KETEGUHAN IMAN DAN
IKRAR !
“Robbanaa, laa
tuzighquluubanaa ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka rohmatan, innaka
Antal Wahhaab”
(Yaa Tuhan kami,
janganlah Engkau sesatkan hati kami sesudah mendapat petunjuk, berilah kami
karunia, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemurah)
………………………………………………………………………………………………….
Sekiranya pernah menjadi makmun dibelakang baginda yang
mulia, pastilah itu do’a yang senantiasa dipanjatkannya dengan bibir gemetar.
Saat ketika air matanya mengalir deras hingga membasahi janggutnya. Memohon dan
berharap dihadapan Rabb-nya, atas keteguhan iman bagi agama yang dicintainya
dengan segenap jiwa dan raganya.
“Hashbunallah wa
ni’mal wakiil..” (cukuplah Allah menjadi penjaminku..), duhai.. demikian
rintih munajatnya selalu. La Tenri Ruwa, seorang Raja Besar yang mendapatkan
limpahan cahaya Islam, kemudian menerimanya dengan sepenuh hati. “Duhai..,
betapa gemilangnya cahaya ini. Risalah kebaikan yang tiada cacat celahnya
sedikitpun..”, kata hatinya dengan penuh takjub dan syukur. Namun rakyatnya
menolak cahaya itu, terlebih para menterinya. “Apalah gunanya menerima risalah
asing itu ?. Apalagi jika itu memaksa kita untuk meninggalkan tradisi leluhur,
apakah itu bukan suatu bentuk kedurhakaan ?!”, demikian kiranya kegelisahan
Rakyat Tana Bone kala itu. Maka La
Mallalengeng To Allaungeng yang mewakili segenap rakyat Tana Bone
mengajukan petisi, “ HaE, Batara
Tungke’na Tana Bone, pilEi salasEddinna iyaE dua tessitonraE, Asellengengmu
iyarE’ga Tana Akkarungengmu !” (Wahai, Pertuanan Tunggal Kerajaan Bone,
pilihlah salahsatu dari dua hal yang bertolak belakang, Agama Islam-mu ataukah
Tahta Kerajaanmu !).
La Tenri Ruwa Raja yang malang, sekaligus manusia yang
diberkati. Barulah tiga bulan menduduki tahta “ArumponE”, kini haruslah
menghadapi pilihan yang sesungguhnya hati kecilnya pastilah menginginkan
keduanya. Siapakah sesungguhnya orang besar ini ?
NAZAB DAN KETURUNANNYA
Baginda La Tenri Ruwa adalah generasi ke-8 dari La
MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang ArumponE I. Beliau adalah putera La
Saliu Arung Palakka dengan I LEppeng (puteri La Ulio Bote’E MatinroE ri
Itterrung ArumponE VI bin La Tenrisukki MappajungngE ArumponE V dengan We Tenri
WEwang Arung Pattiro), sehingga iapun adalah cucu langsung La Tenrisukki MappajungngE
pula. Kemudian sesungguhnya ayah dan ibunya bersepupu dua kali (siala massappo
wEkkadua).
La Saliu Arung Palakka adalah putera I MangampE Walida
MaddanrengngE ri Palakka dengan La GomEng.
I MangampE Walida Maddanreng Palakka adalah puteri La Tenrigerra’
Datenripala (saudara kandung La Tenrisukki MappajungngE ArumponE V) dengan We
Tenrisuppala Ana’na Arung Mampu.
La Tenrigerra’ Datenripala dan La Tenrisukki MappajungngE
ArumponE V adalah putera We Barigau’ MakkalempiE Petta MallajangngE ri Cina
ArumponE IV dengan La Tenribali Arung Kaju.
Kedua suami isteri ini juga adalah bersepupu sekali (siala massappo
siseng) karena ayah We Barigau’ MakkalempiE, yakni La Saliu KerrampElua’
ArumponE III bersaudara kandung dengan We Tenripappa, ibunda La Tenribali Arung
Kaju.
Halnya dengan We Barigau’ MakkalempiE Petta MallajangngE ri
Cina ArumponE IV (Ratu yang Mairat di Cina dalam tahun 1516 M), adalah puteri
La Saliu KerrampElua’ ArumponE III dengan We Tenri Roppong Ana’na Arung
Paccing.
