MENDULANG KELUHURAN DARI ADE’
PURANRONA SIDENRENG
By. La Oddang
“History is about peoples”, kata Ernest Hemingway. Bahwa
penulis dan pelaku sejarah pada latar Perang Dunia II tersebut memaknai
pengalaman kesejarahan berdasarkan prilaku dan waktu. Maka bagaimana kiprah dan
prilaku kita hari ini, begitu pula waktu menuliskan atas dasar penilaian
orang-orang sekitar kita, sebagaimana kemudian dibaca dan ditelaah oleh
generasi mendatang.
Bahwa cendekiawan NEnE Mallomo To MulaE DEcEng ri SidEnrEng
kemudian menorehkan kiprahnya yang dapat ditelaah hingga pada masa ini, yakni :
“ade’ puraonrona SidEnrEng, iyanaritu :
Ade’ MappuraonroE, Wari rialitutui, janci ripEasseri na rapang ripasanrE.”
(Adat Ketetapan Sidenreng, yaitu : Adat yang telah ditetapkan berdasarkan
kesepakatan, Pranata yang terpelihara, Janji yang dikuatkan dan Sejarah yang
tak terabaikan). Kemudian para cendekiawan pada masa-masa setelah masuknya
syiar Islam di Sidenreng menambahkan ke-4 azas tersebut dengan tidak merubah
nilai-nilainya, yakni : Naiyya
natettongiE limampuangngE ade’ puraonrona SidEnrEng, iyanaritu : Ade’
MappuraonroE, Wari rialitutui, janci ripEasseri, rapang ripasanrE, na agama
ritanrErE berre’” ( Bahwa yang menjadi dasar dari Lima pilar Adat Ketetapan
Sidenreng, yaitu : Adat yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan, Pranata
yang terpelihara, Janji yang dikuatkan, Sejarah yang tak terabaikan dan Agama
yang ditinggikan).
Mencermati perkembangan azas dari masa Pra-Islam ke masa
Pasca Islam tersebut, maka sesungguhnya nilai-nilai yang menjiwai “Ade’
Puraonrona Sidenreng” sesungguhnya tidak ada yang berubah, namun ditambahkan
nilai “Sara’” (Syariat Islam) sebagai penguat ke-4 Pilar sebelumnya. Hal yang
sesungguhnya mestilah telah diperhitungkan dengan cermat oleh penggagasnya,
bahwa azas-azas tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan seluruh azas
kebaikan dari segala zaman. Maka kemudian, Ade’ Puraonrona Sidenreng dipertegas
sebagai suatu ketetapan yang senantiasa berpihak kepada pemenuhan azas keadilan
dan kerakyatan, yakni : Bicara malempu na gau’ patuju , pangkaukeng
tongeng, winru sitinaja, pabbatang masse’ dEcEng mallebbangngE (Perkataan
jujur yang diselaraskan dengan perbuatan, Prilaku yang senantiasa berpedoman
kepada kebenaran, Tindakan yang senantiasa berkesesuaian, Kelembagaan yang
kokoh dengan senantiasa menyuarakan kebaikan bagi semuanya).
Selain dari azas yang dibentengi dengan penegasan terhadap
visi kemaslahan umum tersebut, maka dilapisi pula dengan lapisan lain yang
semakin menguatkannya, yakni : Taro Bicaranna
Sidenreng (Ketetapan Hukum Sidenreng), yaitu : “Malukkaa’ taro Datu, temmalukka taro ade’. Malukkaa’ taro ade’,
temmalukkaa’ taro anang. Malukkaasi taro anang, temmalukkaa’ taro maranang”
(Ketetapan Raja dapatlah dibatalkan, namun ketetapan adat tidaklah terbatalkan.
Ketetapan Adat dapat pula dibatalkan, namun ketetapan rumpun keluarga tidaklah
terbatalkan. Ketetapan rumpun keluarga-pun dapat dibatalkan, namun ketetapan
Rakyat tidaklah terbatalkan).
Pada ke-5 Azas yang menjadi pilar “Ade Puranrona Sidenreng”
sebagaimana dikemukakan diatas, maka 2 diantaranya yang senantiasa disesuaikan
dari zaman ke zaman, yakni : Wari rialituti dan Rapang RipasanrE, sebagaimana
diuraikan sebagai berikut :
1. Wari rialitutui (Pranata yang terjaga)
Bahwa “pranata” bukan semata
dimaksudkan sebagai “pembeda” antar lapisan masyarakatnya, melainkan
menciptakan tatanan keorganisasian (organization chart) dalam mewujudkan
ketertiban umum. Hal yang menggambarkan bahwa masyarakat yang sejahtera
mestilah terdiri dari masyarakat yang tertib dan terpimpin menurut nilai
tradisinya masing-masing. Maka dalam mewujudkan ini, senantiasa diberlakukan
atribut-atribut kewenangan dan tanggung jawab yang disertai tata protokoler
yang terjaga.
