tinggi Sawitto sebelum terbentuk sebagai suatu
kerajaan, sesungguhnya dihuni oleh para pendatang dari berbagai etnis bersama
dengan legendanya masing-masing. Disebutkan bahwa penduduk awalmula itu berasal
dari etnis Toraja menghuni kawasan sebelah utara, yaitu : Kaballangang dan sekitarnya, hingga seluruh wilayah yang berbatasan
langsung dengan Tana Toraja kini. Masyarakat inilah yang kemudian bertutur
Bahasa Pattinjo, suatu bahasa yang unsurnya adalah percampuran bahasa Bugis dan
Toraja (Palisuri, Lontarak,1995).
Kemudian
dalam kurun abad yang sama, orang-orang Enrekang berdatangan pula menghuni
wilayah pesisir pantai barat yang dikenal kemudian sebagai Sawitto Timoran Saddang. Mereka dipimpin oleh La Mappatunru, putera Bissu
Tonang Arung Enrekang. Kedatangan La Mappatunru beserta rombongannya untuk
bermukim pada daerah pesisir tersebut, diperlengkapi dengan peralatan bercocoktanam, bibit tumbuhan, kuda dan
kerbau. Mereka membuka tanah perkebunan, kemudian menamai kawasan perkebunannya
sesuai jenis tanamannya, yaitu : Langnga (wijen), LamE (ubi), Kaladi (keladi)
Beberapa tahun kemudian, kawasan perkebunan itu berubah menjadi areal
persawahan yang berkembang menjadi perkampungan, yakni : Langnga dan Pakkaladian.
Demikian
pula dengan kawasan lainnya disebelah PalEtEang, dan Tiroang yang membujur
kearah selatan hingga Malimpung, Madello dan Simbuan kearah Utara Barat Laut,
sama-sama berkembang sebagai pemukiman masyarakat yang diketuai oleh
pemimpinnya dengan beragam sebutan, yakni : Matoa,
Uwa’ dan AnrEguru.
B. Periode Tomanurung dan To Tompo
Sesungguhnya,
sejarah dan tradisi kepemimpinan para Raja di Sulawesi bermula pada jaman “sianrEbalE” (saling memakan bagai
komunitas ikan). Sebutan pada kondisi kacau balau dalam kehidupan
bermasyarakat, ketika tiada hukum dan pemimpin yang cukup kuat untuk
menertibkan keadaan tersebut.
Masa
kegelapan dimana yang kuat sewenang-wenang terhadap yang lemah itupun
berlangsung cukup lama, sebagaimana digambarkan berbagai Lontara , yakni selama
“pitu pariamanna” (tujuh zaman). Maka kemudian, masyarakat negeri saling
menghimpun diri dan keluarga mereka dalam kelompok-kelompok kecil yang kerap
disebut sebagai “anang” (persekutuan keluarga). Kiranya hanya dengan himpunan
kesatuan kecil itu, barulah mereka dapat bertahan dalam suasana kacau tersebut.
Selanjutnya, kerapkali terjadi perang antar Anang disebabkan perebutan lahan
atau kawasan, dalam usaha mendominasi dan memperkuat pengaruh kelompoknya
masing-masing.
Ditengah
suasana “chaos” itu, tampillah sosok kharismatik serta ber-Ilmu Pengetahuan. Peristiwa
kemunculan tokoh yang tidak diketahui asal muasalnya itu digambarkan sebagai
kejadian yang luar biasa (magis), kemudian dipandang sebagai anugerah (pemimpin
alternative) bagi sekalian Anang yang pada akhirnya lelah juga berperang. Maka
ia dijadikan pemimpin atas permintaan dengan sangat oleh rakyat negeri itu yang
diwakili oleh Matoa Ulu Anang-nya masing-masing. Namun sebelum ditabalkan
sebagai “raja/ratu”, ia pula harus mengadakan perjanjian dengan para penghulu
kaum/rakyat.