La Saliu KerrampElua’ ArumponE III adalah putera We Pattanra
Wanua dengan La Pattikkeng Arung Palakka. Baginda inilah yang terkenal memiliki
rambut yang lebat dan berdiri kaku sejak lahirnya, sehingga dijuluki : Petta
KarampElua’E (Pertuanan kita yang berdiri rambutnya). Ia pula yang ditetapkan
sebagai Putera Mahkota sesaat setelah lahirnya, oleh pamandanya sendiri, yakni
: La Ummase’ Petta PanrEbessiE MulaiyyE Panreng ArumponE II (saudara kandung We
Pattanra Wanua).
We Pattanra Wanua dan La Ummase’ Petta PanrEbessiE adalah
putera puteri La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang Mangkau’E ri Bone I
dengan We Tenri Wale’ ManurungngE ri Toro’. Kedua suami isteri “manurung” ini
adalah pendiri Kerajaan Bone.
Menelusuri nazabnya dari bawah keatas, maka mutlaklah jika
La Tenri Ruwa adalah Pangeran Palakka sejati serta juga Pangeran Pattiro.
Olehnya itu, sebelum dinobatkan menjadi ArumponE, beliau terlebih dahulu
menduduki tahta “Arung Palakka”. Kemudian baginda dinikahkan dengan sepupu
sekalinya di Soppeng, yakni : We Tenri LEkke’ Baji’ LEmbaE Datu Mario ri Wawo
(puteri We Tenri Pauwang dengan La Makkarodda To Tenribali MabbEluwa’E Datu
Mario ri Wawo bin LA WAniaga To Makerra Arung Bila). We Tenri Pauwang adalah
saudara kandung I LEppeng, ibunda La Tenri Ruwa.
Pernikahan La Tenri
Ruwa Arung Palakka dengan We Tenri LEkke’ Baji’ LEmbaE Datu Mario ri Wawo,
melahirkan puteri, yakni : We Tenri Sui Datu Mario.
We Tenri Sui Datu Mario dinikahkan dengan La Pottobunne’
Arung Tana Tengnga (putera La Wawo Arung Tana Tengnga Toa dengan We Tenri
Cemmareng DagaE Arung Ganra binti La Sekati To Soangmegga Datu Soppeng XI),
melahirkan putera-puteri, sbb :
1.
La Tenri Tatta DaEng SErang To Erung Arung
Palakka Toappatunru’ Datu Mario ri Wawo To Unru Sultan Sa’aduddin Petta
MalampE’E Gemme’na Datu Tungke’na Tana Ugi MatinroE ri Bontoala’ ArumponE XV
(Petta To RisompaE),
2.
We TenriEsa’ DaEng Upi MappolobombangngE
MaddanrengngE ri Bone, dinikahkan dengan La Pakkokoi To AngkonE Petta
TadampaliE Arung Ugi Arung Timurung
MaddanrengngE ri Bone (La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh MatinroE ri Bukaka
ArumponE XIII dengan We Hadijah I Dasenrima binti La Pakallongi To Allinrungi
Arung Matoa Wajo XV/XVII), melahirkan : La Patau’ Matanna Tikka Sultan
Alimuddin Idris Arung Palakka Petta Ranreng Tuwa Wajo MatinroE ri Nagauleng
Datu Soppeng XVIII ArumponE XVI).
3.
We Kacumpureng I Tenri Girang Daumpi Datu ri
Mari-Mari menikah dengan To Dani Arung Bakke’ Datu Citta Arung LEtta Addatuang
SidEnrEng IX (XIII ?) Arung Rappeng XII Addatuang Sawitto XIV (Datu Ajattappareng),
4.
La Tenri Gerra’,
5.
La Onggo’,
6.
We Tenri Abang DaEng Ba Datu Mario ri Wawo
menikah dengan La Mappajanci Sultan Ismail Datu TanEtE, melahirkan We PattEkE
Tana Datu TanEtE.
