MERETAS LA SIMPALA ARUNG
SINGKANG
By. La Oddang
Sejak
beberapa waktu yang lalu, kerabat kami @Zulkifli La
Simpala senantiasa bertukar pikiran dengan kami perihal seorang tokoh
yang mengagumkan, yakni : La Simpala Aru Singkang. Seorang tokoh Bugis Wajo –
Bone dari abad – 18 yang hijrah ke Gorontalo dengan 300 kapal yang memuat
prajurit dan keluarganya. Pada kesempatan pertama, beliau @Zulkifli Lasimpala menanyakan perihal “Lontara
Silsilah Wajo” yang sekiranya ada memuat nama Puetta La Simpala, dimana hal
tersebut tidak dapat saya jelaskan lebih jauh, mengingat keterbatasan
pengetahuan saya perihal silsilah Raja-Raja di Wajo, walaupun sesungguhnya saya
dilahirkan di Belawa, salahsatu bekas Anak Kerajaan Wajo pula.
Bahwa
menurut dari sekedar yang dapat saya serap, Tana Wajo tidaklah sama dengan
bekas Kerajaan-Kerajaan Utama lainnya di Sulawesi Selatan, semisalnya : Luwu,
Soppeng, Bone, Gowa, AJatappareng dan lainnya. Pada kerajaan-kerajaan tersebut
dapatlah ditemui Lontara Panguriseng/Panguruseng (Silsilah Raja-Raja) yang
memuat lengkap silsilah Raja Pertama hingga Raja Terakhir mereka secara
berkesinambungan, serta jalur perhubungan kekerabatan mereka dengan Raja-Raja
dari Kerajaan lainnya secara meluas dan mendetail. Hal yang menyebabkan
sehingga Wajo tidaklah memiliki “Himpunan Silsilah” secara keseluruhan itu,
menurut catatan saya disebabkan beberapa faktor, diantaranya yang paling krusial,
adalah : 1. Tana Wajo sejak awal didirikannya menganut system Demokrasi
(Assamaturuseng), dimana Raja-nya dinobatkan atas dasar pemilihan para wakil
rakyatnya, maka seorang Arung Matoa (Raja) Wajo tidaklah mutlak digantikan oleh
anaknya atau bahkan bisa saja dari rumpun lain yang merupakan saingan
politiknya, 2. Tana Wajo memiliki banyak Tokoh Utama pada seluruh lapisan era
kesejarahannya, dimana masing-masing tokoh itu asal muasalnya berasal dari
negeri yang berbeda disekitarnya, misalnya : Wangsa BEttEmpola induk rumpunnya
berasal dari Luwu dan Bone, Wangsa Pammana (Pilla Wajo) yang memiliki akar asal
muasal tersendiri, dll.
Hal yang kurang
lebih sama juga terjadi dengan Tana Lili Wajo (Kerajaan Bawahan Wajo), misalnya
: Otting yang juga memiliki akar Tomanurung tersendiri, Belawa yang
mula-mulanya berasal dari rumpun Arung BulucEnrana kemudian akar silsilahnya banyak
berhubungan dengan Luwu, Sidenreng, Bone dan Soppeng, dll. Maka adalah tidak
berlebihan jika Ayahanda kami semasa hidupnya menyebut Wajo sebagai : Tana Luwu
wanua Abbatireng, TanaE Wajo wanua addeppakeng ( Tana Luwu adalah Negeri Asal
Muasal, Tana Wajo adalah negeri persebaran keturunan).
Namun
demikian, Tana Wajo bukan berarti tidaklah memiliki Lontara, bahkan merupakan
bekas Kerajaan yang memiliki paling banyak peninggalan Lontara. Lontara Sukkuna
Wajo (LSW) merupakan Lontara yang paling bermuatan logicly salahsatu dari sejian banyak Lontara Wajo
lainnya. Selain itu adapula Lontara Latoa yang merupakan “Lontara Bersama”
TellumpoccoE (Bone, Wajo dan Soppeng), dimana salahsatu perumusnya adalah La
MungkacE To Uddama Arung Matoa Wajo (1567 – 1607). Kemudian Pammana yang adalah
Kerajaan Tertua di Sulawesi Selatan disamping Luwu, juga memiliki Lontara
tersendiri. Demikian pula dengan Belawa, AkkotEngeng, Tosora, Paria, Rumpia,
dan segenap lainnya memiliki pula Lontaranya masing-masing. Maka Tana Wajo adalah
negeri dari “ratusan Lontara”, namun Lontara itu tidak mungkin dapat terhimpun
menjadi suatu kesatuan reverensi karena memiliki ragam akar dan sumber
kesejarahan yang berbeda. Begitupula dengan tokoh-tokoh Wajo pada jaman dulu
hingga sekarang, nama-nama mereka bertebaran pada ragam Lontara di Kerajaan
Utama lainnya, misalnya : Lontara Luwu, Lontara Akkarungeng Bone, Lontara
Panguruseng Abbatireng Soppeng, Lontara Attoriolong Sidenreng, hingga dapat
pula ditemui di Lontara Bilang Gowa dan Tallo.