Demikian
pula halnya dengan masyarakat anang yang menghuni wilayah Sawitto pada masa
itu. Sebagaimana dituturkan dalam salahsatu kronik Sawitto yang diperkirakan
terjadi dalam tahun 1350 M (Rimba Alam, 2009), muncullah 7 orang “To Tompo” (muncul dari bawah) di wilayah
AkkajangngE atau Lurah MarajaE. Para To Tompo itu dipimpin oleh saudara tertua
mereka yang kemudian disebut sebagai : Puang
ri SompaE. Maka baginda inilah yang ditabalkan sebagai pemimpin perhimpunan
segenap Anang dengan sebutan : Addaowang
(tempat bernaung). Peristiwa kemunculannya di Lurah MarajaE, ditetapkan sebagai legenda yang menjadi awal mula
penamaan Kerajaan mereka, yakni : Na Sawi To Tompo (diberkahi orang
yang muncul dari bawah), kemudian disingkat menjadi “Sawitto”. Inilah versi
pertama perihal penamaan Kerajaan yang sedang dibahas ini.
Pelantikan
Puang To RisompaE selaku Addaowang Sawitto didahului dengan sambutan dan ikrar
bersama dengan para Penghulu Anang, diuraikan pada kronik Sawitto sebagai
berikut :
“Anganroangna MatoaE : Angingko ki raukkaju //
Riao miri // Riakkeng teppa mutappalireng // NaElo’mu kua // Adammu sia //
Mattampako kilao // MarEllauko kiabbErEang // Passuroangmu riamasEang // Namau
anammeng napattarommeng// mutEaiwi,// kitEaitoi// REkkua tudammuni’ mai ri tanata//
Mangkaukeng temmagaru “
“Mappibalini Puang ri SompaE : Ujujung ada
madEcEngmu, // PabbanuaE // Upallongi-longi na kusappiang mattakkE ulaweng, //
Ada malebbikkeng, // RiassEddiangmu patonangia’ Addaowang.” (Johan
Nyompa, 1980).
(
Berikrarlah Para Matoa : Engkaulah angin dan kami dedaunan kayu belaka. Kemana
kau berhembus, disitulah kami terhampar, mengikuti arahmu selalu. Kehendakmulah
yang terlaksana, amsalmu yang terwujud, Engkau memanggil, maka kami datang,
Engkau meminta, maka kami memberi, Perintahmu adalah rahmat, Walau anak dan
isteri kami, jika engkau tidak menghendakinya, Kami akan menolaknya pula.
Namun, bertahtalah di negeri ini, pimpin kami agar tidaklah kacau balau)
(Menjawablah
Puang ri SompaE : Kujunjung tinggi ikrar baikmu, wahai orang banyak.
Kutinggikan lalu kusangkutkan pada dahan-dahan emas, ikrar kemuliaanmu. Berkat
persatuanmu jua, menjadikanku sebagai naungan).
Maka
bersatulah para anang itu dalam himpunan satu negeri, dibawah kepemimpinan
Addaowang Puang ri SompaE. Adapun halnya dengan keenam saudaranya, mereka
menjadi perangkat kerajaan dalam suatu lembaga adat yang kerap disebut sebagai
“AnnangngE”, sebagai berikut :
1. To LEngo, menjadi Matoa LEppangeng (Tiroang) dan turunannya
mewarisi jabatan AnrEguru (Panglima) dan Mappasusu (Penasehat) Kerajaan
Sawitto,
2. La Massa To Kipa, menjadi Matoa PalEtEang dengan gelar :
Bori’-Bori’na PalEtEang,
3. To Marro, menjadi Matoa Arawa,
4. To Masse’, menjadi Matoa Masila,
5. To Panroko, menjadi Matoa Bua (sekarang berada di daerah Padakkalawa),
6. To Maddampang, Pappasusu Sawitto.
Era
pemerintahan Addaowang Puang Matoa adalah awal penyatuan para Anang yang
kemudian menjadi daerah “lili” (daerah bawahan) Sawitto dengan hak dan
kewajibannya masing-masing.
