Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Selasa, 09 November 2010

Warii (Pranata)

PassEajingeng (Bag. 1)

"PassEajingeng" jika ditranskrip ke Bahasa Indonesia, adalah : Kekerabatan. Mengingat topik bahasan ini cakupannya sangat luas, maka terlebih dahulu ada baiknya jika menyimak kalimat yang diwasiatkan Petta Pabbicara DaEng Malebbi, bahwa : "NarEkko sikamo'-kamokengngi MaradEkaE, sikaka'-kakakenggitu ArungngE. NarEkko sikaka'-kakakenni MaradEkaE, sidaEng-daEngengi tu ArungngE. NaEkiya, narEkko siDaEng-daEngengni MaradEkaE, sipueng-puengko iko ArungngE.." (Kalau para orang MaradEka saling memanggil "kamo'", maka para Bangsawan saling memanggil "kaka'". Kalaulah para orang MaradEka saling memanggil "kaka'", maka para Bangsawan saling memanggil "DaEng". Namun jika para MaradEka sudah saling memanggil "DaEng", maka saling memanggil "Puang"lah kalian wahai para Bangsawan..).
...................................................................................................

Berawal pada suatu pagi dimusim penghujan. Waktu itu penulis berusia belasan tahun. Ayahanda mengajakku untuk menyertainya bersama sepupu sekaliku (Muhammad Badawi) untuk berkunjung ke beberapa sanak keluarga di WEle'E (Belawa Timur). Berhubung karena jalanan sangat becek (Jalanan Tanah), maka kami terpaksa berjalan kaki. Setelah kami tiba di depan mesjid kampung Lonra, kami berpapasan dengan seorang laki-laki berkulit agak hitam manis, mengenakan songkok hitam. Lalu ayahanda menyapanya : "Manguju lao tEgai senna Petta, Pung ?" (Menuju kemana kiranya "Paduka", Tuanku ?). Lelaki itu berhenti seraya memperbaiki letak sarung dan songkoknya, kemudian menjawab : "TomaElo lao OngkoE, Pung. TEga tosi palE manguju Petta ?" (Hendak ke OngkoE, Tuanku. Lalu kemana kiranya menuju pula ?). Maka mereka berbincang sejenak dengan saling memanggil "Puang" satu sama lainnya. Waah, saya tercengang mendengar percakapan yang menurutku "aneh" pada waktu itu. "MadEcEngni palE', massimangni Atanna Petta, Pung" (Baiklah, kalau begitu Patik mohon pamit, Tuanku), kata Ayahanda mohon pamit diakhir perbincangan yang amat akrab itu. Maka orang tersebut menyahut, "IyE', nassimangi alEna Petta, Pung" (Iya, Paduka memohon pada dirinya sendiri, Tuanku)....

"Niga Tau Ero onnangngE', Etta ?" (Siapakah gerangan orang itu tadi, ayahanda ?), tanyaku penasaran ketika orang itu sudah agak jauh. "Iyanaro riyaseng alEna Petta Caci, na'" (Beliau itu bernama Petta Caci, nak). Saya terdiam dan berpikir banyak tentang kejanggalan yang berputar dibenakku. Rupanya ayahanda dapat membaca keherananku tersebut. "Angkalingai madEcEng, Ana' Oddang.. DE'sahatu nakkatanrEang bicara Wija ArungngE. DE'to natajeng ripakalebbii. NaEkkiya, makkabEddangmi mappakalebbii. Naiyyaro onnangngE' Petta Caci appangna Petta Jinnirala Andi JalantE'. Appang maraja polE ri Arung Matoa Batara Wajo. Naiyya idi' wijannaki' Petta Pangulu Barisi'na Belawa. Tositeliina na siasirii Petta Jinnirala SengngengngE ri MallinrungngE... Iya uwissengngE Malebbii manengtu ana' Wija-wijanna Petta Jinnirala nasaba' napakkEade wariina lettu' ri teppa timungna. NaEkiya namanaa mato awaraningengna.." (dengarlah baik-baik, anak Oddang. Keturunan Bangsawan yang sebenarnya tidak saling meninggikan diri antara satu sama lainnya. Mereka tidak pula saling menunggu dihargai dari yang lain. Bahkan mereka saling mendahului memuliakan satu sama lainnya. Beliau tadi itu adalah Petta Caci, salahsatu rumpun anak keturunan Petta Jinnirala Andi JalantE'. Rumpun yang agung dari Arung Matoa Batara Wajo. Lalu kita adalah anak keturunan Petta Pangulu Barisi'na Belawa. Orang yang saling mengangkat saudara dan saling menghargai Petta Jinnirala SenggengngE ri MallinrungngE... Menurut pengetahuanku, Anak keturunan Petta Jinnirala semuanya sangat mulia disebabkan karena tata kramanya yang ketat hingga pada tata bahasanya yang baik. Kemudian mereka pula mempusakai keberanian leluhurnya...).

Pengalaman kecil itu sangat berkesan bagiku, hingga penjelasan "guruku" tersebut hampir-hampir kuhapal diluar kepala. Maka menurutku, "Warii" yang dalam hal ini kumaknai sebagai "pranata" atau Tata Protokoler Masyarakat Adat dalam arti sebenarnya, adalah nilai paling luhur yang menjadi "inti" dari "Pangadereng Ugi" itu sendiri. Sebuah aturan tidak tertulis yang diterapkan dalam lingkupnya masing-masing dengan sangat ketat, namun tidak lepas dari nilai luhurnya untuk saling menghargai satu sama lainnya dengan tulus serta kerendahan hati.

Selama perjalananku yang berpindah-pindah pada hampir semua kabupaten di Sulawesi Selatan (1992-2002), kudapati nilai "Wari" yang bersendikan "Ade' Sipakalebbii" pada semua keluarga Bangsawan setempat. Penulis pernah bertemu dan bergaul dengan mereka, diantaranya : Pada Putera-Puteri Almarhum Andi Amin KaraEng Bonto Tiro (Kab. Bulukumba), Putera-Puteri KaraEng TanabEru (Bulukumba), Opu Tuan Abd. Halid (Almarhum) sekeluarga di Panrangluhu (Tanjung Bira-Bulukumba), Andi Amin Sekeluarga di DauhE (Tanjung Bira-Bulukumba), S. Abd. Wahid KaraEng Raga di Jeneponto, Andi Cawa Miri bersaudara (Rumpun BEttEngpola), Andi Takko' (Rumpun Arung Matoa Wajo LaoddangpEro Datu Larompong), Andi Bengawan Basir (Rumpun Arung Matoa Batara Wajo), Andi Sahibuddin (Rumpun Arung Matoa Batara Wajo / Arung Gilireng), Andi Bau' Sumange' Rukka (Rumpun Andi Mappanyompa Datu KapE Maddareng Pammana), Andi Juanda (Rumpun Andi Mappanyompa Datu KapE Maddareng Pammana), Andi Baso Pawiccangi (Rumpun Andi Abdullah Bau' MassEpE Datu Suppa), Andi Ahmad Manggabarani (Rumpun KaraEng TinggimaE) dll... Semuanya menerapkan adat tata bahasa dan tata krama yang memuliakan satu sama lainnya dengan begitu ketat dan mulianya.

Kesemuanya itu tidak pernah menyebut diri dan anak-anaknya sebagai "Andi Anu..".Namun masyarakatlah yang menyebutkan gelar mereka dengan penuh hormat. Sebuah kisah menarik yang dituturkan oleh Bp. Drs. Djamaluddin, M.Pd (Ketua PGRI Kota Parepare) tentang seorang Bangsawan Tinggi dari Wajo, yakni : Andi Makkulawu. Beliau adalah seorang aristoktrat  yang menduduki jabatan tinggi sebagai "Petta CakkuridiE ri Wajo", sebuah kedudukan yang setingkat menteri. Beliau pula adalah Bupati I Kabupaten Pinrang serta memperisterikan Sitti Rukiah KaraEng Balla'sari Addatuang Sawitto ke-XV (Puteri Andi Mappanyukki' Sultan Ibrahim Petta MatinroE ri Gowa Mangkau' ri Bone ke-XXXII/XXXIV dengan BessE' Bulo). 

Pada suatu hari, Datu Makkulawu datang berkunjung ke rumah Andi Patonangi di Suppa. Kebetulan pada saat itu Bp. Jamaluddin sedang duduk-duduk di depn rumah tersebut. Tak disangka, DatuE mengucapkan salam lalu bertanya, : "Engkamiga Petta Tonang, Ana' ?" (Apakah Petta Tonang ada di rumah, nak ?). Bukan main ! Seorang Bupati dan Bangsawan Tinggi  menyebut "Ana'" pada siapapun yang lebih muda darinya serta menyebut "Petta" pada siapapun yang disebut "orang lain" seperti  itu.  Pada saat lain di suatu hari di Parepare (sewaktu beliau menjabat sebagai Walikota), Datu Makkulawu menyetop tukang becak. "TabE', ndi'. Tatulung mana' tantara'ka lao ri Cappa Ujung.." (Maaf, dik.Tolong antar saya ke Cappa'Ujung..). Menurut kesaksian Saudara Andi Darwin, bahkan ketika Sang Datu sedang menjadi Anggota DPR/MPR RI  pada tahun 70-an, sikap bersahajanya tetap seperti itu. Pertanyaannya, apakan dengan begit, Datu Makkulawu menjadi turun derajatnya ?... Silahkan dijawab menurut pendapat anda sendiri.. Wallahualam Bissawwab..._

Tidak ada komentar:

Posting Komentar