Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Legenda

CENRANA, Aju Maddara Tau
(Cendana, Pohon berdarah Manusia)

Salahsatu legenda yang termahsyur, adalah : Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari di Jawa Timur. Legenda itu ditandai dengan adanya kolam permandian yang kini menjadi salahsatu objek wisata di Kabupaten Tuban. Alur cerita rakyat tersebut mengingatkanku pada "Cenrana Maddara Tau", sebuah legenda Tanah Bugis yang membuahkan kepercayaan pada kalangan masyarakat Bugis hingga hari ini.

Tersebutlah sejenis kayu yang banyak tumbuh di kawasan Indonesia bagian Timur, yakni : Kayu Cendana (Sandal Wood). Getahnya berwarna merah dan aromanya menebarkan keharuman yang khas. Kayunya yang kuat dan berserat halus nan indah itu dipergunakan sebagai bahan perkakas yang dimuliakan, misalnya : Sarung Badik atau keris, dinding "jajareng" pada rumah kaum Bangsawan dan sebagai salahsatu unsur ramuan kayu yang ditempatkan pada wuwungan Saoraja (Istana). Adalah hal yang sangat terlarang (pEmmali) jika mempergunakan kayu cendana sebagai lantai pada rumah panggung atau dipan (ranjang). Perlakuan khusus ini berawal pada sebuah alur kisah dalam Legenda CEnrana Maddara Tau.

Legenda ini adalah sebuah kisah sedih yang kerapkali mengantar tidur lelapku. Tatkala kuberbaring diatas ranjang besi dimalam hari. Nampak dari dalam kelambu renda, samar-samar cahaya lentera minyak tanah yang temaram menerangi ayahandaku yang berkisah. Suaranya bergema di hatiku hingga kini...

Penghuni Lembah


Alkisah di Negeri Tompotikka, seorang pemuda tinggal menetap pada sebuah lembah. Namanya La Sangpuraga. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya dan mengapa ia tinggal menyendiri pada tempat sunyi itu. Setiap pagi hari ia senantiasa duduk berdiam diri diatas sebongkah batu besar yang terletak di pinggir telaga depan rumahnya. Tiada lain yang dilakukannya selain merenungi rerimbun bunga melati yang tumbuh liar di pinggir telaga itu. Lalu senja hari telah tiba, pemuda berparas tampan namun berwajah murung itu melangkah gontai menuju kembali ke rumahnya... Burung-burungpun kembali ke sarangnya, dikala permukaan telaga kini bermandikan sinar lembayung senja, pertanda matahari beranjak ke peraduan malamnya.

Sang Rembulan telah menampakkan diri seraya berkaca tanpa kata dipermukaan telaga yang tenang. Sampuraga menatap sendu pada sang dewi malam itu. Ooh, Sang Dewi.. Kau hanya menjenguk telaga cermin dirimu, bukan mengunjungi diriku.., keluhnya pedih. Perlahan ia meniup sebatang suling bambu yang digenggamnya sejak tadi. Bukan mulutnya yang meniup, melainkan hatinya. Bukan pula irama sulingnya yang berlagu, melainkan nuraninya. Alunan getar rasa gundah itu mengalun lambat memenuhi seantero lembah sunyi itu. Perasaannya yang gundah gulana menggetar lembut hingga membubung tinggi, mengusik Sang Rembulan yang sedang merenungi wajahnya yang pucat... Bunyi tiupan itu terasa mendayu-dayu, memetik dawai sukmanya yang dingin membeku selama ini. Duhai, Irama suling. Siapa gerangan peniupmu ?, bisiknya bersimbah air mata yang berjatuhan menimpa rerimbunan melati yang menebar keharumannya.

Sinar sang rembulan perlahan meredup. Irama suling yang mendayu-dayu merintih menyedot segenap sukmanya. Malam purnama penuh mulai gelap. Burung-burung malam dan serangga mulai ribut, menjerit tak beraturan. Penduduk yang menghuni perkampungan dibalik lereng lembah mulai khawatir.Rembulan adalah sumber kehidupan yang menjaga keseimbangan alam dikala matahari sedang tertidur. Serentak mereka mengambil alu seraya menumbuk-numbukkannya pada lesung kayu yang mereka miliki. Bunyi alu itu bertalu-talu hingga lama kelamaan membentuk irama tersendiri. Nada yang terhimpun oleh orang sekampung itu menghentak, menggugah sang rembulan yang terhanyut digulung alunan seruling Sampuraga. "Narippungni paimeng bannapatinna, napaddepungengngi lE' sumange'na..", ditangkapnyalah kembali jiwanya, seraya menghimpun kembali semangat hidupnya.. Cahayanya mulai bersinar kembali, lembut menyapu alam raya yang mulai terlelap dalam mimpi tidur malamnya.

La Sangpuraga menghentikan tiupan serulingnya. Iapun tergugah oleh bunyi tumbukan lesung dari lereng gunung seberang lembah. Pemuda itu merebahkan diri pelataran batu datar yang didudukinya. Matanya menatap jauh keatas langit malam, seakan mencoba menembus rerimbunan bintang-bintang berkelip. Angannya melayang jauh membubung tinggi hingga tersangkut entah dikhayangan lapis berapa.. Matanya terpejam seraya beranjak memasuki gerbang mimpinya. Sangpuraga tertidur memenuhi fitrah raganya, meringkuk seraya memeluk seruling kesayangannya...

Pertemuan...

Matahari telah meninggi hingga diatas wuwungan rumah tunggal di pinggir telaga itu. Air mata sang rembulan yang bertebaran dipucuk dedaunan kini menguap entah kemana.. Sang kekasih siang takkan membiarkan deraian air mata dewi pujaannya terjatuh ditelan bumi. Burung-burung terbang berkejaran dengan riangnya. La Sangpuraga tergolek diam dalam tidurnya diatas batu yang tergolek dibawah sebatang pohon yang rindang. Wajahnya yang tampan nampak tenang bagai bayi terlelap dalam buaiannya. Kerut diantara kedua alisnya seakan menguap bersama embun pagi. Garis-garis wajah yang kerap dihimpit derita itu seakan sirna membaur dalam mimpi indahnya. Mimpi apakah gerangan ?.. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis, menandai betapa rupawannya pemuda ini. Tiba-tiba ia tersentak, terbangun dari tidurnya. Aroma mimpi indah telah raib, tersentuh alam nyata. Kerut wajahnya timbul kembali, seakan ikut terbangun dari mimpi tentramnya.

