Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Selasa, 14 Agustus 2012


KETEGUHAN IMAN DAN IKRAR !



“Robbanaa, laa tuzighquluubanaa ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka rohmatan, innaka Antal Wahhaab”

(Yaa Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami sesudah mendapat petunjuk, berilah kami karunia, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemurah)

………………………………………………………………………………………………….



Sekiranya pernah menjadi makmun dibelakang baginda yang mulia, pastilah itu do’a yang senantiasa dipanjatkannya dengan bibir gemetar. Saat ketika air matanya mengalir deras hingga membasahi janggutnya. Memohon dan berharap dihadapan Rabb-nya, atas keteguhan iman bagi agama yang dicintainya dengan segenap jiwa dan raganya.



Hashbunallah wa ni’mal wakiil..” (cukuplah Allah menjadi penjaminku..), duhai.. demikian rintih munajatnya selalu. La Tenri Ruwa, seorang Raja Besar yang mendapatkan limpahan cahaya Islam, kemudian menerimanya dengan sepenuh hati. “Duhai.., betapa gemilangnya cahaya ini. Risalah kebaikan yang tiada cacat celahnya sedikitpun..”, kata hatinya dengan penuh takjub dan syukur. Namun rakyatnya menolak cahaya itu, terlebih para menterinya. “Apalah gunanya menerima risalah asing itu ?. Apalagi jika itu memaksa kita untuk meninggalkan tradisi leluhur, apakah itu bukan suatu bentuk kedurhakaan ?!”, demikian kiranya kegelisahan Rakyat Tana Bone kala itu.  Maka La Mallalengeng To Allaungeng yang mewakili segenap rakyat Tana Bone mengajukan petisi, “ HaE, Batara Tungke’na Tana Bone, pilEi salasEddinna iyaE dua tessitonraE, Asellengengmu iyarE’ga Tana Akkarungengmu !” (Wahai, Pertuanan Tunggal Kerajaan Bone, pilihlah salahsatu dari dua hal yang bertolak belakang, Agama Islam-mu ataukah Tahta Kerajaanmu !).

La Tenri Ruwa Raja yang malang, sekaligus manusia yang diberkati. Barulah tiga bulan menduduki tahta “ArumponE”, kini haruslah menghadapi pilihan yang sesungguhnya hati kecilnya pastilah menginginkan keduanya. Siapakah sesungguhnya orang besar ini ?



NAZAB DAN KETURUNANNYA

Baginda La Tenri Ruwa adalah generasi ke-8 dari La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang ArumponE I. Beliau adalah putera La Saliu Arung Palakka dengan I LEppeng (puteri La Ulio Bote’E MatinroE ri Itterrung ArumponE VI bin La Tenrisukki MappajungngE ArumponE V dengan We Tenri WEwang Arung Pattiro), sehingga iapun adalah cucu langsung La Tenrisukki MappajungngE pula. Kemudian sesungguhnya ayah dan ibunya bersepupu dua kali (siala massappo wEkkadua).

La Saliu Arung Palakka adalah putera I MangampE Walida MaddanrengngE ri Palakka dengan La GomEng.

I MangampE Walida Maddanreng Palakka adalah puteri La Tenrigerra’ Datenripala (saudara kandung La Tenrisukki MappajungngE ArumponE V) dengan We Tenrisuppala Ana’na Arung Mampu.

La Tenrigerra’ Datenripala dan La Tenrisukki MappajungngE ArumponE V adalah putera We Barigau’ MakkalempiE Petta MallajangngE ri Cina ArumponE IV dengan La Tenribali Arung Kaju.  Kedua suami isteri ini juga adalah bersepupu sekali (siala massappo siseng) karena ayah We Barigau’ MakkalempiE, yakni La Saliu KerrampElua’ ArumponE III bersaudara kandung dengan We Tenripappa, ibunda La Tenribali Arung Kaju.

Halnya dengan We Barigau’ MakkalempiE Petta MallajangngE ri Cina ArumponE IV (Ratu yang Mairat di Cina dalam tahun 1516 M), adalah puteri La Saliu KerrampElua’ ArumponE III dengan We Tenri Roppong Ana’na Arung Paccing.

La Saliu KerrampElua’ ArumponE III adalah putera We Pattanra Wanua dengan La Pattikkeng Arung Palakka. Baginda inilah yang terkenal memiliki rambut yang lebat dan berdiri kaku sejak lahirnya, sehingga dijuluki : Petta KarampElua’E (Pertuanan kita yang berdiri rambutnya). Ia pula yang ditetapkan sebagai Putera Mahkota sesaat setelah lahirnya, oleh pamandanya sendiri, yakni : La Ummase’ Petta PanrEbessiE MulaiyyE Panreng ArumponE II (saudara kandung We Pattanra Wanua).

We Pattanra Wanua dan La Ummase’ Petta PanrEbessiE adalah putera puteri La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang Mangkau’E ri Bone I dengan We Tenri Wale’ ManurungngE ri Toro’. Kedua suami isteri “manurung” ini adalah pendiri Kerajaan Bone.

Menelusuri nazabnya dari bawah keatas, maka mutlaklah jika La Tenri Ruwa adalah Pangeran Palakka sejati serta juga Pangeran Pattiro. Olehnya itu, sebelum dinobatkan menjadi ArumponE, beliau terlebih dahulu menduduki tahta “Arung Palakka”. Kemudian baginda dinikahkan dengan sepupu sekalinya di Soppeng, yakni : We Tenri LEkke’ Baji’ LEmbaE Datu Mario ri Wawo (puteri We Tenri Pauwang dengan La Makkarodda To Tenribali MabbEluwa’E Datu Mario ri Wawo bin LA WAniaga To Makerra Arung Bila). We Tenri Pauwang adalah saudara kandung I LEppeng, ibunda La Tenri Ruwa.

Pernikahan  La Tenri Ruwa Arung Palakka dengan We Tenri LEkke’ Baji’ LEmbaE Datu Mario ri Wawo, melahirkan puteri, yakni : We Tenri Sui Datu Mario.

We Tenri Sui Datu Mario dinikahkan dengan La Pottobunne’ Arung Tana Tengnga (putera La Wawo Arung Tana Tengnga Toa dengan We Tenri Cemmareng DagaE Arung Ganra binti La Sekati To Soangmegga Datu Soppeng XI), melahirkan putera-puteri, sbb :

1.      La Tenri Tatta DaEng SErang To Erung Arung Palakka Toappatunru’ Datu Mario ri Wawo To Unru Sultan Sa’aduddin Petta MalampE’E Gemme’na Datu Tungke’na Tana Ugi MatinroE ri Bontoala’ ArumponE XV (Petta To RisompaE),



2.      We TenriEsa’ DaEng Upi MappolobombangngE MaddanrengngE ri Bone, dinikahkan dengan La Pakkokoi To AngkonE Petta TadampaliE Arung Ugi  Arung Timurung MaddanrengngE ri Bone (La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh MatinroE ri Bukaka ArumponE XIII dengan We Hadijah I Dasenrima binti La Pakallongi To Allinrungi Arung Matoa Wajo XV/XVII), melahirkan : La Patau’ Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Arung Palakka Petta Ranreng Tuwa Wajo MatinroE ri Nagauleng Datu Soppeng XVIII ArumponE XVI).



3.      We Kacumpureng I Tenri Girang Daumpi Datu ri Mari-Mari menikah dengan To Dani Arung Bakke’ Datu Citta Arung LEtta Addatuang SidEnrEng IX (XIII ?) Arung Rappeng XII Addatuang Sawitto XIV  (Datu Ajattappareng),



4.      La Tenri Gerra’,



5.      La Onggo’,



6.      We Tenri Abang DaEng Ba Datu Mario ri Wawo menikah dengan La Mappajanci Sultan Ismail Datu TanEtE, melahirkan We PattEkE Tana Datu TanEtE.



