Keterangan Gambar :
Dari kiri ke kanan : Penulis, Guru Besar kami Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd (Opu BalirantE Kedatuan Luwu), Dr. Rasyid.
ISHAK MANGGABARANI KARAENG MANGEPPE
ARUNG MATOA WAJO XLIII
PETTA
MATINROE RI PAREPARE,
A.
Latar Belakang
Sejak
paruh kedua abad 19, Tana Wajo senantiasa dilanda kekacauan. Negeri yang
termahsyur sebagai pelopor azas “ade’ ammaradEkang na ade’ assamaturuseng”
(adat kebebasan dan adat kesepakatan) tersebut seakan menjadi negeri tak
bertuan.
Bermula
pada turut sertanya La Pawellangi Petta PajungpEroE Datu Akkajeng Ranreng Tuwa
XXIV dalam perang saudara di Sidenreng pada tahun 1828 1). Peperangan antara La
Panguriseng Sultan Muhammad Ali Addatuang Sidenreng dengan saudara seayahnya,
yakni : La Patongai Datu Lompulle’ Ranreng Talo’tenrEng XX. Kedua saudara
berlainan ibu itu memperebutkan tahta Addatuang Sidenreng, warisan kakek mereka
yaitu : La Pawawoi MatinroE ri SorEang Addatuang Sidenreng.
Hal yang dapat dimaklumi ketika itu,
bahwa turut campurnya La Pawellangi yang sesungguhnya adalah pangeran Wajo dan
Soppeng tersebut adalah didasari karena keduanya memiliki pertalian kekerabatan
yang dekat dengan ibu La Patongai, yakni : WE Muddaria Petta MappalakkaE
Ranreng TalotenrEng XVII. Hal yang kemudian menyeret Tana Wajo dalam situasi
yang riskan karena peperangan tersebut dimenangkan oleh La Panguriseng yang
didukung oleh Gubernemen Belanda di Juppandang (Makassar).
Hingga kemudian, setelah La Pawellangi
Datu Akkajeng dinobatkan menjadi Arung Matoa Wajo XXXIX dalam tahun 1854,
perhubungan Wajo dengan Sidenreng dan pemerintah Gubernemen Belanda adalah kurang
harmonis, mengingat ganjalan persoalan yang lalu dengan La Panguriseng
Addatuang Sidenreng. Terlebih pula perhubungan
dengan Pammana dan segenap pengaruh kekerabatannya yang sesungguhnya adalah
anak negeri Wajo juga tidaklah begitu baik, mengingat La Cincing Akil Ali Datu
Pammana yang merangkap pula sebagai Arung Tellu Latte’ Sidenreng adalah saudara
kandung La Panguriseng. Maka dapatlah dimengerti jika dalam tahun 1859, La
Pawellangi PajungpEroE Datu Akkajeng meletakkan jabatan selaku Arung Matoa Wajo
karena begitu kerasnya tekanan politik dari luar dalam Tana Wajo.
--------------------------------------------------------
1). Menurut Lontara AttoriolongngE TanaE ri Wajo
Pasal 30 yang disesuaikan dengan Lontara Attoriolong ManurungngE ri SidEnrEng Pasal 14 – 15. Bahwa dari
pernikahan pertama La Pasanrangi Muhammad Arsyad Petta CambangngE Arung Malolo
SidEnrEng dengan Petta MappalakkaE,
melahirkan : La Patongai Datu Lompulle’. La Pawawoi MatinroE ri SorEang
Addatuang SidEnrEng XIII senantiasa mengharapkan agar cucu pertamanya tersebut
dipersiapkan menjadi penggantinya dengan memerintahkan agar membawa Arajang
SidEnrEng ke kediaman Petta MappalakkaE. Namun Petta MappalakkaE dan Petta
CambangngE menolak menyimpan pusaka kerajaan tersebut. Hingga ketiga kalinya
pusaka kerajaan itu diantar dan diserahkan kepada mereka, bahkan terakhir
kalinya itu ditolak pula oleh La Patongai Datu Lompulle’. Maka Petta CambangngE
kemudian menikah lagi diPammana, mempersunting We Nomba Arung Lagosi Datu
Pammana, melahirkan : La Panguriseng Muhammad Ali dan keempat saudaranya.
Hingga pada akhirnya, Pemerintah Gubernemen Belanda menyarankan kepada La
Pawowoi yang sudah uzur itu untuk segera menobatkan penggantinya.
Diperintahkanlah Pabbicara Sidenreng untuk menjemput La Patongai di Lompulle’
(Soppeng) untuk diantarkan menghadap ke TomarajaE Tana SElEbEsE (Gubernur Jenderal
Belanda di Sulawesi) di Juppandang (Makassar). Namun untuk kesekiankalinya, La
Patongai Datu Lompulle’ menolak. Maka La Pangurisenglah yang diantar menghadap
ke Juppandang dan disetujui oleh Gubernemen untuk dinobatkan menggantikan
kakeknya sebagai Addatuang Sidenreng. Hingga kemudian pada akhirnya La Patongai
menginginkan kembali tahta Sidenreng setelah wafatnya kakek dan ayahnya.