Bunyi kecipak air telaga ditingkahi suara cekikikan wanita, menggugah tidurnya. Nun jauh diseberang telaga yang menyerupai danau kecil itu, beberapa wanita sedang mandi sambil bermain air. La Sampuraga beranjak dari tempatnya, mengendap-endap dibalik rerimbunan melati mendekati mereka. Tak tergambarkan bagaimana indahnya panorama yang terhampar dihadapannya. Tujuh gadis yang luar biasa jelitanya sedang berenang hilir mudik sambil bercanda riuh rendah dengan riangnya. Mereka sama muda dan sama moleknya. Kecantikan yang sempurna, mustahil dimiliki oleh seorang manusia. Tidak jauh dari tempat itu, seberkas cahaya tujuh warna sedang mendarat dihamparan bebatuan dimana tergeletak pula beberapa carik kain selendang berwarna warni. "Agaknya mereka ini adalah bidadari dari Boting Langi..", pikir La Sampuraga. Tanpa menerbitkan suara, ia mengendap mendekati seraya meraih secarik selendang berwarna putih, kain terdekat yang dapat disodok dengan menggunakan bilah serulingnya. Dengan amat hati-hati, digulungnya selendang tipis itu lalu diselipkan dibalik lipatan sarungnya seraya bergegas menuju kembali ke rumahnya. Disimpannya selendang itu di loteng rumahnya yang tinggi, pada tempat tersembunyi yang hanya ia sendiri mampu membukanya.

Air murni yang memancar langsung dari pertiwi adalah hal yang paling disukai para dewi dari khayangan. Mereka mandi sambil bercengkrama sepuas-puasnya di telaga lembah itu. Tak terasa, waktu semakin merambat cepat. Matahari semakin meninggi, menebarkan sinarnya yang kian memanas. "Adinda semua, matahari mulai terik. Sinar pelangi mulai memudar. Marilah kita naik segera..". seru salah seorang yang rupanya paling tertua diantara mereka. Maka adik-adiknya menuruti dan bersegera kepinggir telaga seraya memasang "Larikkodo", selendang kedewiannya masing-masing. Namun, salah seorang bidadari itu tidak menemukan selendangnya. Saudarinya yang lain ikut mencari kesana kemari, namun tidak menemukannya jua. " Agaknya tempat ini baru saja didatangi manusia. Baunya masih tercium sampai disini.. ", Kata salahsatu bidadari yang dibenarkan yang lainnya. "Pasti orang itu yang mengambil selendangmu, dinda.", kata sang kakak cemas. Tak terbendung lagi, pecahlah tangis sang dewi yang kehilangan larikkodonya. Rasa panik akan ketakutannya akan ditinggal di tempat asing itu menimbulkan kengerian yang tak terbayangkan. "Lalu bagaimana dengan nasibku kini ?", tanyanya disela isak tangisnya.

Saudari-saudarinya tidak dapat berkata dan berbuat lain lagi. "Bersabarlah, adikku. Mungkin ini sudah ketentuan Dewata SEuwwaE (Dewata yang Tunggal) yang menakdirkanmu untuk menjadi tunas baru di Attawareng (dunia) ini..", kata Sang Dewi yang tertua. Akhirnya  mereka bergantian memeluk saudarinya yang malang itu, lalu melayang naik ke angkasa mengikuti alur lengkungan pelangi yang mulai memudar..

Tinggallah sang bidadari berdiri lunglai dengan kesedihan tak terperi. Dibalik genangan air matanya yang bening, ia memandangi saudara-saudaranya yang terbang melayang hingga bayangannya hilang dari pandangan. "Oh, Dewata SeuwwaE. Akkalarapangeng aga tongengsa kasi'na mupalEtEiyangngi atammu.. Agana gau'ku..?" (Oh, Dewata yang Tunggal. Cobaan apa gerangan yang Engkau timpakan pada hambamu ini..Apalah lagi dayaku kini ?), rintihnya memelas. Sepasang mata dari balik rerimbunan melati menyaksikan peristiwa itu dengan suasana hati tak menentu. Sampuraga telah berada di tempat sejak tadi. Rasa bersalah dan iba bercampur dengan takjub kini mengaduk-aduk hatinya.Dengan hati-hati ia keluar dari persembunyiannya, seraya mendekati Sang Dewi.

"Duhai, Sang Dewi. Apa gerangan yang membuatmu berduka ?", tanyanya dengan lembut. Sang Dewi mengangkat wajahnya seraya memandang Sampuraga dengan matanya yang bersinar teduh bak purnama. Pemuda yang dihimpit sepi itu terpana. "Sungguh, ini bukanlah sepasang mata.. melainkan sepasang bulan khayangan..", batinnya. "Aja'na takkutana, pau bawangni.. Aga sitongenna pattujungta ?" (Usahlah ditanya, katakan saja.. Apa gerangan yang kau inginkan ?), kata Sang Dewi balik bertanya. Entah dengan ramuan kosa kata yang bagaimana lagi kiranya dapat menggambarkan perasaan Sampuraga ketika itu. Seorang jejaka "canggung" yang sedang jatuh hati pada pandangan pertama.., lalu "ditodong" dengan pertanyaan tanpa basa-basi. 

Dipanggilnya segenap daya hidup dalam dirinya. Sampuraga menjawab dengan suara gemetar, seakan bukan bibirnya yang berucap, melainkan sukma jiwanya yang berkata, "Iyya tongeng minasaE, upangolo ri cappa ajEta lettu' ri cappa' gemme'ta. Uporennu  pasitonrai melle' temmaggangkaaku lao ridi', nasimata marEllau assimang lao ri sEsE alebbirengta.." (Maksudku yang sesungguhnya, kuhadapkan di ujung kaki hingga di ujung rambutmu, tiada lain harapan kasihku yang tiada terhingga kepadamu, seraya kumohonkan maaf terhadap kemuliaan dirimu..). Ia mengutarakan hasratnya dengan penuh kerendahan hati. "Iya sia minasakku, mattonra jari tokki, lEtE ri Manipi" (Adalah yang menjadi harapanku, berpegangan tangan denganmu, hingga ajal menjemput..)..