Selanjutnya,
Sejarah Sulawesi Selatan mencatat bahwa keturunan ke-enam putera puteri La
Tenri Ruwa diatas yang kemudian menjadi Raja dan Ratu diseluruh kawasan TelluE
Cappa’gala (Luwu, Bone dan Gowa), TellumpoccoE (Bone, Wajo dan Soppeng), LimaE
Ajattappareng, Barru, TanEtE, PangkajEnE, Marusu, Tellu LimpoE (Bulo-Bulo,
Lamatti dan Tondong) dan segenap daerah lainnya hingga di tanah Mandar.
Kiranya
inilah balasan yang pantas bagi mukmin yang istiqomah dengan semata-mata
berharap pada rahmat Tuhannya Yang Maha Pengatur Takdir bagi segenap
ciptaan-Nya.
KETEGUHAN
IMAN SEORANG MUALLAF
Dalam
tahun 1611, La Tenri Ruwa Arung Palakka dinobatkan menjadi ArumponE XI,
Mangkau’ (penguasa) bagi Kerajaan BonE beserta segenap negeri takluknya.
Baginda menggantikan sepupu sekalinya yang terlebih dahulu masuk Islam hingga
wafat sesaat setelah mengucapkan ikrar syahadatain, yakni : We Tenrituppu
MaddussilaE MatinroE ri SidEnrEng ArumponE X (puteri La Pattawe’ DaEng SErang
MatinroE ri Bettung ArumponE IX dengan We Dala Lipu Arung Mampu).
Belumlah
genap tiga bulan menjalankan roda pemerintahan Tana Bone, tibalah Raja Gowa (I
Manggarangi DaEng Mangrabia Sultan Alauddin Sombayya Gowa XIV) beserta segenap
angkatan perangnya di Bone. Maksud kedatangan mereka, yakni misi pengislaman
dengan sebelumnya telah berhasil mengislamkan SidEnrEng, Soppeng dan Wajo.
Mereka membangun benteng pertahanan di kawasan PallettE dan Cellu’.
Setelah
merasa bahwa kedudukan pertahanannya sudah cukup kokoh, Sombangta Gowa menemui
ArumponE La Tenri Ruwa, seraya menyampaikan syiar Islam dengan segenap
pengetahuannya tentang risalah tersebut, dimana uraian itu sangat berkesan
dihati La Tenri Ruwa. Maka berujarlah La Tenri Ruwa kepada segenap petinggi
kerajaannya, sebagaimana dikutip sebagai berikut :
“Kalian telah mengangkat saya menjadi Mangkau’ untuk membawa Bone kepada
jalan yang baik. KaraEngngE ri Gowa datang membawa Agama Islam yang menurutnya
adalah kebaikan, sesuai dengan perjanjian kita yang lalu, (bahwasanya ; pen) siapa yang mendapatkan (menemukan ;
pen) kebaikan, dialah yang
menunjukkan jalan. Oleh karena itu, saya mengajak kalian untuk menerima Islam”.
KaraEngngE ri Gowa berkata ; “Menurutku, Islam adalah kebaikan dan dapat
mendatangkan cahaya terang bagi kita. Oleh karena itu, saya berpegang pada
Agama Nabi. Kalau engkau menerima pendapatku, maka Bone dan Gowa akan menjadi
besar untuk bersembah kepada DEwata SEuwaE (Allah SWT)”.
Berkata lagi Arumpone kepada orang banyak ; “Kalau kalian tidak menerima
baik maksud KaraEngngE padahal dia benar, dia pasti memerangi kita dan kalau
kita kalah, berarti kita menjadi hamba namanya. Tetapi kalau kalian menerima
dengan baik, kita dijanji untuk berdamai. Kalau kita melawan, itu adalah wajar.
Jangan kalian menyangka bahwa saya tidak mampu untuk melawannya”.