Sehubungan
dengan tokoh “Lasimpala Aru Singkang” yang berkiprah pada abad-18, saya sempat
berasumsi jika tokoh tersebut adalah
salah seorang putera atau cucu dari La Maddukelleng Puenna La Tombong Sultan
Pasir Arung Singkang Arung Matoa Wajo Petta PamaradEkaEngngi Wajo (1736-1754).
Hal yang mendasari pendapat tersebut, bahwa kemampuan beliau Petta Lasimpala
yang dapat mengerahkan 300 Kapal yang penuh dengan pasukan bersenjata lengkap
pada abad 18, kiranya kemampuan itu hanya dapat dimiliki oleh seorang “Tokoh
Wajo” pada kurun masa itu. Perhubungan erat antara kedua tokoh itu dapat diduga
dengan kesamaannya selaku “Arung Singkang”, dimana jabatan tahta raja-raja
local di Wajo senantiasa hanya dapat diwarisi secara turun temurun.
Pada sisi
lain, penguasaanya terhadap 300 Kapal Bersenjata (Angkatan Laut), maka Tana
asal Lasimpala semakin mengkerucut pada suatu kerajaan yang memiliki kekuatan
maritime yang tangguh. Sebagaimana
diketahui bahwa Kekuatan itu hanyalah dimiliki oleh 2 Kerajaan Utama di
Sulawesi Selatan, yakni Gowa dan Wajo. Sementara Luwu, Bone, Soppeng, Sidenreng
dan lainnya lebih dikenal dengan kekuatan pasukan infantrinya. Hal yang
kemudian menjadikan Wajo sebagai salahsatu Kerajaan terkuat di darat dan lautan
pada abad 18, mengingat aksi perjuangan La Maddukelleng yang sempat menjadi
“Raja Dilaut” di Selat Malaka, Selat Karimata dan Selat Makassar. Namun
mengingat kurun masanya dalam abad 18, maka lebih kuatlah dugaan jika
“Lasimpala” berasal dari Wajo, mengingat
pada kurun masa itu, kekuatan pasukan Kerajaan Gowa di darat maupun laut hampir
lumpuh sejak kekalahan dalam Perang Makassar pada paruh ke-3 abad 17 dan semakin melemah pada 100
tahun kemudian, pasca gugurnya I MappasEmpa’ Dg. Mamaro KaraEng Bontolangkasa
Somba Gowa pada perang melawan Kompeni Belanda dalam abad paruh ke-3 abad 18.
Membaca
tulisan perihal penyebutan nama “Lasimpala Aru Singkang” sempat timbul dalam
dugaan saya bahwa nama beliau semestinya, adalah : “La Tenri Sumpala Arung
Singkang”. Hal yang mendasari dugaan tersebut karena penulis tidak mengenal
kata “simpala” sebagai kosa kata Bugis lama yang menjadi makna penamaan
Bangsawan Tinggi tersebut. Namun kata “sumpala” yang berarti “bantah” kiranya
dapat dikenali sebagai suatu kosa kata lama. Sementara itu, kosa kata tersebut
tidak pernah dipergunakan secara tunggal dalam penyebutan nama seseorang,
terlebih jika itu adalah seorang “pangeran” (Ana’ Arung). Maka sebagaimana
lazimnya, kata “sumpala” ditambahkan kata”tenri” didepannya sebagai bentuk
penyangkalan yang berarti “tak/tidak”, sehingga pengertian lengkap “La Tenri Sumpala” adalah ; Yang Tak
Terbantahkan. Penamaan yang sama dan lazim bagi kalangan Bangsawan Tinggi pada
masyarakat Bugis, misalnya ; La Tenri Bali (Yang Tak Terlawan), We Tenri AbEng
(Yang Tiada Tara), La Tenri Liweng (Yang Tak terlampaui), dll.