Inilah keajaiban bahasa !. Amarah yang meluap, padam seketika oleh tutur kata yang lembut nan halus. Seni sastra yang terkandung dalam setiap bahasa, mampu membuka pintu hati bagi setiap nurani. Namun yang lebih ajaib lagi adalah : Cinta. Sebuah rasa yang mengalir lembut pada sungai ketulusan. Namun arus derasnya mampu menghanyutkan setiap mahluk yang memiliki hati, bahkan seorang dewi khayangan sekalipun. Tetapi yang lebih berkuasa diatasnya, adalah : Jodoh. Sebuah ketentuan yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa terhadap mahluk-mahlukNya. "Tellu tenre' lEsangenna, Totoo'E na WErEwE, enrengngE Pura makkuwaE.." (Tiga hal yang tak dapat dielakkan : jodoh, rezeki dan nasib).

Cinta pada pandangan pertama, itulah yang terjadi pada kedua mahluk yang berasal dari alam berbeda itu. Jodoh adalah aturan yang tak terbantahkan. "Mauni luttu massuwajang, riwrinna bittaraE, nasilolongeng mua.." (Walau terbang jauh ke angkasa, hingga di tepian langit sekalipun, akan saling mendapatkan jua..). Segalanya tumbuh bersemi seketika itu juga. Sang Dewi menyambut kasih anak manusia itu dengan kekaguman hati yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa yang aneh, sesuatu yang medebarkan jantung dan semangat hidupnya yang sebelumnya dihimpit cemas dan kekhawatiran. Kini ia merasa tentram dan damai didekat pemuda itu. Lupalah dengan rasa sedihnya, sirna tak berbekas.. "Iya engkamu manguju, Matteta' waju mua, temmatimumpaju.." (Dikala dikau mengutarakan cintamu, Jiwaku terasa segar bugar...), sambutnya dengan suara rendah, hampir tak terdengar. Kemudian disambungnya lagi, "Jorii allempuno mai, mulise' Saoraja, muparEwa panrE.." (Duhai garis menujulah kemari, mulia bagai penghuni istana, kearifan para orang bijak ...). Maksudnya tiada lain : kuterima pinanganmu, karena dikau berbudi luhur nan mulia serta arif lagi bijaksana...).

"NaEkia engka parEllaukku lao ridi', Daeng. IyyEtona sompata lao ri alEku.." (Namun adinda memiliki satu permintaan padamu, kanda. Ini pulalah yang menjadi maharmu terhadapku..", ujar Sang Dewi. "Tapauni,ndi'. Aga parEllautta ?. Nasaba' iyaro mai melle'ku, tebbuluu tettanEtE, lappaa maneng muwa.." (Katakanlah, dinda. Apa gerangan permintaannmu ?. Karena kasih mesraku padamu, bukanlah gunung dan perbukitan, melainkan dataran yang lapang jua..), sahut La Sangpuraga dengan hati yang berbunga-bunga, menebarkan keharuman yang lebih semerbak dari seluruh kembang melati yang tumbuh di Lembah itu. "Naiyya uwEllau ridi', DaEng, aja' lalo tateppui asengku.Namoo sisengmuwa. Nasaba' akko tateppui, tatteppanitu taro assarangengta.. iyamiro bawang." (Adapun permintaanku, kanda.. Jangan pernah menyebut namaku. Walaupun cuma sekali. Karena apabila kanda menyebutnya, maka jatuhlah takdir perpisahan kita. Hanya itu..).

Alangkah leganya hati La Sangpuraga. Dikiranya permintaan Sang Dewi adalah sesuatu yang mustahil, misalnya mengeringkan telaga didepannya. Tanpa berpikir panjang dia menyanggupi permintaan itu. Namun dia bertanya jua, "Niga mEmeng palE aseng malebbita, ndi' ?. Tapauwangnga' EbarE' uwissengngi nadE urampEi" (Lalu siapakah namamu yang sebenarnya, adinda ?. Sebutkanlah agar kanda mengetahuinya untuk tidak menyebutnya..). Sang Dewi menunjuk pada rumpun bunga melati yang bermekaran, "Naiyya asengku, pada balona iyaaro unganna bunga-bungaEdE.." (Namaku adalah warna yang sama dengan warna kembang itu..), jawabnya.

Pada Akhirnya ...

Kedua inzan itu akhirnya dinikahkan oleh takdirnya. Mereka tinggal menetap di tempat sunyi itu dengan saling berbagi kasih. La Sangpuraga kini bukan lagi seorang pemuda yang pemurung dan penyendiri. Hari-harinya kini terasa bermakna. Tiada lain yang dipikirkannya selain membahagiakan isterinya tercinta. Begitu pula dengan Sang Dewi, ia menerima limpahan kasih suaminya dengan hati yang senantiasa memekarkan bunga tak bermusim. Mappammulani siampalu', Sitakka wiring lipa', Sisompung wEluwa' (Hatinya telah tertaut saling membelit bagai jalinan, menjelma dalam cinta kasih yang teramat dalam, bagai rambut yang saling menyambung..).

Saat demi saat, berkumpul dalam himpunan waktu.. Waktupun merambat hingga menamakan diri sebagai suatu masa. Pasangan yang berbahgia itu kini dikarunia seorang anak perempuan yang amat manis. Mereka menamai puteri buah hatinya itu, We Dalauleng. Pada suatu hari, La Sangpuraga sedang meraut rotan di depan rumahnya. Puterinya sedang asyik bermain-main didekatnya. Sementara itu, isterinya sedang mencuci pakaian di pinggir telaga, tidak jauh dari tempat itu. Tiba-tiba We Padauleng menjerit seraya menangis sambil memegangi jari tangannya. Ia teriris belahan rotan yang telah diraut ayahnya. La Sampuraga terkejut dan segera menggendong puterinya. Namun alangkah terkejutnya lelaki itu ketika melihat darah yang mengucur dari luka di jari puterinya berwarna putih seperti getah pohon Ara !. "Mabussa daraana !" (Darahnya berwarna berwarna putih !), teriaknya tanpa sadar. "Bussa" sesungguhnya adalah kosa kata Bahasa Bugis kuno yang kini berganti menjadi "PutE", berarti : Putih.