Kerajaan Sidenreng sebagai
Kerajaan Terkemuka diantara ke-4 Kerajaan dalam wilayah Ajatappareng lainnya
senantiasa mengemukakan Wari sebagai bias dari penerapan “bicara” (hukum) yang
diberlakukan dalam wilayahnya. Bahwa salahsatu yang menjadi tolak ukur daripada
kebesaran suatu Kerajaan pada masanya, yaitu : Sipakalebbi’E ri Bali Boccona (Saling Memuliakan antar Hubungan
Bilateral) sebagai bagian terpenting dalam penerapan “Ade’ Maraja”.
Salahsatu fakta yang tereverensi
menyangkut perihal tersebut adalah ketika Addatuanta
La Cibu sendiri menyonsong ArumponE BessE’ Kajuara untuk
mengundangnya masuk kedalam wilayah kekuasaannya. Padahal dari segi silsilah,
BessE’ Kajuara sesungguhnya adalah kemenakan dari Addatuanta yang bijak
tersebut. Apalagi jika dipikir bahwa BessE
Kajuara pada masa itu adalah seorang “Penguasa” yang kalah perang dan
membutuhkan perlindungan. Namun tatanan “wari” tidaklah memandang situasi dan
kondisi karena selalu dijiwai dengan “pessE” (solidaritas kemanusiaan) dan
“getteng” (kedisiplinan yang teguh) pada nilai “Siri” (Harkat dan Martabat).
Pada masa kemerdekaan ini, setiap
bekas kerajaan masih meninggalkan nilai tradisi Wari sebagai pertanda kebesaran
masa lalu. Salahsatu yang masih dapat dilihat dalam hal ini adalah tradisi
“Massobbi” atau “Mattampa Bali Datu” (penyampaian undangan perhelatan kepada
sesama Raja) . Bahwa mengundang seorang berderajat “Datu/Bau” senantiasa
diantarkan sendiri oleh pemuka rumpun keluarga yang hendak melaksanakan
perhelatan sejumlah 12 (dua belas) orang, terdiri dari 6 lelaki dan 6 perempuan
yang kesemuanya mengenakan baju adat lengkap. Kemudian pemilihan hari
menyampaikan undangan tersebut senantiasa minimal 12 hari sebelum hari
pelaksaan perhelatan.
Selain dari penyampaian undangan
tersebut, hal yang tidak kalah pentingnya adalah penyambutan dan menempatkan
para tamu terhormat tersebut sebagaimana layaknya. Maka setiap perhelatan jika
hendak menjaga/melestarikan “wari” senantiasa menyiapkan protokoler yang biasa
disebut di Sidenreng sebagai
“pattumaling” atau “pappatudang”.
Suatu hal yang “miris”
dikemukakan disini, yakni pada beberapa waktu yang lalu, seorang sepupu penulis
yang diundang dalam suatu acara perhelatan kerajaan Bugis sebagai perwakilan
dari Kedatuan Pammana. Beliau bermalam di rumah penulis dengan harapan agar
tidak terlambat menghadiri acara perhelatan yang sedianya dilaksanakan pada jam
9.00 Wita, menurut yang tertera pada undangan. Pagi-pagi sekali beliau YM.
Perwakilan Datu Pammana sudah mengenakan busana adatnya secara lengkap kemudian
berangkat menuju tempat acara. Namun 1 jam kemudian beliau kembali ke kediaman
kami dengan wajah keruh, menggambarkan kekecewaan. Hal yang tidak disangkanya,
ketika tiba di tempat acara berlangsung menurut undangan, ternyata acaranya
digeser pada malam hari disebabkan hal yang tidak dapat saya sampaikan disini.
Namun terlebih-lebih mengecewakan, ketika beliau bertanya pada beberapa orang
yang “menurutnya” adalah “panitia acara” perihal acara tersebut, “orang yang
ditanya” tersebut berteriak : “Tidak jadiki, Pak ! Malampi kita dating !”.
Subhanallah, seorang perwakilan DATU PAMMANA
Yang Mulia diperlakukan demikian dalam suatu perhelatan adat.