Selanjutnya, Sejarah Sulawesi Selatan mencatat bahwa keturunan ke-enam putera puteri La Tenri Ruwa diatas yang kemudian menjadi Raja dan Ratu diseluruh kawasan TelluE Cappa’gala (Luwu, Bone dan Gowa), TellumpoccoE (Bone, Wajo dan Soppeng), LimaE Ajattappareng, Barru, TanEtE, PangkajEnE, Marusu, Tellu LimpoE (Bulo-Bulo, Lamatti dan Tondong) dan segenap daerah lainnya hingga di tanah Mandar.



Kiranya inilah balasan yang pantas bagi mukmin yang istiqomah dengan semata-mata berharap pada rahmat Tuhannya Yang Maha Pengatur Takdir bagi segenap ciptaan-Nya.





KETEGUHAN IMAN SEORANG MUALLAF



Dalam tahun 1611, La Tenri Ruwa Arung Palakka dinobatkan menjadi ArumponE XI, Mangkau’ (penguasa) bagi Kerajaan BonE beserta segenap negeri takluknya. Baginda menggantikan sepupu sekalinya yang terlebih dahulu masuk Islam hingga wafat sesaat setelah mengucapkan ikrar syahadatain, yakni : We Tenrituppu MaddussilaE MatinroE ri SidEnrEng ArumponE X (puteri La Pattawe’ DaEng SErang MatinroE ri Bettung ArumponE IX dengan We Dala Lipu Arung Mampu).



Belumlah genap tiga bulan menjalankan roda pemerintahan Tana Bone, tibalah Raja Gowa (I Manggarangi DaEng Mangrabia Sultan Alauddin Sombayya Gowa XIV) beserta segenap angkatan perangnya di Bone. Maksud kedatangan mereka, yakni misi pengislaman dengan sebelumnya telah berhasil mengislamkan SidEnrEng, Soppeng dan Wajo. Mereka membangun benteng pertahanan di kawasan PallettE dan Cellu’.



Setelah merasa bahwa kedudukan pertahanannya sudah cukup kokoh, Sombangta Gowa menemui ArumponE La Tenri Ruwa, seraya menyampaikan syiar Islam dengan segenap pengetahuannya tentang risalah tersebut, dimana uraian itu sangat berkesan dihati La Tenri Ruwa. Maka berujarlah La Tenri Ruwa kepada segenap petinggi kerajaannya, sebagaimana dikutip sebagai berikut :



“Kalian telah mengangkat saya menjadi Mangkau’ untuk membawa Bone kepada jalan yang baik. KaraEngngE ri Gowa datang membawa Agama Islam yang menurutnya adalah kebaikan, sesuai dengan perjanjian kita yang lalu, (bahwasanya ; pen) siapa yang mendapatkan (menemukan ; pen) kebaikan, dialah yang menunjukkan jalan. Oleh karena itu, saya mengajak kalian untuk menerima Islam”.



KaraEngngE ri Gowa berkata ; “Menurutku, Islam adalah kebaikan dan dapat mendatangkan cahaya terang bagi kita. Oleh karena itu, saya berpegang pada Agama Nabi. Kalau engkau menerima pendapatku, maka Bone dan Gowa akan menjadi besar untuk bersembah kepada DEwata SEuwaE (Allah SWT)”.



Berkata lagi Arumpone kepada orang banyak ; “Kalau kalian tidak menerima baik maksud KaraEngngE padahal dia benar, dia pasti memerangi kita dan kalau kita kalah, berarti kita menjadi hamba namanya. Tetapi kalau kalian menerima dengan baik, kita dijanji untuk berdamai. Kalau kita melawan, itu adalah wajar. Jangan kalian menyangka bahwa saya tidak mampu untuk melawannya”.