Kronik
Sawitto yang memberitakan perihal Addaowang
Puang ri SompaE hanya menguraikan sebatas kemunculan To Tompo’E dan
pembentukan Kerajaan Sawitto beserta lembaga adatnya. Penelusuran penulis
sejauh ini belum mendapati suatu sumber yang menguraikan kelanjutan turunan
Puang ri SompaE sebagai Addaowang penerus wangsa To Tompo tersebut, hingga
kedatangan To Manurung dari selatan, yakni ManurungngE
ri Bacukiki.
Tersebutlah
La BangEnge’ ManurungngE ri Bacukiki,
dalam perjalanannya kearah utara dari tempatnya “manurung” (turun dari
khayangan), tibalah beliau pada suatu pemukiman yang ramai. Maka ia berkata
kepada pengikutnya : “SawEto tauwE rini’
“ (ramai pula orang disini). Kemudian peristiwa tersebut menjadi versi lain
dari awalmula penamaan Kerajaan Sawitto. Hal yang mendasari sehingga oleh
beberapa kalangan Sejarawan Sulawesi Selatan menyebutkan La BangEnge’ ManurungngE ri Bacukiki adalah Addatuang Sawitto I, sementara Sejarawan lainnya menyebutkan GeppoE yang adalah cucu langsung La BangEnge' sebagai Addatuang
Sawitto I.
Penobatan La BangEnge’ selaku Addatuang Sawitto I adalah akhir dari dynasti Addaowang Sawitto dalam kurun abad yang sama. Perubahan gelar
wangsa Addaowang (naungan) menjadi Addatuang (pertuanan), adalah bermula
sejak pernikahan La BangEnge’ ManurungngE ri Bacukiki dengan We Teppulinge’ ManurungngE ri Lawaramparang
yang berkedudukan di Kerajaan Suppa. Keduanya adalah leluhur para Raja di
Kawasan Aja Tappareng dan bahkan mencakup sebagian wilayah MassEnrEngpulu, TellumpoccoE
dan TelluE ri Cappa’gala pada
abad-abad kemudian, hingga pada masa akhir kerajaan pada paruh pertengahan
abad-20.
C. “Pinrang”, Menurut Catatan Lontara Sawitto
Lontara
Bilang Kerajaan Gowa menyebutkan seorang tokoh besar yang menabur prestasi
gemilang bagi negerinya. Berkat kecerdasan dan keberaniannya, maka Gowa yang
mulai tumbuh sebagai suatu Kerajaan Maritim, kini semakin besar dan menjelma
sebagai suatu kekuatan poros di Nusantara pada abad-16. I Mario Gau’ DaEng
Bonto KaraEng Lakiung, demikian antara lain nama dan gelarnya. KaraEng
Tunipallangga Ulaweng, itulah gelarnya yang paling mahsyur. Sombaya Gowa X,
demikian jabatan dimana ia bertahta dalam kurun tahun 1546 – 1565.
Perhubungannya
dengan Sawitto dicatat dengan rapi dalam 3 versi Lontara Attoriolong Sawitto. Salahsatu versi yang akan dikemukakan
disini, yakni : Lontara Sawitto H. Paewa
(LSHP) dengan terlebih dahulu memaparkan latar belakang, sebagaimana diuraikan
pada Lontara Attoriolong Sawitto (LAS).
LAS
membuka penguraiannya, sbb :
“Pannessaengngi attoriolongngé ri Suppa’ ri Sawitto
riwettu marajana mupatoha / Nalaona puwattaq Makaraié / Nasitana karaéngngé ri
Gowa riasengngé Toripalangga “
(Uraian
yang menjelaskan sejarah di Suppa dan Sawitto pada masa kejayaannnya / Maka
berangkatlah pertuanan kita MakkaraiE / Bertemulah pertuanan di Gowa yang
bernama Toripallangga)
Penguraian
lebih lanjut adalah perbincangan persahabatan antar kedua Raja dengan akrabnya,
hingga kemudian sepakat untuk menjodohkan putera puteri mereka. Sesungguhnya Petta MakkaraiE Datu Suppa III memiliki
puteri yang amat jelita, bernama : We
LampE WElua’ (Puteri Berambut Panjang). Maka Sang Puteri inilah yang hendak
dijodohkan dengan Pangeran Mahkota Gowa (I
Taji Barani DaEng Marompa KaraEng Data).