Ketika itu semua orang Bone menolak Islam. Arumpone La Tenri Ruwa hanya
diam, karena dia sudah tahu bahwa orang Bone berpendapat lain. Pergilah
ArumponE ke Pattiro dan hanya diikuti oleh keluarga dekatnya. Sesampainya di
Pattiro, ia mengajak lagi orang Pattiro untuk menerima agama Islam. Ternyata
orang Pattiro juga menolak (Lontara Akkarungeng Bone)
Sekilas
membaca catatan kejadian dari kutipan Lontara Akkarungeng Bone (milik Drs. Andi Amir Sessu) diatas, maka
didapati kesesuaian dengan Lontara Wajo (Andi Paramata dkk. 1975:18), bahwa
Arumpone XI yang bernama La Tenri Ruwe MatinroE ri BantaEng secara pribadi
lebih dahulu telah menerima Islam sebagai agamanya, sebelum Butta Gowa melancarkan
perang (Mattulada : 1998). Maka sesungguhnya, upaya La Tenri Ruwa untuk
menerima Islam dihadapan Raja Gowa, bukannya untuk “menghindari perang bagi
rakyatnya”, melainkan karena Baginda telah menjadi Islam terlebih dahulu,
bahkan kemungkinan sebelum beliau dinobatkan menjadi Raja Bone.
Sementara
Baginda La Tenri Ruwa di Pattiro, maka berhimpunlah rakyat Bone yang dipimpin
oleh Dewan Hadat Ade’ PituE. Mereka sepakat untuk memakzulkan La Tenri Ruwa
dari tahtanya sebagai ArumponE, karena dipandang menyalahi ketetapan adat
kebersamaan Tana Bone. Maka menghadaplah La
Mallalengeng To Allaungeng sebagai perwakilan Rakyat Bone yang dilegitimasi
Dewan Ade’ PituE, seraya berkata :
“Saya
disuruh oleh orang Bone untuk menyampaikan bahwa, bukan lagi orang Bone yang
menolak engkau sebagai Mangkau’, tetapi engkau sendiri yang menolak kami semua,
karena pada saat Bone menghadapi musuh besar, engkau lalu meninggalkannya !”.
Menjawablah
La Tenri Ruwa :
“Saya
menyangkal bahwa saya meninggalkan orang Bone, saya hanya menunjukkan jalan
kebaikan dan cahaya yang terang. Tetapi kalian tidak mau mengikutinya dan lebih
suka memilih jalan kegelapan. Makanya saya pergi memilih jalan kebaikan dan
cahaya yang terang itu, jalan yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya”.
Namun
apa boleh buat, Baginda La Tenri Ruwa haruslah memilih opsi yang diajukan oleh
Rakyat Bone melalui To Allaungeng. Maka tanpa ragu, baginda memilih Islam
diatas segalanya. “Naiyya Lino, simata wanua lEppa-lEppangengmi bawang, manguju
ri wanua mannessaE ri AhE’ra” (sesungguhnya dunia, tiada lainya hanyalah negeri
persinggahan belaka, dalam rangka perjalanan menuju negeri yang nyata di
akhirat kelak).
La
Tenri Ruwa kemudian mengutus salah seorang keluarga dekatnya menemui Raja Gowa
di PallettE, untuk menjelaskan kejadian yang baru saja dialaminya itu. Maka
Raja Gowa pun memerintahkan KaraEng Pettu beserta pasukan secukupnya untuk
menemui La Tenri Ruwa di Pattiro. Namun baru saja bertemu mantan Raja Bone itu
di Salassa’E Pattiro (Istana Pattiro), tiba-tiba tempat itu sudah dikepung oleh
rakyat Pattiro dan Sibulu’E. Lalu dengan kawalan orang-orang Gowa, La Tenri
Ruwa dan segenap keluarganya menyingkir ke Gunung Maroanging.
Lontara
Akkarungeng Bone menggambarkan betapa sulitnya keadaan La Tenri Ruwa ketika itu,
dimana sesungguhnya ia tidak memiliki kekuasaan apa-apa lagi selain keluarga
dan imannya. Beliau kini tiada lain adalah Raja Bone yang dilengserkan, yang
tersisa tinggal gelar sebagai pangeran Pattiro, Palakka dan AwangponE serta
gelar isterinya sebagai Ratu di Mario ri Wawo (Soppeng). Hal yang sesungguhnya
tiada lain hanyalah gelar belaka, tanpa kekuasaan apa-apa. Harga suatu
keteguhan akan keyakinan !.
Hingga
setelah kejadian pemakzulan itu, tiga tokoh besar berikrar di Tanjung PallettE.
Mereka adalah Sombangta Gowa, KaraEng Matoaya Tallo’ dan La Tenri Ruwa.
Mengucap ikrarlah Sombangta Sultan Alauddin dan KaraEngta Sultan Awwalul Islam
(KaraEng Tallo), bahwa : “Inilah yang dipersaksikan kepada Dewata SEuwwaE
(Tuhan Yang Maha Tunggal) bahwa, bukanlah keturunan KaraEngngE ri Gowa dan
KaraEng Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu. Kalau ada kesulitan yang
engkau hadapi, bukalah pintumu untuk kami masuk pada kesulitan itu.”.
Menjawablah
La Tenri Ruwa : “Wahai KaraEng, ikat padiku tidak akan terbuka, tidak sempurna
pula kehidupanku dan apa yang ada dalam pikiranku. Kalau ada kesulitan yang
menimpa Tanah Gowa, biar sebatang bamboo yang dibentangkan, kami akan
melaluinya untuk datang membantumu sampai kepada anak cucumu dan anak cucuku,
asalkan tidak melupakan perjanjian ini”.
Pada
masa itulah, Sombangta Gowa menggelar La Tenri Ruwa sebagai : La Tenri Ruwa
Arung Pattiro “Adamulmarhum Kalinul Awalul Islam” yang kemudian disingkat
“Sultan Adam”. Lima hari kemudian, Pasukan Gowa menyerbu pusat kekuasaan Tana Bone,
dimana Dewan Ade’ PituE memimpin perlawanan rakyat, menahan gempuran itu.
Namun, pasukan Gowa beserta segenap sekutunya terlalu berat dilawan oleh
lasykar Bone yang tanpa kesatuan pimpinan itu. Watampone dibumi hanguskan, maka
menyerahlah para pemimpin lasykar Bone yang kemudian menerima pula Agama Islam.
Sepeninggal
Sombangta Gowa dan KaraEng Tallo beserta segenap balatentaranya, maka tiadalah
tempat bagi La Tenri Ruwa, mantan Raja Bone di negerinya sendiri. Dewan Ade’
PituE kemudian mengangkat seorang Raja Bone yang baru, yakni : La Tenri Pale’
To AkkeppEang Arung Timurung. Maka baginda La Tenri Pale’ beserta segenap
keluarganya meninggalkan Tana Bone, menuju ke Tana Su’ (Makassar). Disanalah
beliau memperdalam Ilmu Agama Islam pada Dato’ ri Bandang. Selanjutnya,
Sombangta Gowa menyampaikan titah agar Sultan Adam dan keluarganya dapat
memilih salahsatu negeri Wilayah Butta Gowa sebagai pemukimannya yang baru.
Maka La Tenri Ruwa memilih negeri BantaEng untuk menetap hingga wafatnya.
Akhirnya, baginda pun mendapat gelar anumertanya, yakni : La Tenri Ruwa Sultan
Adam Petta MatinroE ri BantaEng.
AKHIR
IKRAR MANUSIA
“Ketetapan
manusia hanyalah suatu rencana belaka, namun perwujudannya kemudian adalah
Kuasa Allah semata”. Kiranya itulah perwujudan dari ikrar ketiga raja yang
diuraikan diatas, bahwa : “.. bukanlah keturunan KaraEngngE ri Gowa dan KaraEng
Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu, dst..”. Ikrar itu diucapkan dalam
tahun 1611. Namun 35 tahun kemudian, dalam tahun 1646 I Manuntungi DaEng
Mattola Sultan Malikussaid Sombayya Gowa XV menawan anak cucu MatinroE ri
BantaEng, sebagai tawanan perang PassEmpe’.