Ketika itu semua orang Bone menolak Islam. Arumpone La Tenri Ruwa hanya diam, karena dia sudah tahu bahwa orang Bone berpendapat lain. Pergilah ArumponE ke Pattiro dan hanya diikuti oleh keluarga dekatnya. Sesampainya di Pattiro, ia mengajak lagi orang Pattiro untuk menerima agama Islam. Ternyata orang Pattiro juga menolak (Lontara Akkarungeng Bone)





Sekilas membaca catatan kejadian dari kutipan Lontara Akkarungeng Bone  (milik Drs. Andi Amir Sessu) diatas, maka didapati kesesuaian dengan Lontara Wajo (Andi Paramata dkk. 1975:18), bahwa Arumpone XI yang bernama La Tenri Ruwe MatinroE ri BantaEng secara pribadi lebih dahulu telah menerima Islam sebagai agamanya, sebelum Butta Gowa melancarkan perang (Mattulada : 1998). Maka sesungguhnya, upaya La Tenri Ruwa untuk menerima Islam dihadapan Raja Gowa, bukannya untuk “menghindari perang bagi rakyatnya”, melainkan karena Baginda telah menjadi Islam terlebih dahulu, bahkan kemungkinan sebelum beliau dinobatkan menjadi Raja Bone.



Sementara Baginda La Tenri Ruwa di Pattiro, maka berhimpunlah rakyat Bone yang dipimpin oleh Dewan Hadat Ade’ PituE. Mereka sepakat untuk memakzulkan La Tenri Ruwa dari tahtanya sebagai ArumponE, karena dipandang menyalahi ketetapan adat kebersamaan Tana Bone. Maka menghadaplah La Mallalengeng To Allaungeng sebagai perwakilan Rakyat Bone yang dilegitimasi Dewan Ade’ PituE, seraya berkata :



“Saya disuruh oleh orang Bone untuk menyampaikan bahwa, bukan lagi orang Bone yang menolak engkau sebagai Mangkau’, tetapi engkau sendiri yang menolak kami semua, karena pada saat Bone menghadapi musuh besar, engkau lalu meninggalkannya !”.



Menjawablah La Tenri Ruwa :



“Saya menyangkal bahwa saya meninggalkan orang Bone, saya hanya menunjukkan jalan kebaikan dan cahaya yang terang. Tetapi kalian tidak mau mengikutinya dan lebih suka memilih jalan kegelapan. Makanya saya pergi memilih jalan kebaikan dan cahaya yang terang itu, jalan yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya”.



Namun apa boleh buat, Baginda La Tenri Ruwa haruslah memilih opsi yang diajukan oleh Rakyat Bone melalui To Allaungeng. Maka tanpa ragu, baginda memilih Islam diatas segalanya. “Naiyya Lino, simata wanua lEppa-lEppangengmi bawang, manguju ri wanua mannessaE ri AhE’ra” (sesungguhnya dunia, tiada lainya hanyalah negeri persinggahan belaka, dalam rangka perjalanan menuju negeri yang nyata di akhirat kelak).



La Tenri Ruwa kemudian mengutus salah seorang keluarga dekatnya menemui Raja Gowa di PallettE, untuk menjelaskan kejadian yang baru saja dialaminya itu. Maka Raja Gowa pun memerintahkan KaraEng Pettu beserta pasukan secukupnya untuk menemui La Tenri Ruwa di Pattiro. Namun baru saja bertemu mantan Raja Bone itu di Salassa’E Pattiro (Istana Pattiro), tiba-tiba tempat itu sudah dikepung oleh rakyat Pattiro dan Sibulu’E. Lalu dengan kawalan orang-orang Gowa, La Tenri Ruwa dan segenap keluarganya menyingkir ke Gunung Maroanging.



Lontara Akkarungeng Bone menggambarkan betapa sulitnya keadaan La Tenri Ruwa ketika itu, dimana sesungguhnya ia tidak memiliki kekuasaan apa-apa lagi selain keluarga dan imannya. Beliau kini tiada lain adalah Raja Bone yang dilengserkan, yang tersisa tinggal gelar sebagai pangeran Pattiro, Palakka dan AwangponE serta gelar isterinya sebagai Ratu di Mario ri Wawo (Soppeng). Hal yang sesungguhnya tiada lain hanyalah gelar belaka, tanpa kekuasaan apa-apa. Harga suatu keteguhan akan keyakinan !.