Tiada lain yang dapat dikatakan
oleh “Perwakilan Kedatuan Pammana” tersebut kepada kami , yaitu : “Tania Gau’
Arajang, ndi’.. ORGANISASI KEPEMUDAAN ji palE’na”. Penulis hanya bisa terpana
dan bertanya-tanya dalam hati, “Memang apa saja yang hendak dilestarikan selain
NILAI SIPAKALEBBI ?”. Sedangkan “Bali Arungna” saja tidak dimuliakan, bagaimana
lagi dengan khalayak Sesama ANAK NEGERI-nya sendiri ?, Wallahualam.
Bahwa tidaklah mungkin
melestarikan semua nilai-nilai lama dengan
tidak mengkondisikan dengan situasi dan kondisi masa sekarang. Namun ada
hal-hal tertentu yang tidak boleh tidak haruslah dilestarikan menurut kebiasaan
lama. Sebagai contoh : Jika pada jaman dulu, 12 orang naik kuda atau bendi
untuk menempuh perjalanan mengantar undangan ke Kerajaan Sahabat, namun
sekarang tentulah mengendarai mobil. Maka sesungguhnya kondisi masa sekarang
ini jauh lebih mudah untuk melaksanakan “gau’ sipakalebbi “ tersebut. Namun ada
saja yang mengatakan : “Lain dulu, Lain sekarang”. Tetapi apakah tidak “riskan”
jika pengedaran undangan pengantin saja menuruti ketentuan tersebut, sementara
“perhelatan Adat Kerajaan” tidak dilaksanakan ?.
Hal lain yang tidak dapat
diabaikan dalam pelestarian nilai-nilai lama menyangkut tata pranata dalam
suatu adat kerajaan adalah “tata tertib berbusana”. Terkadang didapati “para
hadat kerajaan” berfoto bersama dengan posisi yang sama, padahal diantara
mereka sesungguhnya ada monarki. Semisalkan “songkok pamiring” antara “Arung
Palili” (Raja Bawahan) yang tetap “berdiri tegak” sementara disampingnya ada
pula “Datu Maraja” (Raja Pertuanan). Padahal semestinya songkok Arung Palili
tersebut haruslah dimiringkan kebelakang atau kesamping. Demikian pula
dengan pemasangan keris Arung Palili,
mestilah gagangnya ditutupi jika Raja Pertuanannya berada disekitarnya. Maka
kiranya inilah yang dimaksud dengan “Maggau’ Sitinaja” (melaksanakan
sebagaimana layaknya). Hendaknya diberlakukan skala prioritas, mana yang masih
bisa dilestarikan dan mana yang sudah tidak perlu.
2. Rapang Ri PasanrE (Sejarah Yang Tak Terabaikan)
Sejarah
menulis jatuh bangunnya seseorang, keluarga, kaum, umat, bangsa dan semua
mahluk. Maka ia adalah ta'wil, cerminan ihwal bagi masa yang akan datang. Maka
bagaimana menyikapi dan memutuskan langkah pasti kedepan, tergantung bagaimana
memaknai sejarah pada saat ini, bersama jati diri yang ditemukan lewat jendela
sejarah.
Sang Guru
mengajarkan sejarah, ia mengutip setiap butir hikmah didalamnya, sebagai ibrah
yang adiguna. Memaafkan dan berlaku adil, begitulah permata sejarah menamakan
dirinya. Menghargai waktu dan arif bagi kehidupan di masa ini, demikian sejarah
senantiasa menunjukkannya. Maka sejarah, sesungguhnya adalah "Ayat
Allah" yang terukir pada sepanjang masa. Maka kehadiran manusia dengan
kiprahnya di dunia fana ini tiada lain adalah memenuhi tugas kesejarahannya sebagaimana diamanahkan ayat
Allah SWT.
Maka dengan ini, perlu dikemukakan
bahwa memaknai sejarah sesungguhnya haruslah melibatkan seluruh disiplin ilmu
yang ada. Memahami sejarah dalam kurun abad terdahulu tidak dapat diterjemahkan
menurut konteks berpikir kekinian. Serta tidak kalah pentingnya, perlu dipahami
bahwa : Sejarah adalah ayat Tuhan, maka perlu pemikiran yang jernih dan adil
untuk memahami ayat Tuhan tersebut. Pada akhirnya, selain dari penalaran dalam
memahami dan menggali nilai kebudayaan masa lalu pada permukaan masa kini,
alangkah baiknya jika didasari pula dengan “skala
prioritas” atau “maggau’ sitinaja”.
Wallahualam
Bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar