OBROLAN TENTANG NAGA DAN TIKUS
By. La Oddang
Hampir semua reverensi tentang Budaya Masyarakat Dunia
mensifatkan hewan sebagai perlambang karakter manusia sepanjang zaman.
Kebudayaan Cina mensifatkan para Kaisarnya sebagai Naga, hewan mytologi yang
bentuknya menyerupai ular, berkaki ayam, gondrong dan moncongnya menyerupai
anjing itu. Sementara itu, kebudayaan masyarakat Skandinavia juga menggambarkan
Naga dengan bentuk berbeda. Ia lebih kekar, bersayap kelelawar dan kepalanya
plontos. Namun kebudayaan kedua benua timur dan barat itu sama-sama
menggambarkan karakter tentang Naga ini sebagai mahluk agung nan perkasa.
Mereka adalah penguasa bijaksana dan penguasa lalim, apapun karakternya, namun
ia tetaplah naga. Kaisar tempat berkhidmatnya para pembesar-pembesar tikus. Lalu
bagaimana halnya dengan Tikus ?
………………………………………………………………………………………………………
Hewan kecil pengerat, berekor panjang, berkumis panjang,
berbulu kasar, mata kecil, jorok, jalannya mengendap-endap dan pemakan segala
(carnivora), begitu persepsiku tentang tikus. Demikian sederhana, maklum saja
karena nilai pelajaran Biologyku sejak SMP hingga SMA senantiasa berwarnah
cerah (merah). Namun kini tiba-tiba tertarik dengan hewan yang satu ini, karena
ramai diperbincangkan pada berbagai media. Para penguasa besar dan kecil di
negeri ini, jika ia melakukan tindak korupsi, maka ia dilabeli sebagai : Tikus.
Mengendap-endap ditempat gelap dengan mata kecilnya yang
licik, menggerogoti karung penyimpanan bahan makanan. Tidak ada tempat
penyimpanan makanan yang tidak mampu dimasukinya, lemari makan ataupun bahkan tanaman
yang masih tumbuh di sawah atau ladang,
tidak luput dari incarannya. Maka ia dikategorikan sebagai hama.
Menilik asal muasal pada tikus pada epos Mahabharata, syahdan
Bhatara Naradha yang terlahir dalam wujud seekor naga (Naga India ; tidak
berkaki) sedang menangisi kesepiannya. Maka Bhatara Ghuru merasa iba, air mata
Bhatara Naradha diubahnya menjadi 3 butir telur. “Turunlah ke Bumi, rawat dan tetaskanlah
telur-telur itu agar kau tidak merasa sepi lagi.”, titah Sang Raja Dewata itu.
Sang Naradha memungut dan memasukkan ketiga butir itu kedalam rongga mulutnya,
lalu melayang turun ke Bumi. Namun, ditengah perjalanan ia lalai membuka
mulutnya. Dua butir telur terlepas dari
mulutnya dan jatuh terlebih dahulu di Bumi. Keduanya pecah dan menetas sebagai
babi dan ..tikus. Adapun halnya dengan sebutir telur yang tersisa itu, dirawat
dengan telaten oleh Bhatara Naradha hingga menetas sebagai Sanghyang Sri, Dewi
Padi nan jelita dan welas asih itu.
Adapun halnya dengan Babi dan Tikus, keduanya merasa iri
kepada Sanghyang Sri. Mereka merasa diperlakukan tidak adil karena tercipta
dengan bentuk dan rupa yang buruk. Maka dengan berbagai upaya, keduanya meminumkan
racun kepada Sanghyang Sri, hingga binasa. Namun pada dasarnya suatu kebaikan
yang tidak pernah mati, Dewi yang baik hati itu berubah wujud sebagai tanaman
padi yang berguna bagi umat manusia. Namun, kedua babi dan tikus tidak pernah
berhenti mengganggu saudarinya yang welas asih itu, mereka senantiasa berusaha
merusak tanaman padi di sawah.
Bahkan reverensi budaya tertua dari India, mensifatkan tikus
sebagai hama pengganggu. Lalu bagaimana halnya dengan tikus menurut tinjauan
budaya Bugis ?. Iapun adalah wujud penggambaran karakter pengecut dan tidak
memiliki rasa solidaritas pada saudaranya, sebagaimana digambarkan pada
mytologi India. Ia adalah mahluk berkumis nan cerdas, namun tidak segan-segan
menjilat kotoran suku bangsa lain, demi secuil makanan yang bisa didapatnya.
Iapun piawai menyelinap kesana kemari dengan manuver pencitraan “Ksatria Suci”
jika dalam posisi tersudut. Persis sebagai “Jerry” atau “Mickey” yang imut-imut
menggemaskan itu.
Pada kosa kata Bugis, ia dikenal sebagai : Balao atau BElEsu. Iapun digelari sebagai : La Makkikko’ (Si Berekor). Pada khazanah puisi-puisi rakyat yang
mengkritik pejabat kerajaan yang culas, diungkapkan :
DE’ nancaji, Lapuang !
Puruu’ manengtoni taneng-tanengngE,
Napakkuwa La Makkikko’,
SawEi ri galungngE,
Lalowasai ri lalempanua,
Lettu’ ri laleng Saoraja,
NasapE-sapE’i ade’E,
Naoca-ocai bicaraE,
Namakkasolang ri wanuaE
(Panen telah gagal, Tuanku,
Tanaman telah meranggas pula,
Akibat ulah Si Berekor,
Berkembang biak di sawah,
Merajalela didalam
negeri,
Hingga ke dalam istana,
Dirobek-robeknya adat,
Dikunyah-kunyahnya hukum,
Sehingga rusaklah negeri )
Maka prilaku tikus senantiasa ada pada setiap zaman. Ia
adalah pertanda adanya tatanan yang tercemar dalam tingkat pemerintahan. Bahkan
kadangkala disifatkan sebagai “alat penghukum” dari Dewata SeuwwaE.
Wallahualam Bissawwab.