Hingga setelah kejadian pemakzulan itu, tiga tokoh besar berikrar di Tanjung PallettE. Mereka adalah Sombangta Gowa, KaraEng Matoaya Tallo’ dan La Tenri Ruwa. Mengucap ikrarlah Sombangta Sultan Alauddin dan KaraEngta Sultan Awwalul Islam (KaraEng Tallo), bahwa : “Inilah yang dipersaksikan kepada Dewata SEuwwaE (Tuhan Yang Maha Tunggal) bahwa, bukanlah keturunan KaraEngngE ri Gowa dan KaraEng Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu. Kalau ada kesulitan yang engkau hadapi, bukalah pintumu untuk kami masuk pada kesulitan itu.”.



Menjawablah La Tenri Ruwa : “Wahai KaraEng, ikat padiku tidak akan terbuka, tidak sempurna pula kehidupanku dan apa yang ada dalam pikiranku. Kalau ada kesulitan yang menimpa Tanah Gowa, biar sebatang bamboo yang dibentangkan, kami akan melaluinya untuk datang membantumu sampai kepada anak cucumu dan anak cucuku, asalkan tidak melupakan perjanjian ini”.



Pada masa itulah, Sombangta Gowa menggelar La Tenri Ruwa sebagai : La Tenri Ruwa Arung Pattiro “Adamulmarhum Kalinul Awalul Islam” yang kemudian disingkat “Sultan Adam”. Lima hari kemudian, Pasukan Gowa menyerbu pusat kekuasaan Tana Bone, dimana Dewan Ade’ PituE memimpin perlawanan rakyat, menahan gempuran itu. Namun, pasukan Gowa beserta segenap sekutunya terlalu berat dilawan oleh lasykar Bone yang tanpa kesatuan pimpinan itu. Watampone dibumi hanguskan, maka menyerahlah para pemimpin lasykar Bone yang kemudian menerima pula Agama Islam.



Sepeninggal Sombangta Gowa dan KaraEng Tallo beserta segenap balatentaranya, maka tiadalah tempat bagi La Tenri Ruwa, mantan Raja Bone di negerinya sendiri. Dewan Ade’ PituE kemudian mengangkat seorang Raja Bone yang baru, yakni : La Tenri Pale’ To AkkeppEang Arung Timurung. Maka baginda La Tenri Pale’ beserta segenap keluarganya meninggalkan Tana Bone, menuju ke Tana Su’ (Makassar). Disanalah beliau memperdalam Ilmu Agama Islam pada Dato’ ri Bandang. Selanjutnya, Sombangta Gowa menyampaikan titah agar Sultan Adam dan keluarganya dapat memilih salahsatu negeri Wilayah Butta Gowa sebagai pemukimannya yang baru. Maka La Tenri Ruwa memilih negeri BantaEng untuk menetap hingga wafatnya. Akhirnya, baginda pun mendapat gelar anumertanya, yakni : La Tenri Ruwa Sultan Adam Petta MatinroE ri BantaEng.





AKHIR IKRAR MANUSIA



“Ketetapan manusia hanyalah suatu rencana belaka, namun perwujudannya kemudian adalah Kuasa Allah semata”. Kiranya itulah perwujudan dari ikrar ketiga raja yang diuraikan diatas, bahwa : “.. bukanlah keturunan KaraEngngE ri Gowa dan KaraEng Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu, dst..”. Ikrar itu diucapkan dalam tahun 1611. Namun 35 tahun kemudian, dalam tahun 1646 I Manuntungi DaEng Mattola Sultan Malikussaid Sombayya Gowa XV menawan anak cucu MatinroE ri BantaEng, sebagai tawanan perang PassEmpe’.