Tidak begitu lama setelah mundurnya
La Pawellangi Petta PajungpEroE, dinobatkanlah La Cincing Akil Ali KaraEng
MangEppE Datu Pammana Pilla ri Wajo XIV menjadi Arung Matoa Wajo XL. Kemudian
jabatannya selaku Pilla ri Wajo diserahkannya kepada kemenakannya, yakni : La
Cabamba Datu Pammana (putera La ManujEngi KaraEng Katangka). Era
pemerintahannya di Wajo sesungguhnya tidaklah mudah, mengingat terjadinya banyak
perselisihan diantara para pangeran Wajo yang melibatkan pemerintah Gubernemen
Belanda dan Sidenreng. Salahsatu peristiwa yang menjadi tanggungjawab
pemerintah Tana Wajo adalah terbunuhnya seorang sipil Belanda dalam wilayah
hukum Tana Wajo dalam tahun 1867. Adapun pembunuhnya seorang pengikut La Mangkona
To RawE Petta PajumpongaE (putera La Patongai Datu Lompulle Ranreng
Talo’tenrEng XX dengan We Kalara’ Arung BettEmpola XXI) atas suruhan
pertuanannya2). Maka pemerintah Gubernemen Belanda menimpakan hukum
denda yang cukup besar kepada pemerintah Tana Wajo.
Pada tahun 1883, terjadi pula
peristiwa terbunuhnya 41 orang suruhan Addatuang Sidenreng di Belawa yang
adalah wilayah Wajo. Hal yang menyebabkan kemurkaan Addatuang Sidenreng La Sumange’rukka
yang segera memerintahkan Lasykar Sidenreng untuk melancarkan penyerbuan ke
Belawa. Hal yang sesungguhnya menjadi suatu kejadian yang “riskan” bagi La
Cincing Akil Ali Arung Matoa Wajo yang
diperhadapkan pada dilema antara posisinya sebagai Arung Tellu Latte’ Sidenreng
dengan kedaulatan Wajo yang berada ditangannya.
Kekacauan yang tak kunjung reda di
Wajo membuat La Cincing Akil Ali KaraEng MangEppE lebih banyak berdiam di
Parepare dalam kurun waktu 26 tahun masa pemerintahannya. Hingga pada tanggal
12 Oktober 1885, La Cincing Akil Ali KaraEng MangEppE’ Datu Pammana Arung Matoa
Wajo XL yang merangkap Arung Tellu Latte’ Sidenreng berpulang ke Rahmatullah di
Cappa’galung, Parepare. Sebagai penggantinya selaku Arung Tellu Latte’
Sidenreng, ditunjuklah puterinya yang bernama We Sima’tana.
Sepeninggal La Cincing Akil Ali,
ke-39 personal dari Ade’ PatappuloE (hadat 40) mengadakan musyawarah untuk
menobatkan Arung Matoa Wajo ke XLI, pengganti mendiang La Cincing Akil Ali
MatinroE ri Cappa’galung. Akhirnya kesepakatan jatuh pada La Koro Arung Padali
Ranreng TalotenrEng XXI yang segera dinobatkan dalam tahun itu juga. Sementara
jabatannya sebagai Ranreng Talo’tenrEng diserahkannya kepada La Passamula Datu
Lompulle’.
-----------------------------------------------------------
2). Lontara AttoriolongngE TanaE ri Wajo Pasal 30 (salinan A.
Muh. Ridha).
Sebagaimana kemudian Lontara Wajo
memberitakan, kekacauan di Wajo semakin menjadi-jadi dalam era pemerintahan
Arung Padali. Dalam suasana kacau itu, bahkan Sri Baginda sendiri memiliki
lasykar khusus yang sedemikian kuatnya membela kepentingan pribadinya, maka
baginda digelari pula : Batara Wajo 3. Pada akhirnya, para petinggi-petinggi
Wajo membentuk pula klan-klan yang kerap memicu perselisihan diantara mereka.
Diantara perselisihan yang meletup menjadi perang, yakni : perselisihan La
JalantE’ Petta Jinnirala (putera La Koro Batara Wajo) dengan La Tang Petta
Pangulu Barisi’na Belawa. Hingga kemudian pada tanggal 26 Mei 1891, La Koro
Arung Matoa Wajo XLI berpulang ke Rahmatullah.
Kurang lebih setahun setelah wafatnya
La Koro Arung Padali, Dewan Adat Wajo barulah menemukan sosok pengganti yang
sekiranya dapat membawa Tana Wajo menuju suasana damai. Figur yang dipandang
tepat itu adalah La Passamula Datu Lompulle’ yang pada masa itu adalah Ranreng
Talo’tenrEng XXII. Sri Baginda adalah putera mendiang La Patongai Datu
Lompulle’ Ranreng Talo’tenrEng XX, saudara seayah Addatuang Sidenreng La
Panguriseng Muhammad Ali MatinroE ri MassEpE. Maka dinobatkanlah sebagai Arung
Matoa Wajo XLII dalam tahun 1892.
Selama
mengemban amanah selaku Arung Matoa Wajo, La Passamula Datu Lompulle’ dikenal
sebagai Raja yang berbelas kasih terhadap rakyatnya, terutama pada kalangan
rakyat kecil. Salahsatu kebijakannya yang senantiasa dikenang adalah
tindakannya yang menghapuskan “ongko” (klaim pengusaan/monopoli) para Bangsawan
terhadap wilayah-wilayah tertentu pada danau tempe dan sekitarnya. Sri Baginda
menegaskan statemennya yang terkenal, sbb : “Limangrupa appunnanna LaEga ri
TanaE Wajo, iyanaritu : WaE BosiE, WatattanaE, Salo’E, TapparengngE na Tasi’E”
(Lima hal yang menjadi kepunyaan khalayak umum di Kerajaan Wajo, yaitu : Air
hujan, jalanan, sungai, danau dan lautan). Maka Sri Baginda amatlah dicintai
oleh rakyat Tana Wajo. Namun setelah memerintah dengan bijaksana selama ± 5
tahun, La Passamula Datu Lompulle’ berpulang ke Rahmatullah dalam tahun 1897 di
Batu-Batu (Marioriawa, Soppeng). Pada akhirnya, Sri Baginda digelar Petta
MatinroE ri Batu-Batu.
La
Passamula’ Arung Matoa Wajo MatinroE ri Batu-Batu adalah Raja Wajo penutup
dalam kurun abad 19. Memasuki paruh awal abad 20, pemerintahan Kolonial Belanda
memulai menanamkan segenap daya imperialismenya pada segenap kerajaan diseluruh
Nusantara dengan visi yang berbeda dari sebelumnya, sebagaimana yang mereka
sebut sebagai Pax Nederlandica.
-------------------------------------------------------
3). Lontara AttoriolongngE
TanaE ri Wajo menerangkan : “..namuka
punnainna Ewangeng marajana naritellana Batara Wajo”.
Bahwa
perlunya situasi aman dan damai pada seluruh negeri-negeri kawasan Nusantara
dalam naungan Kerajaan Nederland adalah prioritas utama untuk menjamin
lancarnya penanaman modal untuk hasil berkesinambungan. Maka secara otomatis
pula, motivasi perlawanan para patriot Sulawesi Selatan berganti haluan pula.
Jika sebelumnya aksi perlawanan dalam kurun abad 19 adalah bertujuan menolak
bercokolnya kembali kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan pada pasca kekuasaan
Inggris, kini berganti pada penolakan secara total terhadap kehendak Belanda
yang terang-terangan ingin menguasai sepenuhnya sebagai bagian dari Kerajaan
Nederland 4).
Pada tahun
1900, La Pawawoi KaraEng SEgEri ArumponE XXXI memulai perselisihannya dengan
Belanda. Pertentangan itu kemudian mencapai puncaknya dan meletuskan perang
frontal yang dimulai pada tanggal 20 Juli 1905 dan berakhir pada 14 Desember
1906. Perlawanan sengit yang merengut jiwa para putera puteri terbaik Tana
Bone, diantaranya Baso Abdul Hamid Pagilingi Petta PonggawaE yang gugur demi
membela harkat dan martabat bangsanya dengan melindungi keselamatan
ayahandanya, yakni : La Pawawoi KaraEng SEgEri ArumponE XXXI. Demi melihat
puteranya tercinta gugur, ArumponE La Pawawoi menawarkan gencatan senjata dan
selanjutnya ditawan serta diasingkan ke Bandung.
Perlawanan
di Tana Bone rupanya menyulut perlawanan anak negeri pada kawasan lainnya,
yakni kawasan LimaE Ajatappareng yang bermula pada penyerangan Belanda ke
JampuE. Kemudian perjuangan itu akhirnya
menyatu dengan perlawanan Kerajaan Gowa ketika Somba Gowa I Makkulawu Sultan
Husain KaraEng LEmbang Parang memimpin langsung lasykar Gowa memaklumkan perang dengan Belanda pada tanggal
20 Oktober 1905. Sri Baginda Raja Gowa bersama saudaranya (I Mangngimangi
KaraEngta Bontonompo) dan kedua puteranya (I Mappanyukki Datu Suppa dan I
Panguriseng Arung Alitta) meninggalkan Istananya di Jongaya menuju kawasan
Ajatappareng.
Maka dalam
kurun waktu yang sama pada 1905, Belanda menghadapi perlawanan
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan Barat yang antara lain MajEnE (Juni
1905), Sidenreng (Juni 1905) dan Luwu (September 1905). Pada kondisi perlawanan segenap patriot
Sulawesi Selatan dan Barat atas kehendak imperialisme Belanda inilah, berselang
3 tahun setelah wafatnya La Passamula Arung Matoa Wajo MatinroE ri Batu-Batu,
dinobatkanlah Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE sebagai Arung Matoa Wajo
XLIII yang dilantik pada tanggal 11 Pebruari 1900.
--------------------------------------------------------------
4). Sesudah Inggeris mengembalikan pemerintahan
Hindia Timur kepada pemerintah Kerajaan Belanda, Gubernur Jenderal Baron Van
der Capellen tiba di Makassar pada tanggal 4 Juli 1824 untuk berunding dengan
Raja-Raja di Sulawesi Selatan. Pada perundingan tersebut, pihak Gubernemen
Belanda menyodorkan naskah perjanjian “Vernieuwd Bongaisch Contract”
(Pembaharuan Perjanjian Bongaya). Namun sebagian besar Raja-Raja yang hadir
tidak menyetujui perjanjian tersebut, dipelopori oleh La MappangEwa Arung Lompu
(pemimpin delegasi Kerajaan Bone) yang mana dianggapnya tidak berkesesuaian
dengan prinsif kemitraan setara sebagaimana pada awalnya diera pemerintahan
Arung Palakka Petta MalampE’E Gemme’na ArumponE MatinroE ri Bontoala.
Sri Baginda
Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE sesungguhnya adalah bersaudara sepupu
sekali dengan Arung Matoa pendahulunya, yakni : La Passamula Datu Lompulle’
MatinroE ri Batu-Batu. Ayahanda keduanya, yakni : Toappatunru KaraEngta
BEroanging adalah saudara seayah lain ibu dengan La Patongai Datu Lompulle’ Ranreng Talo’tenrEng XX (ayahanda La Passamula dan La Mangkona TorawE Petta PajungpongaE).
Demikian pula dengan perhubungannya dengan Addatuang Sidenreng, Ishak
Manggabarani adalah bersepupu sekali pula dengan La Sadapotto Addatuang
Sidenreng bersaudara. Toappatunru KaraEngta BEroanging (ayahanda Ishak
Manggabarani) adalah bersaudara kandung dengan La Panguriseng Addatuang
Sidenreng MatinroE ri MassEpE.
Kemudian
perhubungannya dengan Somba Gowa, Ishak Manggabarani adalah bersepupu sekali
jua dengan I Malingkaan Dg. Manyongri KaraEngta Katangka Sultan Muhammad Idris
Somba Gowa XXXIII. Ibunda Ishak Manggabarani, yakni : I Madellung KaraEng
TanEtE adalah bersaudara kandung dengan ayahanda Sultan Muhammad Idris, yakni :
I Kumala Sultan Abdul Kadir KaraEng LEmbangparang Somba Gowa XXXII. Maka Ishak
Manggabarani adalah terhitung paman dari Raja Gowa yang berkuasa pada masa itu,
yaitu : I Makkulawu Sultan Husain KaraEng LEmbang Parang Somba Gowa XXXIV
(putera Sultan Muhammad Idris).
Berada dalam
lingkaran kekerabatan dekat dengan para penguasa paling berpengaruh pada
zamannya, disamping pula sebagai raja pada salahsatu kerajaan utama di
Sulawesi, kiranya tidaklah mudah dijalani seorang tokoh besar sejarah sepanjang
zaman. Terlebih pula jika para kerabat penguasa itu memiliki prinsif berbeda
yang disesuaikan dengan kondisinya masing-masing. Namun sejarah pula telah
membuktikan seorang tokoh Ishak Manggabarani mampu memimpin Tanah Wajo yang
kacau balau selama 16 tahun dan tidak tergantikan hingga wafatnya dalam bulan
Maret 1916 di Parepare. Lebih dari itu, mampu memposisikan diri sebagai “Tokoh
Netral” yang dipandangnya demi kebaikan rakyat negeri yang dipimpinnya dengan
mengatur garis kebijakan pokok pemerintahan Tana Wajo dari rumah kediamannya
diluar Tana Wajo, yakni : Parepare. Maka Sri Baginda Ishak Manggabarani adalah
seorang Leader dan Manager brillian yang jauh melampaui zamannya.
B. PANGERAN HARTAWAN
“KaraEng
MangEppE” adalah gelar tahta pertama Pangeran Ishak Manggabarani yang
diwariskan oleh pamandanya yang amat mencintainya, yaitu : La Cincing Akil Ali
KaraEng MangEppE Datu Pammana Arung Matoa Wajo XL MatinroE ri Cappa’galung.
Sebelum
dinobatkan menjadi Arung Matoa Wajo XLIII, Ishak Manggabarani adalah seorang
pangeran yang kaya raya. Hubungan kekerabatannya selaku sepupu sekali Addatuang
Sidenreng dan permaisurinya (La Sumange’rukka Addatuang Sidenreng bin La
Panguriseng dan We Sima’tana Arung Tellu Latte’ Sidenreng binti La Cincing Akil
Ali) adalah sedemikian rapatnya, sehingga aktifitasnya lebih banyak berkiprah
di Sidenreng dan daerah taklukannya.
Tersebutlah
pada abad 19, Kerajaan Binuang dan Tonyamang di daerah Mandar adalah suatu
kawasan yang takluk dibawah perlindungan Sidenreng dan Gubernemen Hindia
Belanda. Suatu kawasan taklukan yang dihibahkan oleh Arung Palakka Petta
MalampE’E Gemme’na kepada Addatuang Sidenreng dalam abad sebelumnya 5).
Maka Addatuang Sidenreng beserta kerabatnya senantiasa memiliki aset berupa
tanah pantai/perkebunan dan persawahan yang luas pada kedua wilayah di Tanah
Mandar tersebut, tidak terkecuali : Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE.
Pada suatu Lontara
Binuang berbahasa Bugis tertanggal 22 Jumadilakhir 1315 H (1894)6),
diuraikan suatu Berita Acara penebusan gadai oleh We Sima’tana dalam
kedudukannya selaku Arung Tellu Latte’ Sidenreng kepada Ishak Manggabarani
KaraEng MangEppE. Bahwa kas Kerajaan Sidenreng pada suatu ketika memerlukan
bantuan keuangan, digadaikanlah Tana Libukeng TengngaE di Tonyamang. Hingga
kemudian ditebus kembali kepada KaraEng MangEppE dengan sejumlah harta : 1.575
keping suku-suku emas, 121 keping ringgit emas dan rupiah emas 32 keping.
Sedemikian kayanya, sehingga mampu memberi bantuan pinjaman lunak kepada
salahsatu kerajaan terbesar di Sulawesi Selatan.
Kiprahnya di
Tanah Mandar senantiasa berkelanjutan, bahkan ketika telah dinobatkan menjadi
Arung Matoa Wajo. Pada Lontara Wari 7) Arung Binuang menguraikan tata pranata
dalam menjamu kunjungan Raja-Raja Besar, diantaranya disebutkan : Petta Arung
MatoaE Manggabarani.
--------------------------------------------------
5). Inhoud
Lontara’ No. 130 (hal. 119-120), Pemda Tk. I Sulawesi Selatan – 1980.
6). Inhoud
Lontara’ No. 130 (hal. 117-118), Pemda Tk. I Sulawesi Selatan – 1980.
7). Inhoud
Lontara’ No. 130 (hal. 120-124), Pemda Tk. I Sulawesi Selatan – 1980.
Pada sumber
lain, bahwa ketika KaraEng MangEppE membuka pemukiman PolEwali (Polman), beliau mengatur kedua
puteranya selaku penguasa kawasan tersebut, sebagaimana disebutkan : 1. I
ParEnrEngi Dg. PabEso KaraEngta TinggimaE Datu Suppa Toa Arung Malolo Sidenreng
Rappang, diarahkan sebagai penguasa kawasan pegunungan (darat), dan 2. I
Bannya’ Dg. Mattawang KaraEngta Jarana’, diarahkan menjadi penguasa pesisir
dengan banyak mencetak empang dan perkotaan pantai.
Hubungannya
dengan penguasa-penguasa sekitar PolEwali sedemikian baiknya, sehingga salah
seorang puteranya dinikahkannya pula dengan puteri I Coma’ Arung Batulappa
sehingga melahirkan La Tenri Arung Batu Lappa. Maka beliau sesungguhnya adalah
seorang Tokoh Pioneer yang bervisi futuristik sehingga sukses berkiprah pada
suatu negeri yang jauh dari kampung halamannya.
Ishak
Manggabarani KaraEng MangEppE’ mestilah seorang tokoh fenomenal yang
berkepribadian kuat dan berkarakter khas. Keunikan cara pandangnya dapat
dilihat ketika menamai putera puterinya dengan nama-nama hewan kesayangannya,
antara lain : I Tedong, I Sapi, I Kiti’, I Bannya’, I Manila, I Burung, I Nuri,
dll. Suatu hal yang tentu saja dimaksudkan bukan sebagai pelecehan terhadap
darah dagingnya, melainkan sebagai “panggilan sayang” kepada turunannya
tersebut. Beliau mestilah seorang yang memiliki kegemaran khusus dalam
berternak dan berkebun.
Semasa
menetap di Wajo, Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE adalah pemilik SaorajaE di
Palaguna, Pammana. Beliau pula memiliki tanah perkebunan dan persawahan yang
luas. Sebagaimana yang dikisahkan oleh orang tua-tua di Pammana, bahwa KaraEng
MangEppE ketika ingin mensurfei tanahnya, haruslah naik perahu melalui danau-danau
kecil di Pammana dari suatu lokasi ke lokasi yang lainnya. Salahsatu
peninggalannya yang masih dapat dilihat hingga kini adalah tanaman sawo yang
banyak tumbuh di Palaguna. Tanaman-tanaman sawo itu diperintahkannya untuk
dibawa dari Gowa untuk ditanam di wilayah Pammana. Hingga pada beberapa tahun
yang lalu, didapati sebatang pohon sawo sebesar sepelukan orang dewasa yang
tumbuh di Palaguna.
Sri Baginda
pula adalah seorang tokoh yang berpandangan universal serta mampu menempatkan
diri pada posisi netral dalam setiap kondisi yang dipandangnya dapat
mendatangkan keselamatan bagi rakyatnya. Walaupun ia bukanlah seorang Pro
terhadap Pemerintah Hindia Belanda namun beliau dapat berhubungan secara normal
dengan kalangan petinggi Gubernemen di Juppandang (Makassar). Bahkan
salahseorang isterinya adalah seorang berkebangsaan Belanda bernama : Nancy
yang melahirkan putera beliau, yakni : K. A. Prins Manggabarani (I Buleng Dg.
Maraja KaraEngta Bontolanra).
C. ARUNG
MATOA WAJO YANG DISEGANI
Sebagai raja
pada Negeri Wajo yang belumlah pulih dari kekacauan berkepanjangan sejak
beberapa Arung Matoa sebelumnya kiranya suatu amanah yang maha berat. Pada
tahun 1905, setelah 5 tahun memangku jabatan tersebut, meletuslah perang antara
Bone dengan Pemerintah Hindia Belanda. Walau melancarkan perlawanan dengan
segenap kekuatan yang ada, namun Raja Bone La Pawawoi dan puteranya (abdul
Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE) tetaplah terdesak sehingga haruslah
menyingkir keluar dari Wilayah Tana Bone sambil menerapkan strategi perang
gerilya. Maka Tana Wajo adalah salahsatu negeri diluar Tana Bone yang membantu
misi penyelamatan ArumponE itu, disamping lasykar Sidenreng dan Gowa yang
dipimpin langsung oleh La Temmupage’ Dg. Parenring Arung Labuaja 8).