Meretas dan
memilah tokoh Abad -18 yang eksis di Wajo-Bone
bernama La Tenri Sumpala, sejauh
ini baru didapati 1 nama yang sama namun
lebih merupakan tokoh Tanete, Luwu, Wajo dan Bone, yakni : La Tenri Sumpala Arung
KEru-KEru MatinroE ri Labossa. Beliau adalah putera La Oddangriu Dg. Mattinri
Sultan Ahmad Fachruddin Datu TanEtE Datu Soppeng dengan Arung Appanang
(Panguruseng Soppeng hal- 4, Andi Ridha - 1995). La Oddangriu adalah putera We
Batari Tungke Sultanah Sitti Fatimah Datu Luwu dengan La Rumpangmegge To
SappEile Opu Cenning Luwu. We Batari Tungke Sultana Sitti Fatimah Datu Luwu
adalah puteri La Onrong To Palaguna Datu Luwu dengan We PattEkEtana Dg. Tanisanga Petta MajjampaE Datu TelluE
Salassana (Datu TanEtE). Kemudian We PattEkEtana adalah puteri We Tenriabang
Dg. Baji Datu Mario ri Wawo Petta MatinroE ri PangkajEnE dengan La Mappajanci
Sultan Ismail Datu TanEtE. Sementara itu, We Tenriabang Dg. Baji Datu Mario ri
Wawo adalah adik kandung La Tenri Tatta Arung Palakka Petta MalampE’E Gemme’na
ArumponE MatinroE ri Bontoala’ dan We Tenri Esa’ Mappolo BombangngE
MaddanrengngE ri Palakka (Ibu La Patau Matanna Tikka ArumponE MatinroE ri Naga
Uleng). Maka mutlaklah jika La Tenri Sumpala Arung KEru-KEru yang bersaudara
kandung dengan La Tenri Peppang Arung Belo MatinroE ri Belo, La Tenri Dolong
MatinroE ri La Mattoanging dan La Tenroaji Arung Appanang MatinroE ri JeppE ini
adalah seorang Pangeran Bone dan Soppeng. Mereka pula adalah pangeran Luwu karena
cucu langsung dari Datu Luwu Batari Tungke’. Kemudian mereka pula adalah
Pangeran Wajo yang terhitung berhak mewarisi “Ranreng Tuwa” sebagai cicit La
PakkokoE Arung Timurung Petta Ranreng Tuwa Wajo XVII.
Namun
kemudian To Malebbiku Ibu Khery Aprilia mengatakan
bahwa Petta Lasimpala bukanlah La Tenri Sumpala Arung KEru-KEru MatinroE ri
Labossa sebagaimana yang dipaparkan diatas. Hal yang memang agaknya demikian,
mengingat saudara Zulkifli Lasimpala
menyebut adanya perhubungan dengan La Paulangi dan La Tokong. Kedua tokoh Wajo
– Bone yang menurut himpunan silsilah dalam Kedatuan Luwu yang salinannya ada pada penulis
diuraikan sebagai 2 tokoh yang berlainan nazab.
La Paulangi
atau La Raunglangi To Sadapotto DaEng Lebbi Paddanreng BEttEmpola XII adalah
putera WE Jai Arumpugi Petta Paddanreng Tuwa (puteri La Tenrotajang To
Sengngeng dengan WE Tenritiro Ida Nyilli’ Petta Padddanreng Tuwa) dengan La Sikati To PalettEi MallangkanaE
Paddanreng BEttEmpola XI (putera La Patampari Totenriwale’ dengan WE
TEnriakkoreng MattojangngE Paddanreng BEttEmpola X). Maka La Paulangi adalah
saudara se-ibu dengan WE Sitti Hadijah Ida SalEng Arumpugi Petta Paddanreng
Tuwa (ayahnya adalah La Pakallongi To Allinrungi Arung Matoa Wajo XVII alias To
Ali). Kemudian dari pernikahan WE Sitti Hadijah Ida SalEng dengan La
Maddaremmeng Arung Palakka Petta MatinroE ri Bukaka, melahirkan : La PakkokoE
To AngkonE MaccomengngE To TadampaliE Arung Timurung Petta Paddanreng Tuwa
(Ayahanda La Patau’ Matanna Tikka). Maka sesungguhnya La PakkokoE yang merupakan
Pangeran Utama Bone adalah kemenakan La Paulangi yang adalah Pangeran Wajo.
