MENGUJI WASIAT
Alkisah menurut tutur legenda, adalah seorang Panrita AnrE Guru (Sang Guru Pandita) dikenal sebagai seorang yang Sule'sana na Mujarrabe' (Arif nan Mumpuni). Pada suatu ketika, baginda mengadakan muhibah ke perbatasan negeri Bone dengan negeri Wajo, yakni : Pompanua.
Mengetahui jika Sang Panrita tersebut berada di Pompanua, maka segenap raja-raja besar tetangganya berkunjung seraya meminta petuah dan wasiat berharga bagi negerinya masing-masing. Mereka adalah Petta Mangkau'E BonE, Arung Matowa Wajo, Datu SoppEng dan Addituang SidEnrEng. Namun Sang Pandita berujar, "NarEkko paddissengeng mabbarakka' pada nakkattai DatuE, madEcEngngi narEkko bajapi maElE naengkang naripasilolongeng wErEwE.." (sekiranya ilmu berkah yang dikehendaki para junjungan, maka sebaiknya besok pagi kiranya dapat dipertemukan bersama sesuai takdir masing-masing..). Maka keempat Raja Besar Tanah Bugis itu kembali ke markasnya masing-masing.
Esok harinya, menjelang fajar tibalah kembali Arung Matowa Wajo di kediaman Sang Panrita. "Agaro pangElorenna Arung MatowaE lao ri tanana ?" (Apa gerangan keinginan Arung Matowa bagi negerinya ?), tanya Sang Panrita. "Naiyya minasakku, maEloka' asogireng napunnai To Wajo'E" (adapun kehendakku, kiranya orang-orang Wajo itu memiliki kekayaan harta benda..), jawab Arung Matowa. Maka Sang Panrita pun mengajarkan hikmad "asogireng" (kekayaan duniawi) pada Sang Arung Matowa. "iyanaro nassabari namaEga tosogi polE ri Wajo. NarEkko engka Ogi sogi ri saliwengpanua, inamoo naseng alEna Tau polE ri BonE, Soppeng iyarE'ga SidEnrEng, naEkiya manessa engka abbatirengna polE ri Wajo.." (itulah sebabnya sehingga banyak hartawan dari kalangan orang Wajo, Jika anda mendapati seorang kaya di daerah perantauan walaupun sekiranya ia menyatakan diri dari BonE, SoppEng ataukan SidEnrEng, namun mestilah ia memiliki darah Wajo dalam dirinya..).
Setelah Arung Matowa meninggalkan Pompanua, tibalah Petta Mangkau'E ri BonE di tempat itu. Baginda meminta pula hikmad kekayaan duniawi. "Nalani Wajo.. Ellauki' laingngE" (sudah diambil Wajo.. mintalah yang lain), jawab Sang Panrita. Maka ArumponE meminta hikmad "Awaraningeng" (keberanian), ilmu para ksatria. "Iyatoonaro saba' nawarani TobonEdE.. narEkko engka Towarani mulolongeng, manessanitu engka abbatirengna polE bonE.." (itulah sebabnya sehingga sehingga ksatria banyak didapati dari kalangan orang Bone. Sekiranya anda mendapati orang berani, mestilah ia memiliki darah Bone..".
Maka tiba pulalah Datu SoppEng di Pompanua. Baginda meminta hikmad kekayaan. "nalani Wajo.." (sudah diambil orang Wajo), jawab Sang Panrita. Maka baginda meminta hikmad keberanian. "nalatoni BonE.." (sudah diambil pula orang BonE), timpal Sang Mahaguru pula. Akhirnya Datu Soppeng meminta "AsagEnang AnrE" (kecukupan makanan). "narEkko engka naengka sEuwwa wettu tasidapi lEppang ri bolana sEajing TosoppEngta, narEkko natoanaki' waE pella, nannasuangtoni'tu nanrE siagang pakkanrEang pawessori.. nasaba' masagEna mEmengngi anrEna TosoppEngngE.." (sekiranya pada suatu ketika anda bertamu pada salahsatu rumah keluarga di SoppEng, jika tuan rumah menghidangkan secangkir teh hangat, maka pastilah ia sedang menanak nasi pula beserta lauknya yang mengeyangkan perut bagi anda. Karena memang orang SoppEng itu diberkahi kecukupan pangan adanya..)
Akhirnya tibalah Addituang SidEnrEng di Pompanua. Ketiga Raja sejawatnya telah lama meningalkan tempat itu. Sang Addituang meminta hikmat Kekayaan namun telah diambil oleh Wajo. Lalu ia meminta pula rahasia Keberanian, tapi Bone telah mengambilnya terlebih dahulu. Maka baginda meminta ilmu Kecukupan pangan, namun Soppeng telah mengambinya pula. Tinggal satu ilmu kikmat yang tersisa, yakni : PanrE Ada (ahli diplomasi). Maka apa boleh buat, kiranya hanya itulah yang dapat dipelajari Addituang SidEnrEng. "..Ejaji naiyya TosidEnrEngngE malise'i na mateppu wErEkkadana.." (maka sesunguhnya orang-orang SidEnrEng mengatur kalimat yang berisi dan jelas adanya..)
........................................................................................................
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah tersebut jika ditinjau dari sudut pandang sejarah, beberapa hal menarik untuk disimak untuk mengenal karakteristik kemasyarakatan masing-masing 4 wilayah besar yang mewakili tanah Bugis pada umumnya. Walaupun tentu saja kisah tersebut dapat disanggah oleh petuah lama lainnya, yakni antara lain : Aja' lalo naEnrE' bola limaE passaleng : NapalEcEwE To Wajo, nagelliE To BonE, narumpa'E To SidEnrEng, nagerra'E To EnrEkeng, nadoti To Menre'.. (semoga kiranya tidak akan pernah terjadi menimpa kita pada lima hal : dibujuk oleh orang Wajo, dimarahi orang Bone, diserbu oleh orang SidEnrEng, dibentak orang EnrEkang, diteluh orang Mandar...).
Selintas kedua petuah lama mengenai karakter masyarakat tersebut agak berbeda, namun jika dicermati lebih dalam maka didapati kesesuaian, terlebih pula jika menjenguk kurun waktu serta latar belakang lahirnya petuah tersebut. Orang-orang Wajo digambarkan oleh kisah petuah sebagai hartawan, maka keahliannya untuk "membujuk" merupakan karakter khas yang mutlak sebagai "basic skill" bagi seorang penjual maupun saudagar. "Naiyya To Wajo'E nalebbireng nakurangiE balanca naiyya nakurangiE bicara.." (Sesungguhnya orang-orang Wajo itu lebih memilih kehabisan uang daripada kehabisan bicara..), demikian ungkapan yang kerap didengar perihal orang-orang Wajo.
Adapun halnya "keberanian" yang dikhaskan bagi orang BonE, dibenarkan atau setidaknya memiliki relevansi pada petuah kedua bahwa watak seorang pemberani tidak mudah marah namun biasanya sulit dipadamkan sekiranya sudah marah. Begitu pula dengan orang SidEnrEng yang digambarkan sebagai "PanrE Ada" (Ahli Diplomasi) yang diperwatakkan sebagai "Parumpa'" (penyerbu) pada petuah kedua. Pada beberapa kejadian yang juga ditulis pada beberapa Lontara, bahwa Kerajaan SidEnrEng memiliki negarawan yang ahli diplomasi, yakni : NEnE Mallomo. Selain itu, salahsatu anak negeri SidEnrEng yang terkenal pula sebagai negeri para PanrE Ada, yakni : Lise'.
Banyak kisah-kisah lucu tentang kepiawaian orang Lise' dalam hal "memainkan bahasa" yang banyak dituturkan hingga kini, mengingatkan kita pada kisah-kisah Mullah Nasruddin Hoja dan Abu Nuwaz. Kemudian pada suatu ketika SidEnrEng disebut pula sebagai "Parumpa'" (penyerbu) berdasarkan gambaran lontara bahwa pada beberapa peristiwa Kerajaan SidEnrEng kerap menyerbu Kerajaan-Kerajaan kecil yang bertetangga dengannya akibat pertaruhan yang dimenangkannya berkat permainan silat lidah. Ketika kerajaan kecil yang kalah bersilat lidah tersebut mengalami kekalahan dalam pertaruhan, maka ia "enggan" untuk menyerah. Maka tidak bisa tidak, Kerajaan SidEnrEng terpaksa menyerbunya dengan menggunakan kekuatan militer untuk merebut kemenangannya.
Hingga akhirnya, bagaimana pula halnya dengan penggambaran karakter orang-orang Soppeng menurut cerita tersebut diatas ?. Bahwa orang-orang Soppeng dikaruniai "asagEnang" (kecukupan, kelapangan) dalam hal pangan. Maka pada tanggal 7 September 2011 yang lalu, penulis bersama Sekretaris Dinas Olahraga, Pemuda dan Pariwisata Kota Parepare mengadakan perjalanan dinas ke Tanjung Bira. Ketika perjalanan tiba di Takkallalla (Soppeng), Pak Sekretaris mengajak singgah pada salahsatu rumah keluarga beliau. Maka Tuan Rumah menyambut seraya menghidangkan teh hangat beserta kue-kue kering. Setelah bercakap-cakap selama beberapa saat, tibalah saatnya kami mohon pamit untuk meneruskan perjalanan. Namun tuan rumah dengan amat santun dan serius menahan kami untuk bersantap siang. "TabE kasi'na.. EbarE' wedding pada mattajengki cinampe'. Nasaba' mannasui anurEta ilaleng.. Purapi' pada manrE esso tapatterru'i lawangetta" (mohon maaf.. kiranya anda sekalian dapat menunggu sebentar. Karena kemenakan anda sedang memasak makanan di dapur.. Nantilah setelah bersantap siang barulah melanjutkan perjalanan).
Maka wasiat telah teruji adanya.. Wallahualam bissawwab.
Alkisah menurut tutur legenda, adalah seorang Panrita AnrE Guru (Sang Guru Pandita) dikenal sebagai seorang yang Sule'sana na Mujarrabe' (Arif nan Mumpuni). Pada suatu ketika, baginda mengadakan muhibah ke perbatasan negeri Bone dengan negeri Wajo, yakni : Pompanua.
Mengetahui jika Sang Panrita tersebut berada di Pompanua, maka segenap raja-raja besar tetangganya berkunjung seraya meminta petuah dan wasiat berharga bagi negerinya masing-masing. Mereka adalah Petta Mangkau'E BonE, Arung Matowa Wajo, Datu SoppEng dan Addituang SidEnrEng. Namun Sang Pandita berujar, "NarEkko paddissengeng mabbarakka' pada nakkattai DatuE, madEcEngngi narEkko bajapi maElE naengkang naripasilolongeng wErEwE.." (sekiranya ilmu berkah yang dikehendaki para junjungan, maka sebaiknya besok pagi kiranya dapat dipertemukan bersama sesuai takdir masing-masing..). Maka keempat Raja Besar Tanah Bugis itu kembali ke markasnya masing-masing.
Esok harinya, menjelang fajar tibalah kembali Arung Matowa Wajo di kediaman Sang Panrita. "Agaro pangElorenna Arung MatowaE lao ri tanana ?" (Apa gerangan keinginan Arung Matowa bagi negerinya ?), tanya Sang Panrita. "Naiyya minasakku, maEloka' asogireng napunnai To Wajo'E" (adapun kehendakku, kiranya orang-orang Wajo itu memiliki kekayaan harta benda..), jawab Arung Matowa. Maka Sang Panrita pun mengajarkan hikmad "asogireng" (kekayaan duniawi) pada Sang Arung Matowa. "iyanaro nassabari namaEga tosogi polE ri Wajo. NarEkko engka Ogi sogi ri saliwengpanua, inamoo naseng alEna Tau polE ri BonE, Soppeng iyarE'ga SidEnrEng, naEkiya manessa engka abbatirengna polE ri Wajo.." (itulah sebabnya sehingga banyak hartawan dari kalangan orang Wajo, Jika anda mendapati seorang kaya di daerah perantauan walaupun sekiranya ia menyatakan diri dari BonE, SoppEng ataukan SidEnrEng, namun mestilah ia memiliki darah Wajo dalam dirinya..).
Setelah Arung Matowa meninggalkan Pompanua, tibalah Petta Mangkau'E ri BonE di tempat itu. Baginda meminta pula hikmad kekayaan duniawi. "Nalani Wajo.. Ellauki' laingngE" (sudah diambil Wajo.. mintalah yang lain), jawab Sang Panrita. Maka ArumponE meminta hikmad "Awaraningeng" (keberanian), ilmu para ksatria. "Iyatoonaro saba' nawarani TobonEdE.. narEkko engka Towarani mulolongeng, manessanitu engka abbatirengna polE bonE.." (itulah sebabnya sehingga sehingga ksatria banyak didapati dari kalangan orang Bone. Sekiranya anda mendapati orang berani, mestilah ia memiliki darah Bone..".
Maka tiba pulalah Datu SoppEng di Pompanua. Baginda meminta hikmad kekayaan. "nalani Wajo.." (sudah diambil orang Wajo), jawab Sang Panrita. Maka baginda meminta hikmad keberanian. "nalatoni BonE.." (sudah diambil pula orang BonE), timpal Sang Mahaguru pula. Akhirnya Datu Soppeng meminta "AsagEnang AnrE" (kecukupan makanan). "narEkko engka naengka sEuwwa wettu tasidapi lEppang ri bolana sEajing TosoppEngta, narEkko natoanaki' waE pella, nannasuangtoni'tu nanrE siagang pakkanrEang pawessori.. nasaba' masagEna mEmengngi anrEna TosoppEngngE.." (sekiranya pada suatu ketika anda bertamu pada salahsatu rumah keluarga di SoppEng, jika tuan rumah menghidangkan secangkir teh hangat, maka pastilah ia sedang menanak nasi pula beserta lauknya yang mengeyangkan perut bagi anda. Karena memang orang SoppEng itu diberkahi kecukupan pangan adanya..)
Akhirnya tibalah Addituang SidEnrEng di Pompanua. Ketiga Raja sejawatnya telah lama meningalkan tempat itu. Sang Addituang meminta hikmat Kekayaan namun telah diambil oleh Wajo. Lalu ia meminta pula rahasia Keberanian, tapi Bone telah mengambilnya terlebih dahulu. Maka baginda meminta ilmu Kecukupan pangan, namun Soppeng telah mengambinya pula. Tinggal satu ilmu kikmat yang tersisa, yakni : PanrE Ada (ahli diplomasi). Maka apa boleh buat, kiranya hanya itulah yang dapat dipelajari Addituang SidEnrEng. "..Ejaji naiyya TosidEnrEngngE malise'i na mateppu wErEkkadana.." (maka sesunguhnya orang-orang SidEnrEng mengatur kalimat yang berisi dan jelas adanya..)
........................................................................................................
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah tersebut jika ditinjau dari sudut pandang sejarah, beberapa hal menarik untuk disimak untuk mengenal karakteristik kemasyarakatan masing-masing 4 wilayah besar yang mewakili tanah Bugis pada umumnya. Walaupun tentu saja kisah tersebut dapat disanggah oleh petuah lama lainnya, yakni antara lain : Aja' lalo naEnrE' bola limaE passaleng : NapalEcEwE To Wajo, nagelliE To BonE, narumpa'E To SidEnrEng, nagerra'E To EnrEkeng, nadoti To Menre'.. (semoga kiranya tidak akan pernah terjadi menimpa kita pada lima hal : dibujuk oleh orang Wajo, dimarahi orang Bone, diserbu oleh orang SidEnrEng, dibentak orang EnrEkang, diteluh orang Mandar...).