Kepemimpinan
Arung Labuaja terhadap pasukan gabungan Wajo, Gowa dan Sidenreng ini dapatlah
dimengerti bahwa pada posisinya, Sri Baginda Ishak Manggabarani tidaklah secara
terang-terangan mengambil langkah permusuhan frontal dengan pihak Pemerintah
Hindia Belanda. Namun membela jiwa La Pawawoi adalah panggilan kewajiban
“pessE” (solidaritas) baginya. Bagaimanapun, mereka adalah sesama turunan La
Toappo Arung Berru Addatuang Sidenreng. Terlebih pula kekerabatan dekat mereka
melalui garis ibunda mereka yang sesama puteri Gowa.
Bantuan
Arung Matoa Wajo ini amatlah berarti bagi ArumponE La Pawawoi. Pada masa
itulah, ArumponE menganugerahi gelar Jenderal Kehormatan Kerajaan Bone kepada
Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE. Kemudian puteranya, yakni : La CapontE’
Dg. Bella yang secara langsung membantu perlawanan ArumponE dilantik pula
sebagai Dulung Pitumpanua9). Pada akhirnya setelah sekian lama
menjadi wilayah Kerajaan Bone, negeri Pitumpanua dapat diraih kembali
menjadi wilayah Tana Wajo berkat usaha
Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE Arung Matoa Wajo XLIII.
------------------------------------------------------
8). Goenawan M. dkk ; Empat Pahlawan Dari
Sulawesi Selatan, Lamacca Press 2004 – Makassar (hal.103). Sementara pada
Lontara AttoriolongngE ri Wajo (salinan) dikemukakan bahwa dukungan Ishak
Manggabarani Arung Matoa Wajo terhadap perjuangan La Pawawoi KaraEng SEgEri
disebutnya : “Nariwettunna Arung Matowa narimusu Bone ri taung 1905. Iya
riwettuE ritu natombongiwi To BonE..”.
9). Pitumpanua
yang mewilayahi Siwa dan Boriko’ sesungguhnya adalah negeri yang dulunya dalam
wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu yang diserahkan sebagai hadiah kepada Kerajaan
Wajo dalam era La Tadampare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo IV pada abad
15. Namun kemudian pada paruh ke-3 abad 17, gabungan anak negeri yang terletak
pada perbatasan Wajo dan Luwu tersebut direbut oleh Arung Palakka Petta
MalampE’E Gemme’na ketika dalam rangka penyerangannya kepada Datu Luwu La
Palissubaya Baso Langi Dg. Mattuju Sultan Nazaruddin. Hingga kemudian, wilayah
tersebut menjadi wilayah anak negeri Tana Bone sehingga salah seorang putera
ArumponE La Temmasonge’ MatinroE ri Mallimongeng, yakni : La Makkasau Arung
KEra diangkat menjadi Dulung Pitumpanua.
Pada tahun
yang sama, yakni pada tanggal 12 Juni 1905, pasukan Pemerintah Hindia Belanda
memulai pula serangannya pada Kerajaan Sidenreng. Masa yang berat bagi La
Sadapotto Arung Rappang yang kemudian baru saja dilantik pula menjadi Addatuang
Sidenreng. Ia segera menyusun suatu barisan pertahanan di Lainungan dengan
menunjuk pula I ParEnrEngi Dg. PabEso KaraEngta TinggimaE menjadi Arung Malolo
Sidenreng dan Rappang yang memimpin barisan lasykar Sidenreng dan Rappang.
Pertempuran sengit antara Belanda dengan pasukan gabungan Sidenreng Rappang berlangsung
hingga Agustus 1905. Nantilah setelah banteng pertahanan Lajawa dan KapE dapat
dikalahkan, barulah pasukan Belanda dapat menembus perambahannya hingga ke
Allakuang (Ibukota Sidenreng) dan berhasil menawan La Sadapotto Addatuang
Sidenreng pada tanggal 11 September 1905.
Tertawannya
Addatuang Sidenreng tidaklah melemahkan semangat KaraEngta TinggimaE. Putera
Arung Matoa Wajo tersebut bahkan semakin gencar melakukan serangan kepada
Belanda. Hingga kemudian pada tanggal 5 Desember 1905, terjadilah pertempuran
sengit antara KaraEng TinggimaE dengan pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten
Blok di Langcirang 10). Namun rupanya inilah pertempuran
terakhir bagi Panglima Sidenreng dan Rappang ini karena berhasil ditawan pada
keesokan harinya, yakni : 6 Desember 1905.
I ParEnrEngi
Dg. PabEso bersama pasukannya yang telah dilucuti persenjataannya dibawa ke
Suppa’, kerajaan tempatnya bertahta selaku Datu Suppa Toa. Berbeda dengan tokoh
perjuangan lainnya, KaraEngta TinggimaE bersama pasukannya tidaklah dipenjarakan
dalam suatu sel kurungan atau dibuang ke negeri yang jauh. Gubernur C.A.
Kroesen memerintahkan penahanan rumah bagi KaraEngta TinggimaE dan lasykarnya.
Maka
dipilihkanlah suatu area seluas 50 ha dalam wilayah Kerajaan Suppa yang diberi
pagar besi sekelilingnya, area penahanan I ParEnrEngi Dg. PabEso KaraEngta
TinggimaE Datu Suppa Toa beserta lasykarnya yang kini menjadi suatu kampung
bernama Palla’ BessiE. Perlakuan khusus ini adalah kebijakan tersendiri dari
Pemerintah Hindia Belanda kepada Datu Suppa Toa yang oleh banyak kalangan
menilainya sebagai rasa segan C.A Kroesen terhadap Ishak Manggabarani KaraEng
MangEppE Arung Matoa Wajo, ayahanda I ParEnrEngi Dg. PabEso KaraEngta
TinggimaE.
---------------------------------------------
10). Sarita Pawiloy, Drs ; Arus
Revolusi 45 di Sulawesi Selatan , Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Sulawesi
Selatan -1985.
Tana Wajo, setelah
wafatnya La Tune’ Mangkau’ Petta MatinroE ri Tancung Ranreng BEttEmpola XXIII,
terjadilah perebutan kedudukan Ranreng BettEmpola diantara anak dan
kemenakannya, yakni : La Gau’ dan La Mangkona To RawE Petta PajumpongaE. La
Gau’ Ranreng BEttEmpola XXIV adalah putera sulung La Tune’ Mangkau’. Sementara
La Mangkona To RawE adalah putera La Patongai Datu Lompulle’ Ranreng Talo’tenrEng
XX dengan We Kalara’ Ranreng BEttEmpola XXI (kakak La Tune’ Mangkau’) 11).
Maka perselisihan antar kedua sepupu sekali sekaligus ipar ini 12)
semakin ramai karena La Mangkona didukung oleh We PalettEi Petta
Cakkuridi ri Wajo.
Perlu
dikemukakan, bahwa jabatan Ranreng BEttEmpola di Tana Wajo adalah suatu jabatan
vital sehingga disebut sebagai : Inangna Wajo (Ibunya Wajo). Ialah yang menjadi
pusat kontrol terhadap tindak prilaku dan kebijakan seorang Arung Matoa Wajo.
Ranreng BEttEmpola pula yang menggagas musyawarah dengan para ranreng dan
pejabat hadat lainnya. Maka dalam sejarah Wajo, beberapa Arung Matoa Wajo
sebelumnya dimakhzulkan dari jabatannya atas peran utama Ranreng BEttEmpola.
Maka pertikaian dalam keluarga trah BEttEmpola sesungguhnya adalah permasalahan
yang amat serius.
Terlebih
pula bagi Sri Baginda Ishak Manggabarani secara pribadi. Bagaimanapun, La
Mangkona To RawE Petta PajumpongaE adalah sepupu sekalinya sendiri. Beliau
adalah putera La Patongai Datu Lompulle’, saudara seayah Toappatunru’ KaraEng
BEroanging (ayah Ishak Manggabarani). Namun mencampuri persoalan kedalam pada
trah paling berpengaruh di Tana Wajo itu sesungguhnya adalah hal yang amat
riskan.
Belumlah
persoalan tersebut didamaikan, terjadi pula pertikaian antara La Tonggo’
SengngoE dengan La Mangkona To RawE Petta PajumpongaE. Lagi-lagi To RawE yang
membuat ulah !. Sepupu sekalinya sendiri, sebagaimana semua orang tahu itu.
Bahkan pertikaian ini kemudian memakan korban pada kedua belah pihak, antar sesama
rakyat Wajo sendiri. Sementara yang paling mengecewakan adalah kerusuhan dan
pertikaian itu justru dimulai oleh tokoh-tokoh Wajo yang berpengaruh
sebagaimana diistilahkan : Puang Paoppang PalEngengngiE TanaE Wajo (para
pertuanan yang berwenang menelungkupkan dan menelentangkan Tana Wajo).
Orang-orang yang semestinya senantiasa memikirkan kebaikan Tana Wajo
sebagaimana diwasiatkan dan dipusakakan pendahulunya, La Tadampare’ Puang ri
Maggalatung dan La MungkacE To Uddama.
--------------------------------------------
11). Hal yang menurut La Mangkona, bahwa wafatnya
Ibundanya (WE Kalara’) ketika ia masih kecil, lalu digantikan oleh pamannya,
yakni La Tatta Raja DEwa Ranreng BEttEmpola XXII (kakak La Tune’ Mangkau).
Kemudian setelah La Tatta Raja DEwa mangkat, jabatannya beralih kepada La Tune’
Mangkau’ Ranreng BEttEmpola XXIII. Hingga setelah La Tune’ Mangkau’ wafat,
semestinya jabatan itu diwariskan kepadanya (La Mangkona) sebagai sulur pewaris
pertama.
12). We Gallong Arung Liu MajjumbaE (adik La Gau)
adalah isteri La Mangkona To RawE Petta PajumpongaE.