Mendengar teriakan La Sangpuraga, Sang Dewi meninggalkan cuciannya lalu merengut dan mendekap puterinya dengan air mata bercucuran. Ia menciumi We Dalauleng sambil menangis terisak-isak dengan hati hancur, dilanda sedih yang teramat mendalam. La Sangpuraga menyaksikan itu dengan terheran-heran. Belumlah usai terkejutnya melihat darah puterinya yang berwarna putih, kini isterinyapun bertingkah aneh. "Apa gerangan yang terjadi, Adinda ?", tanyanya cemas. "Kanda Sangpuraga yang tercinta. Mungkin tanpa kau sadari, kau baru saja menyebut namaku yang berarti tibalah masanya takdir memisahkan kita..", jawabnya sambil menangis. Bagai petir yang menyambar di telinganya, seperti itulah yang dirasakan La Sangpuraga ketika itu.. Ia terdiam bagai patung dan menerima puterinya yang diangsurkan isterinya yang bergegas naik ke rumah. Pandangan matanya kosong, bagai kehilangan kesadarannya.

Entah apa yang dicarinya diatas rumah, namun agknya tidak didapatinya jua. Sang Dewi berlari menuruni tangga dengan air mata yang menggenang pada wajahnya yang jelita. Tiba-tiba Sangkuraga teringat sesuatu serta mendapatkan kesadarannya kembali. "Percuma kau cari selendang itu, Adinda. Aku sudah membakarnya beberapa waktu yang lalu..", katanya dengan sedikit harapan yang terlintas pada mendung pikirannya. Sang Dewi memandangi dalam-dalam lelaki yang dicintainya itu seraya tersenyum pedih. "Ketiadaan selendang itu bukanlah halangan bagi takdir perpisahan kita, suamiku. Karena sesungguhnya ini bukanlah kemauanku.. melainkan kehendak DEwata yang Tunggal. Selamat berpisah, suamiku tercinta. Jaga dan rawatlah anak kita dengan sebaik-baiknya..". Setelah mengatakan kalimat terakhirnya itu, ia berlari menuju sebatang pohon besar yang tumbuh didekat batu datar di pinggir telaga. "ibuu.. jangan tinggalkan akuu..", jerit We Dalauleng menggenaskan. "Jangan tinggalkan kami, isteriku...", pinta La Sangpuraga yang terdengar bagai keluhan semilir angin yang berlalu..

Wanita khayangan yang malang itu berlari dan berlari dengan hati bagai teriris sembilu mendengar jeritan suami dan puterinya tercinta. Ketika semakin mendekati pohon besar itu, tiba-tiba batang pohon itu terbelah. Sang Dewi masuk kedalamnya. Perlahan batang pohon yang terbuka menyerupai rongga itu mulai tertutup. La Sangkuraga yang sedang menggendong puterinya berlari mengejar untuk menarik keluar isterinya dalam lubang pohon itu. Namun upaya terakhir itu terlambat.. tangannya hanya mampu meraih beberapa helai rambut Sang Dewi yang kini tidak nampak lagi didalam rongga pohon yang tertutup rapat.. Ia berlutut dan menjerit sejadi-jadinya, seraya memanggil nama isterinya yang tercinta. "Ooo..Bussaaaaaa...", puterinya ikut menangis dalam dekapannya.

Entah berapa lama ia berlutut sambil mendekap puterinya yang entah tertidur atau pingsan.. Petir sambung menyambung menyambar seakan ingin melebur lembah yang dilanda duka itu. Tiba-tiba terpancar sinar pelangi dari batang pohon besar didepan La Sangpuraga. Tercium aroma keharuman yang semerbak mewangi, ..aroma keharuman tubuh isterinya yang amat dikenalnya. Terdengarlah suara isterinya yang seakan datangnya dari segala arah. "Kakanda, tabahkan hatimu. Ada pertemuan, berarti ada pula perpisahan.. Inilah ketentuan takdir yang ditetapkan oleh Dewata SeuwwaE terhadap kita. Namun janganlah khawatir, kelak akan tiba waktunya bagi kita berdua untuk bersama selamanya. Maka untuk sementara ini, peliharalah puteri kita sebagai wujud tunas kita berdua. Jika suatu saat ia merindukanku, maka bawalah ia kebawah pohon ini.. ia akan merasakan kehadiranku...". Lelaki malang itu mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepala tanpa menjawab sepatah katapun. Kerongkongannya terasa tercekik, dadanya terasa sesak oleh haru dan sedih yang seakan meluluhlantakkan jiwanya.....Lao mani' uwissengngi, AlEku natarana', Sara ininnawa (Setelah kepergianmu barulah kutahu, Jika diriku kini dilanda sedih, Derita batin yang tak berkesudahan...)
...........................................................................................................

Demikian menurut kata legenda. Sejak itulah pohon besar tempat raibnya Sang Dewi dikenal sebagai pohon CENRANA. Pohon yang disakralkan karena bergetah merah yang menyerupai darah manusia. Pada getah pohonnya menebarkan keharuman khas yang diyakini sebagai aroma bidadari dari khayangan. Adapun halnya dengan We Dalauleng, inilah salah satu tunas leluhur yang dianggap sebagai salahsatu cikal bakal para Bangsawan Bugis yang berpadu dengan Wija ManurungngE di Luwu dan Tompotikka.
 
Wallahualam Bissawwab.......... 


LEGENDA ASAL MULA KERAJAAN BELAWA

Memenuhi   janji terhadap Saudara Abdul Jamil Akbar, maka kutuliskan salahsatu kisah pengantar tidur ini.  Sesuatu yang selalu kudengar setiap menjelang kuterlelap memasuki gerbang mimpi. Maka wajarlah jika  penghujung kisah ini tidaklah lengkap adanya, anggap saja aku sudah tertidur sehingga “endingnya” tidak sempat kudengar lagi. “Engkamuatu itEppang narEkko engka waju, mauni sopE’-sopE’, ndi’ “ (Adalah yang bisa ditambal kalau baju itu ada, walaupun robek disana-sini, dik..), begitu kataku melalui pesan di Facebook beberapa waktu yang lalu.

 “Sepenggal Kisah”  tentang berdirinya sebuah Kerajaan Kecil, yakni : Belawa. Uraian singkat yang tidak kumasukkan pada laman “Sejarah Belawa” karena motif warnanya lebih menyerupai sebuah Legenda adanya…


Syahdan, dalam ruang  waktu yang sukar diterka, kapan terjadinya. Namun kisah ini bermula pada sebuah Kerajaan Kecil yang terletak di sebelah tenggara Kerajaan Rappang, yaitu : Bulu CEnrana. Tidak pula disebutkan nama Rajanya, namun yang diketahui bahwa Baginda Arung Bulu CEnrana pada waktu kisah ini dituturkan, adalah seorang Raja yang sudah berusia lanjut. Demikian pula dengan Permaisuri yang mendampinginya selama ini, beliaupun sudah tua. Rambut mereka sudah serba memutih, seiring dengan para keturunannya yang pada masa itu sudah berlapis 3 alias sudah memiliki cicit.

Sebagaimana kebiasaan pada umumnya Kerajaan-Kerajaan lokal di Sulawesi, bahwa seorang Raja yang dicintai rakyatnya, tidaklah digantikan terkecuali 2 hal, yaitu : Wafat atau mengundurkan diri atas kemauan sendiri dengan menunjuk penggantinya. Begitu pula halnya  dengan  Arung Bulu Cenrana. Baginda tetap memangku jabatannya, namun segala harta bendanya telah habis dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. “DE’to nasiaga iya uwanrE sipaddua, nakilEmba ri tana siwaliE” (Tidak seberapa lagi yang kami berdua makan, hingga saatnya meninggalkan dunia fana ini..), begitulah pemikiran Baginda bersama permaisurinya. Mereka saling memperhatikan dengan limpahan kasih sayang yang besar. “Tosiraga-raga mEmengna riwettu tuota mupa..” (Marilah kita saling melimpahkan kasih sayang, mumpung kita masih hidup..).

Namun, “Elo paullEnapa PuangngE mappajaji mua, naiyya rupa tauE : Cinnanami maraja napunnai..”. Manusia hanyalah memiliki keinginan dalam perhitungannya sesuai kelaziman belaka. Dibalik itu, Allah SWT mutlak memiliki kehendak dan ketentuan dalam kuasa-Nya sendiri. Begitulah yang senantiasa diuraikan Sang Ayahanda kita setiapkali flot cerita tiba pada alur kisah ini.  Tanpa disangka, Sang Permaisuri yang sudah tua renta itu mengandung !. Duh.., Saudara Jamil, sebenarnya aku risih meriwayatkan kisah ini, karena pasangan suami isteri yang renta ini adalah leluhurku.. Subhanallah.

Walhasil, setelah mengandung selama 11 bulan, Sang Permaisuri melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat. Maka sang pangeran yang baru lahir ini diberi nama : La Monri. Nama yang diambil berdasarkan  riwayatnya yang terlahir setelah kedua orang tuanya sudah uzur . “Monri” berarti : Belakang, bermakna ia  terlahir belakangan.

Pangeran La Monri tumbuh dengan normal sebagaimana anak-anak lainnya. Namun suatu keistimewaan yang sudah Nampak pada karakternya, bahwa Pangeran Kecil ini memiliki kecerdasan dan penalaran yang melebihi anak-anak seusianya. Beliau yang masih berumur belasan tahun itu, sudah memiliki wawasan berpikir yang menyamai seorang lelaki dewasa.

Sejak kelahiran La Monri, kedua orang tuanya senantiasa berpikir dan merasa iba kepada buah hatinya yang bungsu ini. Masalahnya adalah, segala harta pusakanya telah habis dibagi-bagikan kepada putera puterinya yang lain sebelum La Monri lahir. Sementara Raja dan Ratu ini merasa sudah semakin lemah tubuhnya digerogoti usia tua. “Bagaimana nasib putera kita nanti setelah kita meninggal nanti, kanda ?”, keluh Sang Permaisuri kepada suaminya. Arung Bulu CEnrana tidak bisa menjawab apa-apa. Ia sendiri merasakan gundah sebagaimana isterinya itu.

Hingga pada suatu hari, Arung Bulu CEnrana memanggil semua putera-puterinya, termasuk segenap menantunya. Tak ketinggalan, La Monri juga hadir dalam pertemuan itu sambil duduk melenggut menyandarkan pipinya pada pangkuan ibundanya. Sang Permaisuri membelai rambut putera bungsu yang dikasihinya itu. “ Dengarlah,  wahai anak-anakku. Sengaja Ayahanda mengumpulkan kalian hari ini, tiada lain karena  sebagai panggilan kasih seorang ayah serta naluri cinta seorang ibu..”, kata Arung Bulu CEnrana memulai pembicaraan.  

“Kalian tahu bagaimana nurani seorang tua. Sesuatu yang kalian rasakan jua setelah melahirkan pula putera puteri kalian sendiri..”, lanjut Arung Bulu Cenrana dengan suara serak, sesuatu yang berat baginya untuk mengutarakan maksud hatinya. “TabE’ Puang. Aga sitongengna maElo nassuroeng Petta ri ikkeng ?” (Mohon ampun dibawah duli tuanku, tugas apa gerangan yang hendak tuanku perintahkan kepada kami ?), tanya Arung Lolo PatolaE (Putera Mahkota). Maka menjawablah Arung Bulu Cenrana, : “Tiada maksud lain yang hendak ayahanda dan ibunda kalian minta kepada kalian, yakni : Kasihilah La Monri, adik kalian. Orang tua kalian ini sudah sangat renta, agaknya tidak lama lagi kami akan dipanggil menghadap-Nya. Mengingat segala harta benda kami sudah kubagi-bagikan kepada kalian, maka kami memohon kiranya berilah sedikit bagian dari harta yang kalian miliki dari kami kepadanya. Agar adik kalian yang malang ini dapat pula hidup selayaknya..”. 

Mendengar perkataan itu, ributlah para pangeran dan puteri itu. Mereka saling menunjuk satu sama lainnya. Namun tidak satupun yang rela jika bagian warisannya diambil sebagian kecilnya untuk La Monri. Melihat tingkah kakak-kakaknya itu, maka terenyuhlah hati La Monri. Timbullah iba diri bercampur malu dan kecewa dalam hatinya. Pangeran kecil itu bangkit dari duduknya, seraya menghadap dan menghatur simpuh sembah kepada ayah dan ibunya. “Duhai, ayah bundaku terkasih. Kiranya janganlah merisaukan nasib ananda. Tuhan Yang Maha Kuasa berkehendak menciptakanku di dunia fana ini, maka kepada-Nya jualah ananda bermohon jaminan rezeki dan hidup...  Ananda hanya memiliki satu permohonan terhadap ayah dan bunda berdua. Kiranya berjanjilah untuk mengabulkannya..”, ujarnya bagai meratap.

“Kuru Sumange’mu, anakku.. Katakanlah cepat, nak. Ayah dan ibumu berjanji untuk mengabulkannya..”, kata Arung Bulu Cenrana dengan suara serak dihimpit sedih. “Ananda tidaklah meminta sesuatu yang sulit. Ananda hanya memohon agar dibangunkah sebuah rumah diatas sebuah rakit. Kemudian hanyutkanlah rakit itu, dimana ananda berada diatasnya tanpa ditemani ayah dan ibu..”. Mendengar ucapan anaknya itu, Raja Tua dan permaisurinya itu merasakan bagaikan  ledakan petir menyambar di dekat telinganya. Sang Permaisuri  dan ibu susu La Monri serta segenap Inang pengasuhnya meratap seakan kehilangan sukma jiwanya. “Waduh, anakku sayang. Ibunda mohon, janganlah teruskan niatmu itu..”.

Namun janji telah terlanjur diucapkan. "Sisengmi tauwwE rijajiang..". Manusia dilahirkan hanya sekali, begitu pula dengan janji yang telah disanggupi sebelumnya. "Naiyya ada messuu'E ri timuE, taniana idi' punna..", sesuatu perkataan yang telah keluar dari mulut, bukanlah milik kita lagi. Demikian keteguhan prinsif moral yang menjadi dasar mentalitas orang Bugis pada masa itu.

Akhirnya rakit pembuangan diri sebagaimana yang diminta La Monri telah dibuat. Begitupula hari yang telah ditentukannya sendiri untuk menghanyutkan diri bersama rakitnya juga telah tiba. Tidak boleh tidak, ibu susu dan para inang pengasuhnya minta diikutkan. Mereka memilih membuang diri ke sungai jika La Monri tidak bersedia membawanya serta. "AwwEE, lemmu togaha sunge'ku, massarang waE dadi' malebbiku, riyalireng ronnang ri laowang mabElana.." (Aduh, bagaimana mungkin sukma jiwaku tega berpisah dengan air susu kemuliaanku, dihanyutkan menuju negeri yang jauh..), ratap Indo Kino, ibu susu La Monri. Terpaksa Pangeran Kecil yang dilanda kecewa itu mengabulkan permohonan mereka. Maka dibinalah beberapa rakit lainnya yang memuat serta para pengikut setianya dan segenap keluarganya.

Setelah menghaturkan sembah sujud diujung kaki ayah bundanya, La Monri melangkah ke pinggir sungai. Sebelum kakinya menaiki rakit, ia berdiri menghadap ke para saudara-saudaranya, seraya menghentakkan kaki tiga kali. Kemudian diteriakkannya sumpah sebagai berikut : "Angkalingako sining To Bulu CEnranaE ! Maniang manorang. Orai' Alau. Nasabbi Dewwata SeuwwaE, paccappureng ulEjja'ni tanaana Bulu CEnrana iyE essoE. Uwalireng alEku silollong tinio sunge'ku mattunru tooto. Sangadi tuppui solo' raiku, ulEsu makkalEjja' paimeng ri Tana pajajiangku. Sangadi engkapa buku-bukukku nalarieng balawo, natiwi lEsu romai, nariyasengnga' lEsu ri tana ammEmengengku !" (Dengarlah wahai rakyat negeri Bulu CEnrana ! Yang bermukim di utara dan selatan. Yang berdiam di sebelah barat dan timur. Disaksikan Dewata Yang Tunggal, hari ini adalahyang terakhir kalinya kujejakkan kaki di negeri ini. Kuhanyutkan diriku bersama segenap semangat jiwaku yang mengabdi pada takdirku. Hanyalah jika rakitku mampu melawan arus, barulah kukembali menginjakkan kaki di negeri kelahiranku. Terkecuali jika kelak, tulang belulangku ada yang dibawa lari oleh tikus, lalu dibawanya kembali ke negeri ini, maka akau dikatakan kembali ke tanah asal muasalku !).

Tak bisa lagi digambarkan, bagaimana sedihnya kedua orang tua La Monri, tatkala melihat tali penambat rakit yang memuat putera belahan jiwanya dilepaskan dari tiang labuhannya. Perlahan rakit-rakit itu hanyut di Sungai KarajaE, diiringi ratap tangis para rakyat Bulu CEnrana yang memenuhi pinggir sungai. Semakin lama, rakit-rakit itupun semakin jauh mengikuti arus sungai ke arah selatan, hingga hilang dari pandangan mata yang pelupuknya bersimbah air mata.

Iring-iringan rakit itu hanyut mengikuti kemana air sungai KarajaE mengalir menuju muaranya. Didalam rumah rakit terdepan, La Monri berbaring dengan kepala diatas pangkuan Indo Kino, ibu susunya. Seorang wanita yang menyayangi anak susuannya itu melebihi rasa sayang terhadap jiwa raganya sendiri. Ia membelai rambut sang pangeran kecil yang malang itu sambil menembankan syair pengantar tidur yang indah. Dilagukannya dengan suara yang merdu, keluar dari hati yang jernih, sejernih air sungai KarajaE yang mengalir tenang.

PalEsangni peddimu, Ana' Senrimaku..
Pawajangni ati marenni'mu
Alirengni sajang rennummu
Alitutui tinio sumange'mu


Redakanlah pedihmu, duhai anakdaku yang mulia..
Tiliklah hati kecilmu
Hanyutkan saja kecewamu
Jagalah semangat hidupmu


Detik beriringan tiada henti, berkumpul dalam suatu rangkuman menit. Menitpun berlalu menuju kumpulannya, hingga menyatukan diri dalam himpunan jam. Kemudian jam mengikuti perjalanan sang matahari, hingga menamakan kelompoknya dalam suatu hari. Haripun berlalu hingga matahari tergelincir di ufuk barat, digantikan malam menyelimuti bumi dalam tirai gelapnya. Demikian waktu berputar pada siklusnya hingga menyebut diri sebagai saat.. Maka pada suatu hari, berakhirlah perjalanan arus sungai KarajaE pada muaranya yang pertama, yakni Danau Tempe yang luas. Rombongan rakit yang dibawanya dari Bulu Cenrana pun tiba pada tempat itu, terapung-apung ditengah danau yang luas itu.


La Monri berdiri di geladak rakitnya, seraya mengedarkan pandangannya kesekeliling danau. Dilihatnya jika danau itu berada deitengah kumpulan pegunungan. "Sappaani' wiring libukeng, naripasorE rai'E" (Carilah pinggir daratan lalu labuhkanlah rakit kita), katanya. Para pengikutnya yang mengemudikan rakit-rakit itu dengan "Tokong" (sebatang bambu panjang) mengarahkan rakit itu pada pinggir utara agak ke barat pada danau itu. Dari jauh, dilihatnya sebatang pohon Goari yang besar tumbuh di pinggir danau. Maka kesanalah arah buritan rakit diarahkan untuk mendarat.


"Aga asengna iyE libukengngE, Indo' ?" (Apa nama daratan ini, Ibunda ?), tanya La Monri pada ibu susunya beberapa saat setelah mendarat. "DE', uwissengngi Ana Puangku.." (saya tidak tahu, anak tuanku). Demikian pula dengan segenap pengikut yang lain, tidak ada yang mengetahui nama daratan itu. "NarEkko makkoitu palE', ripoasengni iyE LibukengngE : GOARIE" (Kalau begitu, lebih baik jika daratan ini dinamakan saja GOARIE). Maka sampai saat ini perkampungan pinggir danau dimana La Monri beserta pengikutnya mendarat tetap bernama : GoariE. Berasal dari nama sebatang pohon besar yang tumbuh ditempat itu dan dijadikan sebagai petunjuk arah mendarat.

Syahdan, La Monri beserta pengikutnya menetap beberapa lama di tempat itu. Mereka membangun perkampungan sambil memulai bercocok tanam. Para pengikut itu membawa serta cukup banyak biji-bijian serta alat-alat pertanian dari Bulu CEnrana. Selain itu, merekapun dapat pula menangkap ikan yang berlimpah di danau itu. Namun, malang tak dapat diraih. Suatu ketika, saat tanaman palawija yang ditanam dan dirawatnya selama ini sudah siap dipanen, tiba-tiba banjir meluap.  Permukaan danau yang tadinya agak jauh dari perkampungan, tiba-tiba meluas hingga menenggelamkan ternak dan perkebunan mereka. Padahal, hujan tidaklah begitu lebat di daerah itu. Akhirnya mereka mengerti, bahwa danau itu adalah muara banyak sungai dari segala arah. Mereka harus mencari tempat yang lebih tinggi.


Maka La Monri memimpin para pengikutnya kearah utara, tempat yang lebih tinggi. Akhirnya ditemukanlah sebuah dataran tinggi yang banyak ditumbuhi pohon Belawa. Sejenis pohon besar yang getahnya dapat mengakibatkan alergi pada kulit. Seseorang yang tersentuh getahnya akan mengalami pembengkakan pada sekujur tubuhnya disertai gatal-gatal yang nyeri. Sejenis pohon yang ditakuti orang, hingga bahkan memilih hujan-hujanan dari pada berteduh dibawahnya. Demikian pula dengan para pengikut La Monri, mereka enggan membuka perkampungan dikawasan itu. Namun La Monri berkeyakinan tetap, jika pada kawasan inilah mereka menemukan harapan masa depan yang cerah.


Dengan tenangnya La Monri mendekati sebatang pohon Belawa terbesar disekitar tempat itu. Dicabutnya "Sapu Kale' Arajangna Bule CEnrana" (Keris berluk satu, Pusaka Bulu CEnrana) yang dibekalkan kedua orang tuanya, seraya mengucap amsalnya dengan lantang : "TabE', iya'na wija riyalirengna Bulu CEnrana, wanua apolEngenna sia appongengmu, Belawa. Ujeppu tosianguru toto, aja' tosipaitang sussa, tosicalowo manguru lipuu. TabE' kuwassimang mEmeng, inappa kutEbba' to' mannesamu, tekkupalEsso ranru' atuonengmu, nasaba iya minasaE, maEloo'E puasengngi asengmu iyE lipuu'E" (Mohon maaf, akulah putera yang dihanyutkan dari Bulu CEnrana, negeri asal muasal pokok pohonmu, Belawa. Kuketahui jika kita senasib adanya, maka janganlah kisa saling memberi kesulitan, saling mengasihilah kita dalam satu negeri. Kuhaturkan permohonan maafku terlebih dahulu, barulah kutebang pokok pohon lahirmu, tanpa bermaksud menyingkirkan tunas hidupmu, karena tiada lain maksudku, berkeinginan untuk menamakan negeri ini sebagai namamu jua..). Maka ditebaslah batang pohon itu, lalu getahnya dibalurkan pada kulitnya sendiri. Ajaib, tidak terjadi sesuatu pada kulit La Monri. Lalu diperintahkannya pada pengikutnya untuk memulai menebang pohon Belawa dikawasan itu.


Walhasil pada permukaan kisah ini, perkampungan yang dibangun oleh La Monri bersama pengikutnya itu dinamakan sebagai : BELAWA, sesuai sumpah La Monri. Perkampungan itu tumbuh berkembang sebagai pemukiman yang subur. Sawah dan perkebunan dicetak pada lahannya yang datar namun berada pada tempat yang lebih tinggi. Segala tanaman padi dan palawija tumbuh dengan suburnya hingga panen selalu berlimpah. Waktu demi waktu, perkampungan itu semakin ramai karena para masyarakat yang berkaum disekitarnya menggabungkan diri dibawah kepemimpinan La Monri. Hingga ketika Sang Pangeran telah berusia cukup dewasa, maka pemukiman yang sudah besar itu dinyatakan sebagai sebuah Kerajaan dengan La Monri sebagai rajanya yang pertama, bergelar : La Monri Arung Belawa.


Syahdan, pada suatu waktu terjadi musim paceklik di Bulu CEnrana dan sekitarnya. Masa ketika Arung Bulu CEnrana tua dan permaisurinya (Ayah bunda La Monri) telah wafat. Tanaman padi dan palawija tidak dapat tumbuh berbuah sebagaimana yang diharapkan. Maka terjadilah bencana kelaparan di negeri itu. Arung Bulu CEnrana yang baru dinobatkan menjadi kehilangan akal menghadapi bencana itu. Demikian pula dengan para perangkat kerajaan yang lain.


Dalam suasana memprihatinkan itu, dilihatnya burung-burung pipit terbang berombongan sambil membawa bulir-bulir padi. Mereka membawanya ke sarangnya yang terletak di wuwungan Saoraja (Istana). "Pastilah ada suatu negeri yang sedang panen padi berlimpah. Tapi dimanakah gerangan ?", pikir sang Raja. Lalu diperintahkannya seorang kepercayaannya untuk mengikuti arah terbang burung-burung pipit itu. Baginda berusaha mencari tahu negeri yang makmur itu dengan harapan untuk dimintai bantuan.

Walhasil, alangkah utusan itu mengikuti rombongan burung-burung itu dengan berbagai kesulitan yang ditemuinya dalam perjalanan. Bagaimana tidak ?, burung-burung itu terbang dengan amat cepatnya, sementara ia sendiri harus berjalan kaki merambah hutan rimba yang lebat. Terpaksa ia harus menempuhnya selama berhari-hari. Apabila burung itu tidak bisa diikutinya, ia menunggu di tempat  itu hingga esok hari. Burung-burung mestilah terbang kembali mengikuti jalur terbangnya. Tidak seperti halnya manusia, mereka kadang tidak konsekwen mengikuti alur hidupnya.


Akhirnya tibalah ia di Negeri Belawa. Alangkah terkejutnya ketika menemui penduduk negeri itu adalah orang-orang yang dikenalnya sebagai rakyat Bulu Cenrana juga. Namun ia lebih takjub lagi ketika mengetahui bahwa Raja negeri yang makmur itu adalah La Monri, putera bungsu mendiang junjungannya, Arung Bulu Cenrana. Maka mengahadaplah ia seraya mengutarakan perihal kesulitan yang dialami rakyat Bulu Cenrana.


La Monri sesungguhnya adalah seorang raja yang berjiwa besar. Mengetahui perihal kesulitan yang dialami kakak-kakaknya beserta rakyat mendiang ayahandanya, maka diperintahkannya mengumpulkan padi dan kerbau untuk dikirim ke Bulu Cenrana. Konon, padi-padi itu ditumpuk menyerupai sebuah bukit kecil saking banyaknya. Secara berkelakar, ia menyebut bukit padi itu sebagai "Mojong" (Asal kata Gunung Latimojong). Maka tempat pengumpulan padi itu dinamai hingga sekarang sebagai kampung bernama : Mojong (saat ini menjadi wilayah Kabupaten Sidrap). Kemudian diperintahkannya rakyatnya memanggul padi-padi itu serta menghalau iringan kerbau yang jumlahnya ribuan ke Bulu Cenrana. Berkat kebaikan hati serta kedermawanan La Monri itu, utusan Negeri Bulu Cenrana menyebutnya sebagai " TosagEnaE" (Orang yang berhati lapang).
Maka dalam penyebutan gelar "TosagEnaE" jika menurut kisah ini, telah ada jauh sebelum "Syekh Belawa" (Pu SEhe').



Iring-iringan pemanggul padi ke Bulu Cenrana menyusuri pinggir sungai KarajaE menuju ke utara. Sementara itu para pengembala menghalau kerbau-kerbau yang jumlahnya ribuan itu melalui sungai yang kebetulan pada saat itu sedang dangkal. Namun malang tak dapat dihindari, ketika tiba disuatu tempat yang tidak begitu jauh lagi dari perbatasan wilayah Bulu Cenrana, tanpa diduga sebelumnya air sungai meluap dari arah hulu. Banjir besar melanda dan menenggelamkan ribuan kerbau itu. Demikian pula dengan pemanggul padi beserta bawaannya, tidak luput dari terjangan air bah itu. Mereka terpaksa melepaskan bawaannya untuk menyelamatkan jiwanya.


Maka berlakulah kadar Allah SWT yang diakibatkan oleh sumpah La Monri sebelum meninggalkan Bulu CEnrana. Bahkan hasil keringatnya pun tidak bisa lagi kembali ke daerah asalnya. Peristiwa itu kini menjadi sebuah "Mytos", bahwa : Naiyya tanaE Belawa, wedding mua natamai waramparang. NaEkia dE' siseng-siseng nawedding ripessuu waramparangna ri saliwenna ritu.. (Sesungguhnya negeri Belawa dapatlah memasukkan harta benda didalam negerinyanya, namun pantang mengeluarkan harta benda didalamnya ke luar batas negerinya..).


Padi-padi yang hanyut itu kembali lagi ke Belawa dan tumbuh subur di tanahnya. Adapun halnya dengan tempat dimana kawanan kerbau itu tenggelam, didapatkan banyak tengkorak kepala kerbau beserta tanduknya bertebaran ketika sungai mendangkal di musim kemarau. Maka tempat itu dinamai sebagai : "Tanru TEdong" hingga dimasa kini.


Alkisah, DatuE La Monri wafat . Pada masa itu, rakyat Belawa belum menganut agama Islam, sehingga jazad Baginda diperbukan dan ditempatkan dalam sebuah guci (Balugu). Kemudian dengan penuh kebesaran, guci abu itu disemayamkan di Mojong. Baginda ditulis dalam Lontara dengan nama lengkapnya : La Monri Arung Belawa MammulangngE Petta MatinroE ri Gucinna.

Wallahualam Bissawwab


Sumber : 1. Andi Panguriseng (A. Mori. Alm),
               2. H. Abd. Rauf Bin H. Pattola (Alm.),
               3. PanrE Lammade (Alm.)