Hingga
pada masa yang telah disepakati kedua kerajaan, pihak Kerajaan Gowa telah
mengantarkan “sompa sebbukati”
(mahar) ke Kerajaan Suppa. Maka ditetapkanlah hari baik dimana kedua putera dan
puteri mahkota dipersandingkan. Namun menjelang hari baik yang ditentukan itu,
datanglah pula perkunjungan Petta
PalEtEangngE Addatuang Sawitto IV ke Suppa. Baginda Addatuang Sawitto ini
melamarkan pula puteranya, yakni : La
Cella’mata untuk mendapatkan We LampE
WElua’.
“ poléni puwattaq
Palétéyangngé ri Sawitto makkeda / oé sellao / idiqsi pasialai anaqtaq
/nakkalépu / Suppaq-Sawitto / riaginna Mangkasaé te[n]rissengngé /
ru[m]puapinna / makkedai Makaraié / agana ripoadangngi / karaéngngé /
makkedaiPalétéangngé / yipaq baliwi / adanna / karaéngngé /sialani Wé La[m]pé
Wéluwaq / La Cellaq Mata / ripareweqni so[m]panakaraéngngé..”
(Datanglah pertuanan kita PalEtEangngE dari Sawitto, lalu berkata : wahai
sanakku, kitalah yang menikahkan anak-anak kita, agar bersatulah Suppa dan
Sawitto, lagipula orang-orang Makassar itu sesungguhnya sulit ditemui kebaikan
pada akibat sepak terjangnya. Berkatalah MakkaraiE : Apalah nanti yang
dikatakan pada KaraEngngE ?. Berkatalah PalEtEangngE : Nanti saya yang menjawab
perkataan KaraEngngE. Maka dinikahkanlah We LampE WElua’ dengan La Cella’ Mata.
Lalu dikembalikanlah mahar KaraEngngE..)
Akibat dari peristiwa itu, maka murkalah Raja Gowa. Baginda mengerahkan
bala tentara Gowa untuk menyerbu Sawitto dan Suppa. LAS kemudian menguraikan
jalannya perang yang kemudian berhasil menaklukkan kedua kerajaan bersaudara
itu yang melibatkan pula konflik dengan Kerajaan Tandingan Gowa pada masa itu,
yakni : Tana Bone.
Sehubungan dengan topik pembahasan pada kesejarahan Pinrang ini, penulis
kemudian mengkoneksi-kan antara kedua Lontara, sebagaimana diuraikan kemudian
pada LSHP, sbb :
“ Naengkatoniro manganro karaéngngé ri Gowa riyasengngé I
Manriogawudaéng Bo[n]to Tonipalangga Ulaweng maéloniq tériwi tanapaqbiring \
maéloqi napanganro napuwatai \ iyaréqga nalai lilié passéajingeng \ nasabaq
mateqdeqna bé[n]ténna passiunona Sawitto \ nadéqnaullé passiunona Gowa
sisengiwi \ dua telluni uraga nagaukengngi nadéqnaullé rumpaqi bé[n]ténna
toSawittoé \ apaq engkato towaraninna toSawittoé riyaseng Toléngo sibawa
Tokippang \ ia naro duwaé to waraninna Sawitto déq narullé balié saui \
wékkaduwa \ wékkatelluni ritéri ri Gowa\ natennaullé panganroi..”
(Maka datang pula Pertuanan Gowa yang bernama I Manrio Gau DaEng Bonto
Tonipallangga Ulaweng, bermaksud menyerang pada kawasan pesisir, hendak
menaklukkan dan memperbudak, atau menjadikan negeri bawahan, namun begitu
kuatnya benteng pertahanan para ksatria Sawitto, maka para ksatria Gowa
tidaklah mampu menaklukkannya dalam sekali serangan, dua tiga macam siasat yang
ditempuh, namun tetap pula tidak mampu memasuki banteng pertahanan orang-orang
Sawitto, karena ada pula pemberani dari Sawitto bernama TolEngo dan Tokippang.
Mereka berdua pemberani Sawitto yang tidak terkalahkan, dua kali, tiga kali diserbu oleh orang Gowa, namun
takkan dapat ditaklukkan..).
Hingga kemudian pada akhirnya, berkat siasat brillian seorang Panglima
Gowa, yakni : KaraEng BontolEmpangan dengan mengalihkan perhatian kedua Ksatria
Sawitto itu, maka banteng pertahanan Sawitto dapatlah dilumpuhkan. Maka
ditawanlah Petta La Cella’ Mata Addatuang
Sawitto dan permaisurinya (We LampE
WElua’ Datu Suppa) ke Gowa.
Penguraian Lontara kemudian berlanjut pada perjuangan kedua Ksatria
Sawitto untuk membebaskan kedu pertuanannya di Gowa. Hingga kemudian, berkat
kegigihannya, keduanya berhasil melarikan kedua tuannya dari tahanan Kerajaan
Gowa.
Setibanya di Sawitto, LHPS memberitakan kemudian :
“ Naia latuqnana
aqdatuwang Sawitto rilariyang narisompereng Lisu ri Sawitto \marennu manenni
toSawittoé napada pakkerru sumangeqi aqdatuwatta \ naitani pinra maneng
lanroaléna \ pinra rupanna mawéya \ napada makkedana \ malanréq sennaktu pinra
rupanna aqdatuwatta \ nakkedanaaqdatuwatta \ asengngi onrongngé Pinra-pinraé \
apaq malanreq tongeng pinra aqdatuawatta Duwa mallaibiné mani ke puraé malasa
serro \ nasamaiona toSawittoé Pasau-sauwi puwanna \ ianaro Pinra-pinraé
matterru makkokkowé riaseng Pinrang “
(Ketika Addatuang Sawitto tiba dari pelarian dengan perahu layar kembali
ke Sawitto, besarlah harapan segenap
rakyat Sawitto, seraya menyampaikan suka citanya terhadap pertuanan kita.
Mereka melihat kondisi kesehatan tubuh pertuanannya begitu berubah. Raut
wajahnya berubah pucat. Mereka semua berkata : begitu besar perubahan wajah
pertuanan kita. Maka berkatalah pertuanan kita : Namailah tempat ini PINRA-PINRAE
. Karena begitu besar perubahan Pertuanan kita suami isteri, bagaikan telah
mengalami sakit parah. Maka bersepakatlah rakyat Sawitto untuk mengobati pertuanannya. Itulah sebabnya “Pinra-PinraE”
berlanjut hingga sekarang disebut PINRANG.)
III. KESIMPULAN
Pada uraian yang telah dikemukakan tersebut, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Sejarah
awal Sawitto adalah suatu patron yang menjadi bukti keberagaman dalam suatu
kesatuan, dimana keberagaman asal dan etnis penduduk awalmulanya berhasil
mewujudkan persatuan dalam suatu himpunan masyarakat kerajaan yang mampu
bertahan selama 6 abad,
2.
Penamaan “Pinrang” yang kini menjadi suatu Daerah Tk. II, adalah suatu
makna kecintaan “anak negeri” terhadap pemimpinannya. Suatu nilai luhur yang
kiranya menjadi syarat mutlak dalam sejarah bagi suatu negeri besar.
IV. PENUTUP
Demikian dihaturkan, sebagai materi kajian dalam acara Masa Penerimaan
Anggota Baru (MAPABA) oleh Pengurus Cabang Kesatuan Pelajar Mahasiswa Pinrang,
KPMP-KOPERTI STAIN Kota Parepare Tahun, KPMP-KOPERTI STAIN Periode 2012-2013 Kota
Parepare.