Salahseorang
puteri Baginda Sultan Adam yang paling merasakan pahitnya perlakuan putera
Sultan Alauddin itu, adalah : We Tenri Sui Datu Mario. Ia dan suaminya serta
putera puterinya dijadikan tawanan perang ke Gowa. Suaminya, yakni : La
Pottobunne’ Arung Tana Tengnga dijadikan abdi pemegang tombak oleh KaraEng
Karunrung. Kemudian beliau terpaksa harus meregang nyawa setelah ia memberontak
pada “Tuannya” akibat tidak tahan melihat kesewenangan KaraEng Karunrung
terhadap para pekerja paksa dari Bone dan Soppeng. Tombak yang dipegangnya
dipakainya mengamuk sejadi-jadinya. Namun pada akhirnya iapun harus kena
ringkus tak berdaya oleh pasukan Gowa. Akhirnya iapun dihukum mati dengan
ditusuk tombak pada mulutnya, menembus tenggorokan hingga organ dalamnya.
Kematian yang tragis dan menggenaskan dialaminya, setelah sebulan sebelumnya
ayahnya (La Wawo Arung Tana Tengnga Toa) dihukum mati pula dengan cara diikat
didalam lesung, lalu ditumbuk alu ramai-ramai sampai mati.
Hukuman
mati atas diri Arung Tana Tengnga yang terjadi dalam bulan September 1660 itu,
amat menggores pedih menjadi luka hati yang dalam bagi puteranya, yakni : La
Tenri Tatta DaEng SErang (Mattulada ; 1998). Pada suatu malam yang tenang,
Pangeran muda yang bergelar Datu Mario itu mengucap sumpah untuk menuntut bela
terhadap kematian ayah dan kakeknya yang mengerikan, serta penderitaan rakyat
Soppeng dan Bone dibawah kekejaman penguasa Gowa kala itu. Sumpah yang amat
berat dan mengerikan pula, yakni : Tidak akan memotong rambutnya sebelum
menegakkan martabat kebesaran Bone dan Soppeng. Selain itu ia akan menghaturkan
Sokko Pitunrupa (Nasi Ketan 7 macam) setinggi Gunung Cempalagi dan membuat
banjir darah setinggi lutut di Makassar, darah para bangsawan tinggi Gowa dan
Tallo !. Inilah kemudian yang menjadi babak awal Perang Makassar (1666 – 1669),
perang terhebat yang pernah terjadi di Nusantara dan menjadi babak permulaan
masuknya kekuasaan VoC di Sulawesi Selatan.
Sejarah
terus berputar, buah ikrar itu kemudian berbuah manis pula. Keturunan La Tenri
Ruwa Sultan Adam, I Manggarai DaEng MammEta Sultan Alauddin dan I Malingka’an
DaEng Nyonri Sultan Awwalul Islam kemudian menyatu jua. La Patau’ Matanna Tikka
Sultan Alimuddin Idris Arung Palakka Petta Ranreng Tuwa Wajo MatinroE ri
Nagauleng Datu Soppeng XVIII ArumponE XVI (Generasi IV La Tenri Ruwa Sultan
Adam) menikah dengan I Mariama KaraEng Pattukangan (Generasi VI Manggarangi
Sultan Alauddin). Mereka menurunkan generasi-generasi berikutnya yang silih
berganti menjadi pemimpin ketiga negeri (Gowa, Bone dan Soppeng). Salahseorang
putera mereka, yakni : La Pareppa’I To SappEwali Sultan Ismail Sombayya Gowa XX
Arumpone XIX Datu Soppeng XX (Generasi V La Tenri Ruwa Sultan Adam dan Generasi
VII I Manggarangi Sultan Alauddin) menikah pula dengan I Gumittiri (Generasi VI
Malingkaan Sultan Awwalul Islam KaraEng Tallo’ dan Generasi VII I Manggarangi
Sultan Alauddin). Maka menyatulah darah para sekutu yang berikrar namun
turunannya kemudian sempat saling menumpahkan darah itu. Sesuatu yang
menyisakan keluhuran dan kearifan sejarah, sebagaimana yang disebut : Manguru
Wija-Wija (Menyatu Keturunan).
Duhai,
segenap Datu Puengta dan para KaraEngta, semoga mendapat ampunan dan rahmat tak
terputus bagimu dan segenap anak keturunanmu, Insya Allah. Amin yaa Robbal
Alamin.
Nun
wal Qolami wamaa’ tasturuuwn, wabillaahi taufiq wal hidayah..
Wallahualam
Bissawwab.