Kegundahan Sang Arung Matoa ini sedemikian berlarut-larut hingga tak
tertahankan lagi. Pada suatu hari Sri Baginda meninggalkan Tana Wajo, bertolak
menuju Parepare dengan terlebih dahulu singgah di Sidenreng pada sepupu
sekalinya. Ishak Manggabarani lebih memilih untuk tinggal di Parepare seraya
tetap memikirkan kebaikan Tana Wajo. Ketiadaannya di Wajo justru kemudian
menyadarkan pihak-pihak yang bertikai. Ketiga Ranreng dan ketiga BatE Lompo di
Wajo menyatu kembali. Mereka yang dalam kesatuannya dikenal sebagai Petta
EnnengngE tersebut pada suatu hari bersepakat untuk memanggil kembali Petta
Arung Matoa Ishak Manggabarani ke Wajo. Namun berkali-kali diupayakan, keputusan
Arung Matoa ini tidaklah bergeming.
Hingga kemudian, Lontara AttoriolongngE ri Wajo menuliskan : “..ri 16 uleng dEsEmbErE ritaung 1916 namatE
ri ParEparE ri bolana ana’na riasengngE La ParEnrEngi KaraEng TinggimaE DatuE
ri Suppa “ (..pada tanggal 16 Desember 1916 wafatlah beliau di Parepare di
rumah puteranya yang bernama La ParEnrEngi KaraEng TinggimaE Datu Suppa).
Wafatnya seorang Raja yang kharismatik, senantiasa sulit mendapatkan
penggantinya. Sepeninggal Sri Baginda Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE Arung
Matoa Wajo MatinroE ri Parepare yang telah memangku jabatan Arung Matoa Wajo
selama 16 tahun, maka jabatan Arung Matoa Wajo lowong selama 10 tahun. Adapun
halnya Wajo tanpa Arung Matoa, pemerintahan dikendalikan oleh La Gau’ Arung
BEttEmpola, La Samallangi KaraEng Tompoballa Ranreng Talo TenrEng, TalEbbe’ Ali
Arung Ujung Ranreng Tuwa serta ketiga PabbatE Lompo lainnya. Hingga pada
tanggal 22 Desember 1926 dinobatkanlah La OddangpEro Arung PEnEki Datu
Larompong Petta MatinroE ri Masigi’na TEmpE menjadi Arung Matoa Wajo XLIV.
D. KESIMPULAN
Gowa, pasca penandatanganan perjanjian Bongaya. Dihadapan para panglima
dan sekutunya yang bersikeras melanjutkan peperangan mereka dengan VoC dan
Arung Palakka, Sultan Hasanuddin berujar : “Keberanian tidaklah cukup sebagai
bekal kepemimpinan, lebih dari itu juga membutuhkan kearifan”.
Kiranya inilah yang menjadi dasar
kebijakan dalam segala tindakan Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE Arung Matoa
Wajo. Hingga pada suatu hari, Sri Baginda menasehatkan kepada puteranya (I
ParEnrEngi KaraEngta TinggimaE Datu Suppa Toa), bahwa suatu bentuk perjuangan
tanpa kemampuan dan kekuatan yang memadai hanyalah suatu kesia-siaan 13).
Kondisi Wajo pada tahun 1900 (awal mula dinobatkannya sebagai Arung
Matoa Wajo) sangatlah buruk. Para pemimpinnya saling bertikai diantara mereka,
maka rakyat Wajo pula yang menjadi korban. Situasi dan kondisi yang jelas
berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain disekitarnya pada masa itu. Akhirnya
dapatlah dimengerti bahwa tahun-tahun pertama kepemimpinannya di Tana Wajo, Sri
Baginda lebih memprioritaskan konsolidasi dengan para pemimpin Wajo (Petta
EnnengngE) serta mengupayakan untuk memajukan sektor perkebunan dan pertanian.
Hal ini dapat dilihat pada tindakan beliau dengan memerintahkan untuk mengambil
bibit tumbuhan sawo di Gowa untuk ditanam di Palaguna yang tentu saja bukanlah
sekedar penyaluran hobby belaka.
Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE adalah tokoh kharismatik yang
memenuhi tugas kesejarahannya. Beliau tidak secara berterang mengangkat senjata
untuk memerangi Pemerintah Hindia Belanda karena kondisi amanah yang diembannya
lebih memprioritaskan kesejahteraan rakyatnya. Namun sejarah kemudian mencatat bahwa
anak keturunan dan menantu-menantunya adalah tokoh utama dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
********
----------------------------------------------------------------
13). Pada nasehatnya tersebut,
Ishak Manggabarani berkata : “Aja’na muEwai TomarajaE narEkko patappulomi kajunna
ballili’mu, muappaunuang bawammi joamu..” (usahlah kau melawan Belanda jika
senapanmu hanyalah 40 pucuk, kau hanya akan mengakibatkan pengikutmu
terbunuh..).
DAFTAR BACAAN DAN INFORMAN
1.
Lontara AttoriolongngE TanaE ri Wajo; salinan A. Muh. Ridha
(tanpa tahun),
2.
Lontara Atoreng Toriolo (inhoud Lontara’ No. 130); Pemerintah
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, Makassar (1980),
3.
Sarita Pawiloy, Drs ; Arus
Revolusi 45 di Sulawesi Selatan , Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Sulawesi
Selatan, Makassar (1985),
4.
Goenawan M. dkk ; Empat Pahlawan
Dari Sulawesi Selatan, Lamacca Press– Makassar, (2004),
5.
Wawancara dengan Drs. Andi Ahmad
Beso Manggabarani (56 tahun) di Parepare.