Selintas kedua petuah lama mengenai karakter masyarakat tersebut agak berbeda, namun jika dicermati lebih dalam maka didapati kesesuaian, terlebih pula jika menjenguk kurun waktu serta latar belakang lahirnya petuah tersebut. Orang-orang Wajo digambarkan oleh kisah petuah sebagai hartawan, maka keahliannya untuk "membujuk" merupakan karakter khas yang mutlak sebagai "basic skill" bagi seorang penjual maupun saudagar. "Naiyya To Wajo'E nalebbireng nakurangiE balanca naiyya nakurangiE bicara.." (Sesungguhnya orang-orang Wajo itu lebih memilih kehabisan uang daripada kehabisan bicara..), demikian ungkapan yang kerap didengar perihal orang-orang Wajo.
Adapun halnya "keberanian" yang dikhaskan bagi orang BonE, dibenarkan atau setidaknya memiliki relevansi pada petuah kedua bahwa watak seorang pemberani tidak mudah marah namun biasanya sulit dipadamkan sekiranya sudah marah. Begitu pula dengan orang SidEnrEng yang digambarkan sebagai "PanrE Ada" (Ahli Diplomasi) yang diperwatakkan sebagai "Parumpa'" (penyerbu) pada petuah kedua. Pada beberapa kejadian yang juga ditulis pada beberapa Lontara, bahwa Kerajaan SidEnrEng memiliki negarawan yang ahli diplomasi, yakni : NEnE Mallomo. Selain itu, salahsatu anak negeri SidEnrEng yang terkenal pula sebagai negeri para PanrE Ada, yakni : Lise'.
Banyak kisah-kisah lucu tentang kepiawaian orang Lise' dalam hal "memainkan bahasa" yang banyak dituturkan hingga kini, mengingatkan kita pada kisah-kisah Mullah Nasruddin Hoja dan Abu Nuwaz. Kemudian pada suatu ketika SidEnrEng disebut pula sebagai "Parumpa'" (penyerbu) berdasarkan gambaran lontara bahwa pada beberapa peristiwa Kerajaan SidEnrEng kerap menyerbu Kerajaan-Kerajaan kecil yang bertetangga dengannya akibat pertaruhan yang dimenangkannya berkat permainan silat lidah. Ketika kerajaan kecil yang kalah bersilat lidah tersebut mengalami kekalahan dalam pertaruhan, maka ia "enggan" untuk menyerah. Maka tidak bisa tidak, Kerajaan SidEnrEng terpaksa menyerbunya dengan menggunakan kekuatan militer untuk merebut kemenangannya.
Hingga akhirnya, bagaimana pula halnya dengan penggambaran karakter orang-orang Soppeng menurut cerita tersebut diatas ?. Bahwa orang-orang Soppeng dikaruniai "asagEnang" (kecukupan, kelapangan) dalam hal pangan. Maka pada tanggal 7 September 2011 yang lalu, penulis bersama Sekretaris Dinas Olahraga, Pemuda dan Pariwisata Kota Parepare mengadakan perjalanan dinas ke Tanjung Bira. Ketika perjalanan tiba di Takkallalla (Soppeng), Pak Sekretaris mengajak singgah pada salahsatu rumah keluarga beliau. Maka Tuan Rumah menyambut seraya menghidangkan teh hangat beserta kue-kue kering. Setelah bercakap-cakap selama beberapa saat, tibalah saatnya kami mohon pamit untuk meneruskan perjalanan. Namun tuan rumah dengan amat santun dan serius menahan kami untuk bersantap siang. "TabE kasi'na.. EbarE' wedding pada mattajengki cinampe'. Nasaba' mannasui anurEta ilaleng.. Purapi' pada manrE esso tapatterru'i lawangetta" (mohon maaf.. kiranya anda sekalian dapat menunggu sebentar. Karena kemenakan anda sedang memasak makanan di dapur.. Nantilah setelah bersantap siang barulah melanjutkan perjalanan).
Maka wasiat telah teruji adanya.. Wallahualam bissawwab.