La Paulangi
dinikahkan dengan We Tenri Ampa Arung Singkang
(puteri La TenrisEmpe’ To Patiroi dengan WE Temmangedda Dala Teppura),
melahirkan :
1. La Maddukelleng
Arung Singkang Sultan Pasir Arungngi ri PEnEki Petta Arung Matoa
PamaradEkangngi TanaE Wajo,
2. La SampennE’ Petta Labattoa Arung Liu
Petta Cakkuridi ri Wajo,
3.
We Maddanaca Ida TalEmpeng Arung WaE Tuo Arungngi ri Bila,
4.
La Mallawa Dg. Mattemmu Paddanreng BEttEmpola XVI (La Malibureng),
5.
La Cobo’ To Sai Puanna Boko Dg. Situju Paddanreng BEttEmpola XIII (La
Combong ?),
6. La MassEllEang Paddanreng BEttEmpola
XIV,
7. La TEnradatu Paddanreng BEttEmpola
XV,
8. La Bato’ Dg. Pagala (La Bangko).
La SampennE’ Petta Labattoa Arung Liu Petta Cakkuridi ri Wajo
dinikahkan dengan We Barigau’ (puteri La Mappapenning To Appaware’ Ponggawa
BonE MatinroE ri Tasi’na dengan I Mida Arung La Panning binti La Temmasonge’
ArumponE MatinroE ri Mallimongeng), melahirkan : 1). La Olling Arung Liu
Ranreng Tuwa Petta MaddanrengngE ri BonE, 2). WE Sawe’ Arung Liu dan 3) WE
Sikati I KambeccE’ Arung Palippu Petta Patola Wajo.
Merunut lebih jauh Himpunan Silsilah yang merupakan salahsatu koleksi
perpustakaan Istana Kedatuan Luwu ini, WE Sikati I KambeccE’ Arung Palippu
Petta Patola Wajo dinikahkan dengan La Sappo Petta Ugi Arung BElawa Pettai ri
Palireng MatinroE ri CempaE (putera La Mappulana Arumpugi Petta Cakkuridi ri
Wajo dengan We Bakke’ DatuE Kawerrang), melahirkan : 1). La Rappe’ Arung Liu
SullE Paddanreng Tuwa, 2). We Busa Arung Belawa Petta WaluE, dan 3) La
Maggalatung DaEng Pali’E Arung Palippu.
Adapun halnya dengan La Tokong
Petta PalEkoreng yang disebut pada Lontara Akkarungeng Bone (Andi Amir Sessu)
sebagai “La Toto”, adalah putera La Mappulana Arumpugi Petta Cakkuridi ri Wajo
dengan We Yabang . Maka La Tokong Petta PalEkoreng ini adalah saudara se-ayah
dengan La Sappo Petta Ugi Arung BElawa Pettai ri Palireng MatinroE ri CempaE.
Hal yang sering didapati kekeliruan pada banyak Sitambung yang terbit pada
tahun 1950-an, dimana tokoh “La Mappulana” ini seringkali disebut sebagai ORANG
YANG SAMA dengan “La SampennE’ Petta Labattoa Arung Liu Petta Cakkuridi ri
Wajo”, hingga kedua tokoh ini menjadi kabur adanya.
La Tokong Petta PalEkoreng dinikahkan dengan We Rana Petta Paddanreng
Tuwa (We Banna), puteri La Temmasonge’ ArumponE MatinroE ri Mallimongeng dengan
WE Momo’ Aisyah, melahirkan : 1). We Hudaiyyah Petta Paddanreng Tuwa Wajo, dan
2). La Paranrengi ArungngE DaEng Sijerra.
Pada penguraian singkat ini yang merupakan penelusuran saya mengenai
tokoh Petta Lasimpala Arung Singkang, bukanlah dimaksudkan sebagai “sanggahan” untuk menggugurkan pendapat atau
fakta sebelumnya yang didapatkan saudara @zulkifli Lasimpala dari berbagai sumber
sebelum ini. Namun yang sesungguhnya, dari penelusuran saya perihal silsilah
para tokoh-tokoh utama Wajo dalam era abad 18, tidak menemukan nama tokoh yang
dimaksud. Tetapi bukan berarti penyangkalan atas tokoh besar Wajo yang
membanggakan tersebut. Keberadaan tokoh Petta Lasimpala yang Berjaya
diperantauan adalah suatu kebanggaan besar bagi tanah leluhurnya, sekaligus
sebagai topic menarik untuk ditelusuri lebih jauh, mengingat wejangan Guru
Besar kami Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd,
bahwa : “Sejarah adalah Teka Teki”. Kemudian pada kesempatan lain, adinda kami @Faisal Toware’, menyatakan : “Sejarah bukanlah
Ilmu Pasti”. Maka banyaklah kemungkinan yang bisa saja menjadi kunci rahasia
yang meliputi diri tokoh Petta Lasimpala dari Lontara Negeri Leluhurnya,
diantaranya : Petta La Simpala Arung Singkang ditulis dengan nama lain. Hal
yang sering terjadi pada tokoh lainnya, misalnya : La Raunglangi To Sadapotto
(Lontara Luwu) tertulis sebagai La Paulangi To Sadapotto (Lontara Bone).
Mengingat gelar Petta Lasimpala sebagai “Arung Singkang”, besar dugaan
penulis jika tokoh besar tersebut adalah salahseorang putera La Maddukkelleng
Arung Singkang Sultan Pasir Petta Arung Matoa Wajo PamaradEkaEngngi TanaE Wajo
. Seorang tokoh besar Wajo yang dinobatkan sebagai Arung Matoa Wajo XXXI pada
tanggal 6 Nopember 1736 dan meletakkan jabatan sebagai Arung Matoa Wajo dalam
tahun 1754.
Bahwa Puetta La Maddukelleng adalah satu-satunya Pahlawan Nasional
Republik Indonesia yang memenangkan perang melawan VoC selama hidupnya. Sejak
kemenangannya atas VoC dalam perang
besar di Wajo pada tahun 1741, hingga wafatnya beliau dalam tahun 1765, VoC
tidak pernah lagi berani menyerang Kerajaan Wajo. Maka selama 23 tahun itu,
Kerajaan Wajo adalah satu-satunya Kerajaan Merdeka di Nusantara.
Fakta yang menjadi dasar atas dugaan penulis perihal perhubungan Petta
La Simpala dengan La Maddukelleng, adalah sbb :
1. Kesamaan keduanya
sebagai Arung Singkang. Suatu tahta yang selalu didapati berdasarkan warisan
turun temurun, sebagaimana Petta La Maddukelleng memperolehnya atas warisan
dari ibunya, yakni “ We Tenri Angka Arung Singkang” (We Tenri Ampa);
2. Kemampuan
mobilitas dan kekuatan maritime yang mengerahkan 300 kapal memuat prajurit dan
keluarganya ke Gorontalo dalam abad 18, kiranya hanya dapat dimiliki oleh
Bangsawan Tinggi Wajo yang berkuasa dan kaya raya pada masa itu. Suatu fakta
yang dengan mudah dapat dihubungkan dengan tokoh Puetta La Maddukelleng Arung
Singkang, satu-satunya tokoh Sulawesi Selatan dalam abad 18 yang memiliki kekuatan
Angkatan Laut yang bahkan dapat mengatasi kemampuan VoC.
Berdasarkan fakta
tersebut, penulis menduga ;
1. Petta La Simpala
adalah salahseorang putera Petta La Maddukelleng yang bersaudara kandung dengan
I Singkang, sebagaimana diuraikan pada Lontara Tana Tengnga Belawa, sbb : Petta
PamaraEkaEngngi Wajo siala I Caba’ ana’na La Sipatu Arung Belawa, ana’ni :
Petta LaoE ri Wani sibawa I Singkang. I Singkang siala La KunEng Arung BElawa
Orai’ Datui ri Suppa Arungngi ri Alitta Addatuatta ri Sawitto, ana’ni La PabEangi
Arung BElawa Datui ri Ganra..
Berdasarkan ini, maka besar dugaan penulis
jika “Petta LaoE ri Wani” adalah orang yang sama dengan La Simpala Arung
Singkang;
2. Hijrahnya Petta La
Simpala ke Gorontalo tiada lain akibat pergolakan politik di Wajo pada pasca
mundurnya ayahandanya (Petta La Maddukelleng) selaku Arung Matoa Wajo dalam
tahun 1754. Sebagaimana diketahui, bahwa mundurnya Petta La Maddukelleng adalah
akibat desakan Puetta La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla ri
Wajo yang mengatasnamakan rakyat Wajo
dengan mengatakan : “cauni atammu Towajo’E mammusu..” (para rakyat Wajo telah
lelah berperang..). Hal yang bermula setelah kemenangan gemilang Angkatan
Perang Kerajaan Wajo atas VoC dan sekutunya (Bone, Soppeng dan Sidenreng), Petta
La Maddukelleng giat melancarkan aksi serangan balasan terhadap Kerajaan sekutu
VoC. Hingga kemudian, Arung Matoa Wajo tersebut merencanakan penyerangan ke
Sidenreng sebagai hukuman terhadap Puetta La Pawawoi Addatuang Sidenreng yang
loyal terhadap VoC. Namun rencana tersebut dihalangi oleh Puetta La Pallawagau’
Pilla Wajo yang juga didukung oleh sebagian besar personel Arung EnnengngE Wajo yang lainnya. Hal yang
sesungguhnya amat mengecewakan bagi Arung Matoa Wajo selaku pribadi karena
mengetahui keunggulan diplomasi Petta Pilla’E yang didukung oleh ke-lima Arung
EnnengngE tersebut sesungguhnya didasari atas “kepentingan pribadi”, mengingat
Addatuang Sidenreng La Pawawoi tiada lain adalah kemenakan sekaligus menantu
dari La Pallawagau’ Petta Pilla Wajo sendiri.
I Tungke’ Arung TEmpE, ibunda La Pawawoi
Addatuang Sidenreng adalah saudara kandung La Pallawagau’ Datu Pammana Petta
Pilla ri Wajo. Kemudian dari pernikahan La Pallawagau’ Datu Pammana Petta Pilla
ri Wajo dengan We Tenriabang DatuE Watu Petta MatinroE ri PangkajEnnE’ (puteri
La Mappasiling Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna dengan We TenrilElEang
Datu Luwu Petta MatinroE ri SorEang), melahirkan ; I Sompa Dg. Sinring Datu
Pammana (isteri La Pawawoi).
Kekecewaan Puetta La Maddukelleng atas sikap
Panglima Andalannya(La Pallawagau) yang didukung oleh sebagian besar personel
Arung EnnengngE yang lain, berujung pada pengunduran dirinya selaku Arung Matoa
Wajo, kemudian meninggalkan Tosora (ibukota Wajo) menuju PEnEki dan silih
berganti menetap di Singkang karena beliau adalah Raja pada kedua negeri Lili
Tana Wajo tersebut.
Adapun halnya dengan tampuk Arung Matoa
Wajo yang ditinggalkan oleh La Maddukelleng, o selanjutnya dinobatkanlah La
Maddanaca Arung WaEtuo selaku Arung Matoa Wajo XXXII. Beliau hanyalah
memerintah selama kurang lebih 1 tahun karena wafat akibat diamuk oleh seorang
Wajo yang gila di Makassar pada tanggal 2 September 1758.
Sepeninggal Puetta La Maddukelleng ke
PEnEki, terutama pada pasca wafatnya La Passaung Arung MEngE Puanna Laomo’
Arung Matoa Wajo XXXV dalam tahun 1761, tampuk tahta Arung Matoa Wajo lowong
selama 5 tahun. Maka dalam masa tenggat kekosongan itu , suasana politik
Kerajaan Wajo berada dalam genggaman
Puetta La Pallawagau Pilla Wajo. Maka dapatlah diperkirakan bagaimana nasib
putera puteri Puetta La Maddukelleng pada era itu. Hal yang sesungguhnya
tidaklah mutlak dikucilkan dalam kancah per-politikan Tana Wajo, namun
kemarahan dan kekecewaan Puetta La Maddukelleng mestilah berpengaruh kepada
mereka sehingga bisa saja “ikut mengisolasi” diri. Kiranya hal tersebut dapat
dimengerti adanya.
Suatu kenyataan yang tak dapat
dipungkiri, bahwa Puetta La Maddukelleng adalah “Pemilik Pribadi” atas Armada
Laut yang terhitung paling canggih pada zamannya serta pasukan mariner gabungan
yang dibawanya dari Pasir dan Kutai Kertanegara. Armada Laut yang bersenjata
lengkap itu dipesannya khusus dari Perancis dan dibelinya dari harta warisan
atasnamanya oleh saudaranya di Kalimantan (DaEng Matekko). Maka pertanyaannya
kemudian, : Kemanakah semua armada itu pada pasca wafatnya beliau ?.
Bagaimanapula nasib para pasukan mariner gabungan yang hanya loyal terhadap
Puetta La Maddukelleng tersebut pada pasca mengundurkan diri selaku Arung Matoa
Wajo ?. Maka besarlah dugaan penulis jika tidaklah mungkin jika Armada dan
Awaknya tersebut tetaplah mengabdikan diri sebagai “property” Wajo dengan
atasnama “Bangsa dan Negara”. Namun tentu saja amat riskan jika kekuatan
tersebut menetap di Wajo terutama pada pasca wafatnya Puetta La Maddukelleng,
maka armada perang dan pewarisnya tersebut mestilah meninggalkan Tana Wajo,
dimana kemudian diketahui tiba di Gorontalo.
Adalah hal yang menarik, wafatnya Puetta
La Maddukelleng dan dimakamkan di Singkang ditandai dengan batu nisannya yang
“unik”, yakni : Jangkar Kapalnya. Bahwa “jangkar/batu sauh kapal” adalah tanda
berlabuh bagi suatu kapal. Maka “terpisahnya” suatu jangkar kapal dengan
lambung kapal itu adalah pertanda kapal laut itu “pergi” mengikuti arah angin
dan arus perairan laut. Dengan demikian, diletakkannya batu sauh diatas pusara
Puetta La Maddukelleng dapat saja berarti :
1). Pengembaraan
Puetta La Maddukelleng tiba pada tujuan terakhirnya (keharibaan Penciptanya);
2). Para keluarga
dan pengikutnya seakan berkata : “Puetta La Maddukelleng adalah JANGKAR kami,
maka setelah wafatnya, tali yang menghubungkan antara jangkar dan kapal kami
terputuslah sudah. Maka kapal kami terpaksa pergi menuruti angin kemana nasib
dan takdir berhembus membawa kami serta..”.
Kiranya inilah yang dapat saya uraikan perihal retasan mengenai Tokoh
Besar Petta Lasimpala. Bahwa sejarah adalah teka-teki yang selalu menarik untuk
dipecahkan, maka inilah yang mendorong saya untuk meretas sebagaimana adanya
yang dapat saya haturkan, selain atas rasa hormat dan bangga saya terhadap
saudara @Zulkifli Lasimpala yang selama ini gigih menelususri jejak kesejarahan
nenek moyangnya, yakni : Aru Lasimpala di Gorontalo. Bahwa Sejarah adalah bukan
suatu Ilmu Pasti, maka dugaan-dugaan yang saya paparkan ini adalah bukanlah
sesuatu yang mutlak kebenarannya, namun kiranya dapat menjadi bahan penelusuran
selanjutnya.
Wallahualam Bissawwab.
DAFTAR
BACAAN ;
1. Amir Sessu, Andi, Drs, Lontara Akkarungeng Bone – Kandepdikbud Kab.
Bone – 1985, Watampone;
2. Zainal Abidin Farid, Andi, Prof. Mr, Wajo
Pada Abad XV – XVI – Penerbit Alumni – 1985, Bandung;
3. Himpunan Silsilah, Bab. Wajo – Koleksi
Perpustakaan Istana Kedatuan Luwu, Palopo;
4. Lontara Panguriseng Tana Tengnga, - Koleksi
La Wahide Dg. Mamiru Petta Pabbicara Tana Tengnga Belawa.
Keterangan Gambar ;
Dari kiri ke kanan : Penulis, Andi Baso Lolo Opu To Mappasossong Matoa WagE, Andi Kumala Idjo Somba Gowa (peci hitam), H. Andi Maradang Mackulawu Opu DaEngna Bau' Datu Luwu ke-40, Andi Gau' Opu Kheni, Prof. Dr. Ima Kesuma Opu BalirantE Luwu, Andi Rahmawati Sultani Opu Pabbiccara Luwu, Andi Maya La Pawawoi dan Andi Aisyah LambogE.. Acara ramah tamah di Istana Balla' Lompoa Gowa, 17 Juni 2013.