Salahseorang puteri Baginda Sultan Adam yang paling merasakan pahitnya perlakuan putera Sultan Alauddin itu, adalah : We Tenri Sui Datu Mario. Ia dan suaminya serta putera puterinya dijadikan tawanan perang ke Gowa. Suaminya, yakni : La Pottobunne’ Arung Tana Tengnga dijadikan abdi pemegang tombak oleh KaraEng Karunrung. Kemudian beliau terpaksa harus meregang nyawa setelah ia memberontak pada “Tuannya” akibat tidak tahan melihat kesewenangan KaraEng Karunrung terhadap para pekerja paksa dari Bone dan Soppeng. Tombak yang dipegangnya dipakainya mengamuk sejadi-jadinya. Namun pada akhirnya iapun harus kena ringkus tak berdaya oleh pasukan Gowa. Akhirnya iapun dihukum mati dengan ditusuk tombak pada mulutnya, menembus tenggorokan hingga organ dalamnya. Kematian yang tragis dan menggenaskan dialaminya, setelah sebulan sebelumnya ayahnya (La Wawo Arung Tana Tengnga Toa) dihukum mati pula dengan cara diikat didalam lesung, lalu ditumbuk alu ramai-ramai sampai mati.



Hukuman mati atas diri Arung Tana Tengnga yang terjadi dalam bulan September 1660 itu, amat menggores pedih menjadi luka hati yang dalam bagi puteranya, yakni : La Tenri Tatta DaEng SErang (Mattulada ; 1998). Pada suatu malam yang tenang, Pangeran muda yang bergelar Datu Mario itu mengucap sumpah untuk menuntut bela terhadap kematian ayah dan kakeknya yang mengerikan, serta penderitaan rakyat Soppeng dan Bone dibawah kekejaman penguasa Gowa kala itu. Sumpah yang amat berat dan mengerikan pula, yakni : Tidak akan memotong rambutnya sebelum menegakkan martabat kebesaran Bone dan Soppeng. Selain itu ia akan menghaturkan Sokko Pitunrupa (Nasi Ketan 7 macam) setinggi Gunung Cempalagi dan membuat banjir darah setinggi lutut di Makassar, darah para bangsawan tinggi Gowa dan Tallo !. Inilah kemudian yang menjadi babak awal Perang Makassar (1666 – 1669), perang terhebat yang pernah terjadi di Nusantara dan menjadi babak permulaan masuknya kekuasaan VoC di Sulawesi Selatan.



Sejarah terus berputar, buah ikrar itu kemudian berbuah manis pula. Keturunan La Tenri Ruwa Sultan Adam, I Manggarai DaEng MammEta Sultan Alauddin dan I Malingka’an DaEng Nyonri Sultan Awwalul Islam kemudian menyatu jua. La Patau’ Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Arung Palakka Petta Ranreng Tuwa Wajo MatinroE ri Nagauleng Datu Soppeng XVIII ArumponE XVI (Generasi IV La Tenri Ruwa Sultan Adam) menikah dengan I Mariama KaraEng Pattukangan (Generasi VI Manggarangi Sultan Alauddin). Mereka menurunkan generasi-generasi berikutnya yang silih berganti menjadi pemimpin ketiga negeri (Gowa, Bone dan Soppeng). Salahseorang putera mereka, yakni : La Pareppa’I To SappEwali Sultan Ismail Sombayya Gowa XX Arumpone XIX Datu Soppeng XX (Generasi V La Tenri Ruwa Sultan Adam dan Generasi VII I Manggarangi Sultan Alauddin) menikah pula dengan I Gumittiri (Generasi VI Malingkaan Sultan Awwalul Islam KaraEng Tallo’ dan Generasi VII I Manggarangi Sultan Alauddin). Maka menyatulah darah para sekutu yang berikrar namun turunannya kemudian sempat saling menumpahkan darah itu. Sesuatu yang menyisakan keluhuran dan kearifan sejarah, sebagaimana yang disebut : Manguru Wija-Wija (Menyatu Keturunan).



Duhai, segenap Datu Puengta dan para KaraEngta, semoga mendapat ampunan dan rahmat tak terputus bagimu dan segenap anak keturunanmu, Insya Allah. Amin yaa Robbal Alamin.



Nun wal Qolami wamaa’ tasturuuwn, wabillaahi taufiq wal hidayah..

Wallahualam Bissawwab.


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar