KARAENG LOHETA, LEGENDA TENTANG SEORANG TOKOH LUWU
By.
La Oddang
..memenuhi amanah Adinda FAISAL TO WARE, maka penuturan ini dihaturkan
sebegini adanya. Bukan sebuah kajian sejarah, melainkan PAU-PAU NIPALEMBA
(cerita yang dituturkan kembali), suatu souvenir berharga selama menumpang hidup di kawasan
Tanjung Bira selama 1997-2002.
……………………………………………………………………………………………………………
Bermula ketika kali pertama saya menapakkan kaki pada suatu
perkampungan nelayan di pantai timur Tanjung Bira, bernama : PANRANG LUHU. Penamaan dari Bahasa Konjo yang berarti : Kuburan
Orang Luwu, dimana memang sesungguhnya dapat ditemukan kompleks pemakaman tua
yang terhampar pada ujung sebelah selatan pemukiman yang indah tersebut. Maka
selanjutnya, saya menanyakan asal muasal penamaan kampung tersebut kepada
seorang Tokoh Bira yang berdiam di Kampung itu, yakni : Opu Tuan Abdul Halik
(Almarhum).
Alkisah, entah tahun berapa dan pada jaman pemerintahan Datu/Payung
Luwu yang keberapa, legenda ini mengalir tanpa dibatasi oleh kaidah sejarah dan
metodologinya yang rumit. Tersebutlah seorang Ratu dalam wilayah kedaulatan
Kerajaan Luwu, bernama : Sangkawana. Baginda Ratu adalah seorang wanita yang
cantik rupawan, namun bernasib malang karena telah ditinggal wafat oleh
suaminya. Namun kesedihan itu dapatlah juga terobati dengan adanya putera
tunggalnya, buah kasih peninggalan mendiang suaminya tercinta. Maka anak semata
wayang itu dipeliharanya dengan limpahan kasih sayang yang berlebihan. Segala
kemauannya dituruti tanpa pertimbangan baik dan buruk, demi mengingat kasih iba
akan kemalangan si anak yang ditinggal mati ayahandanya sejak dalam kandungan.
Maka dapatlah diterka, kasih berlebihan itu mengakibatkan ia tumbuh sebagai
anak manja dan nakal.
Berbagai kenakalan yang dilakukan pangeran kecil yang yatim itu. Hingga
pada suatu puncak kenakalannya, ibundanya amat berang dan lupa diri. Diambilnya
gayung tempurung lalu dipukulkannya pada kepala puteranya !. Darah mengucur
deras dari luka itu, lalu anak yang tidak menyangka jika ibunda yang biasanya
amat memanjakannya, tega memukulnya sekeras itu. Sambil mendekap luka dikepalanya,
ia melarikan diri ke hutan. Meninggalkan ibundanya yang terengah-engah akibat
kemarahannya bercampur sesal melihat
darah mengucur deras di kepala puteranya, akibat pukulannya.
……………………………………………………………………………………….
Iponcoki caritaE, beberapa tahun kemudian.. Sang Ratu masih memimpin
kerajaannya sebagaimana sediakala. Berbagai upaya dilakukannya bersama
rakyatnya untuk mencari puteranya yang melarikan diri ke hutan, namun tidak
ditemukannya juga. Maka anak itu dianggap hilang atau kemungkinan besar telah
meninggal dunia. Duka cita melanda anak negeri itu selama beberapa waktu,
terutama ibundanya. Namun putaran waktu demi waktu mengikisnya hingga menjadi
suatu kenangan buruk belaka. Demikian pula halnya dengan sang ratu, iapun
perlahan dapat memulihkan jiwanya, walaupun tak sepenuhnya. Anehnya, baginda
ratu yang molek itu tetaplah cantik dan awet muda. Rupanya waktu telah bertekuk
lutut atas ketegarannya menghadapi kesusahan hidup yang susul menyusul
menerpanya.
Pada suatu hari, anak negeri itu kedatangan seorang pemuda yang
rupawan. Tiada yang tahu dari mana asalnya, baik negeri maupun asal muasal
rumpun keluarganya. Bahkan namanya sendiripun tidak diketahuinya. ….irippekisi paimeng rampE-rampEwE, ia
bertemu dengan sang Ratu yang awet muda itu. Maka terjalinlah rasa saling
tertarik antar keduanya, sesuatu yang serta merta ditafsirkannya sebagai
“cinta”. Maka menikahlah keduanya, dipersaksikan pada Dewata SEuwwaE dengan dihantar do’a dan puja para penduduk
negeri.
Pada suatu hari, Sang suami muda sedang berleha-leha menghabiskan
waktunya dalam genangan madu asmarandana. Ia tertidur dengan kepala berbantal
pangkuan isterinya yang setia membelai rambut suaminya penuh kasih sayang.
Namun belumlah angannya beranjak ke dunia mimpi, tiba-tiba ia terbangun. Setetes
air menimpa keningnya. Kemudian alangkah
terkejutnya, ketika mengetahui jika tetesan air yang menimpanya itu adalah air
mata isterinya yang jatuh berderai. Isterinya yang cantik itu menangis dengan
amat pilunya. “Ada apa gerangan yang membuatmu menangis sedemikian sedihnya,
isteriku ?”, tanyanya.
“Duh.. maafkan kelemahan batin wanita ini, suamiku. Melihat bekas luka
dikepalamu, membuatku teringat akan puteraku yang hilang. Kasihan sekali anak
itu, gara-gara kekhilafanku yang memukul kepalanya dengan gayun batok kelapa,
membuatnya melarikan diri ke hutan. Hingga kini, tidak jelas dimana
keberadaannya. Agaknya andai ia masih dipinjami hidup, pastilah ia seumurmu
sekarang.. “, keluh isterinya disela isak tangisnya. Bagai disambar kilatan
petir, ingatan lelaki itu kembali seketika itu. Dari suatu bayangan samar yang
mendekatinya, hingga menjadi wujud utuh yang jelas perihal sosok wanita yang
dihadapannya kini. “Oh, bunda.. maafkan puteramu yang durhaka ini..”, ratapnya.
Maka.. ?? !! !! xrdwqqq khgrtttslmnjkhyt
qxtzr…
Gemparlah seantero negeri Luwu perihal pernikahan tabu yang tidak
disengaja itu. Khabar itu sampai pula dihadapan Baginda Payung Luwu. “..iyanatu
pangkaukeng nasapa tana na rumpui langi !”, demikian titah baginda. Maka
jelaslah, bahwa baginda menjatuhkan hukuman mati pada kedua ibu dan anak itu. Sesuatu yang
dikenal dalam adat istiadat Luwu, yakni : RipaggEnoi wennang cella’
(dikalungkan baginya benang merah). Maka bergegaslah para panglima
memerintahkan para pasukannya unuk menangkap suami isteri terlarang itu.
Mengetahui jika mereka telah dijatuhi hukuman mati, keduanya menyingkir
sejauh-jauhnya dari wilayah Tana Luwu. Mereka melakukan pelarian itu dengan
menempuh perjalanan jauh nan sulit kearah selatan menuju Silaja (Selayar). Namun
lasykar Luwu tidak melepaskan begitu saja. Mereka melacak jejak keduanya,
seraya melakukan pengejaran. Titah baginda
PayungngE adalah titah Dewata jua !.
Hingga pada suatu hari, perjalanan menyusuri pinggir laut teluk Bone
oleh kedua buronan itu tiba di suatu daerah perbukitan yang berada dipinggir
laut. Pada suatu puncak bukit mereka melayangkan pandangannya jauh kearah selatan
melewati garis horizon permukaan laut, mencari keberadaan Pulau Selayar, tujuan
akhir pelariannya. Maka sejak itulah, kawasan itu dinamai BONTO TIRO yang kini
menjadi salahsatu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bulukumba. Setelah
menemukan arah menuju ke penyeberangan menuju Pulau Selayar, mereka meneruskan
perjalanannya kearah selatan, menuju titik akhir perbatasan perairan teluk
Bone, pertemuan antar 3 perairan, yakni : Teluk Bone, Laut Flores dan Selat
Makassar. Tempat pertemuan itu terletak pada sebuah tanjung yang kini dikenal
sebagai : Tanjung Bira. Pada tebing ujung paling selatan Pulau Sulawesi itulah akhirnya keduanya melepaskan lelah dan
penat selama beberapa waktu, sembari mencari perahu untuk menyeberang.
Namun belumlah sempat mendapatkan perahu menuju ke Pulau Selayar, para
lasykar Luwu berhasil menyusul mereka.
Para lasykar yang setia melaksanakan tugas itu menghunus senjatanya
masing-masing untuk menghabisi kedua buruannya. Maka dengan perasaan putus asa,
ibu dan anak itu menerjunkan diri pada jurang tebing yang terjal, dibawahnya
pusaran pertemuan arus yang terkenal ganas itu menunggu dengan suara gemuruhnya..
Menyaksikan kejatuhan kedua buruannya, pasukan Luwu menganggap telah
melaksanakan tugas yang diembannya. Adalah kecil kemungkinan jika tubuh manusia
biasa mampu selamat dari cengkraman alam perairan yang buas itu, demikian
pikirnya. Mereka melakukan perjalanan kembali ke Tana Luwu, melaporkan perihal
pelaksanaan tugasnya kepada Sang Junjungan. Namun mereka tidak tahu jika
sesungguhnya ada Tuhan yang Maha penentu bagi segenap hamba-Nya. Ibu dan anak
itu selamat dari kebuasan pusaran yang menelannya dan pasti menghempaskannya ke
gugusan karang yang tajam ! Entah dengan cara bagaimana, kiranya hanya Allah
yang tahu..
Penderitaan hidup yang menggenaskan silih berganti menerpanya, merubah
karakter sang bekas Ratu yang malang
itu. Ia yang biasanya selalu welas asih nan lembut itu, kini menyimpan dendam
kesumat yang teramat dalam pada segenap orang-orang Luwu, tanpa kecuali !. Ia
bersama puteranya menetap pada ujung tebing itu dengan meyakini banyak
ilmu-ilmu kesaktian yang hebat. Salahsatunya adalah mengendalikan cuaca
sekitarnya serta merubah susunan gugusan karang pada celah perairan itu. Ia
dapat pula mendatangkan pusaran maut
setiap saat yang dikehendakinya. Target satu-satunya adalah segenap orang Luwu
yang melewati perairan itu. Maka keberadaanya di kawasan itu menjadikannya
dikenal oleh orang-orang Bira dengan sebutan : KaraEng LohEta, sesuatu yang
sesungguhnya berasal dari kata : KaraEng Luhuta (Pertuanan Luwu kita).
Sang bekas Ratu dengan kesaktian dan dendam kesumatnya yang membara,
menjadikan celah tanjung itu menjadi kawasan angker. Ia senantiasa duduk pada
puncak tebing, mengawasi perahu yang lalu lalang pada celah perairan itu. Jika
ia melihat perahu yang ditumpangi oleh orang Luwu, maka ia menenggelamkannya
tanpa rasa kasihan sama sekali !. Jazad orang-orang Luwu yang menjadi korbannya
terkadang ada yang terdampar pada pantai timur, tidak begitu jauh dari kawasan
kekuasan KaraEng LohEta. Maka masyarakat Bira menguburkannya dengan baik di
pantai itu juga, hingga dikenal sebagai : Panrang Luhu.
Berbeda dengan ibundanya yang menyimpan dendam membara, adalah
puteranya yang agaknya lebih bijaksana. Anak nakal yang sesungguhnya juru kunci
keruwetan legenda ini, tidak menyimpan dendam membuta sebagaimana ibunya.
Agaknya iapun memahami keputusan Baginda PayungngE dan segenap lasykar Luwu
yang semata-mata hendak menegakkan aturan dengan seadil-adilnya. Sekiranya ia
terlebih dahulu melihat sebuah perahu Luwu yang hendak melintasi kawasan maut
itu, diambilnya sisir lalu menyisir rambut ibunya. Tiada lain maksudnya,
memecah perhatian sang Ibunda agar tidak melihat perahu Luwu yang lewat itu.
Maka selamatlah perahu itu beserta segenap penumpannya.
Pada suatu hari dengan ditemani masyarakat setempat, saya mengunjungi
puncak tebing dimana KaraEng LohEta terakhir menerjunkan diri itu. Suatu tempat
yang sesungguhnya amat indah sekaligus amat menyeramkan. Sebuah patahan
tebing yang menyerupai pulau kecil
menjadikan perairan itu bagai suatu celah sempit yang amat berbahaya. Dari
ketinggian lebih 100 meter, terdengar arus gelombang tak beraturan bagai
mengaum tiada henti. Dalam setiap beberapa jam, senantiasa muncul pusaran air
besar yang tengahnya menghitam bagai sumur besar, siap menelan apapun yang
dapat dijangkaunya. Bahkan kapal-kapal PELNI yang rata-rata besar itu saya
yakini dapat pula diputarnya bagai mainan kecil tak berarti, andai berani
melintasi pusaran itu. Sementara jika melewatkan pandangan ketengah laut
melewati sejenak kawasan maut itu, nampaklah Pulau BEtang yang juga nampak
angkuh dengan tebing cadasnya , berdiri teguh bagai penjaga sebuah Pulau yang
lebih besar dibelakangnya, yakni : Pulau Selayar.
Hingga tahun 70-an, kawasan Panrang Luhu adalah tempat transit para
pelaut Bugis dari perairan Teluk Bone yang hendak melintasi perairan itu menuju
Selat Makassar di pantai barat. Mereka melabuhkan kapalnya pada lepas pantai
berpasir putih itu, kemudian menyerahkan kapalnya pada orang-orang Bira untuk
“menyeberangkannya” hingga di Pantai Barat. Adapun halnya Nakhoda Bugis beserta
awaknya, “memilih” berjalan kaki sejauh 2 km ke Pantai Barat untuk mendapatkan
kembali perahunya menuju perairan Selat Makassar. Demikian pula sebaliknya bagi
Perahu Bugis dari arah sebaliknya. “Mengapa tidak mengambil haluan lewat celah Pulau BEtang dan
Selayar menuju Selat Makassar, Opu ?”, tanyaku penasaran. Opu Tuan yang amat
disegani itu tersenyum seraya menimpali,
“..butuh waktu sehari semalam untuk melintasi jalur yang jauh itu,
ananda”.
Maka penuturan panjang inipun
diakhiri dulu sampai disini, adinda FAISAL
TOWARE. Jangan tanya perihal kesejarahannya dan Lontara yang
menuliskannya, adinda. Sama pula halnya jika andai adinda menanyakan perihal
tahun kelahiran “Si Malim Kundang” dan tahun wafatnya “Sangkuriang”. Jangan pula menanyakan Lontara mana yang
menuliskan kisah ini, karena pastilah tidak ditemukan dimanapun. Saya hanya
tahu jika BIRA ada disebut pada Sure’ I La Galigo yang disebutnya sebagai
“Waniaga” dan masyarakatnya yang disebut sebagai : TOWANIAGA”.
Keterangan Gambar :
"KaraEng LohEta" yang mengerikan bagi para pelaut bugis itu. Nampak pada kejauhan, Pulau BEtang dan dibaliknya adalah Pulau Selayar.. (Foto koleksi Carol Merlo)
Keterangan Gambar :
Pantai Panrangluhu yang berpasir putih dan berair jernih.. Pada ujung utara, nampak Pelabuhan Penyeberangan ke Pulau Selayar.. (Foto koleksi Carol Merlo)
Keterangan Gambar :
..namun dibalik keindahan pantainya, ada jejak yang menjadi pertanda penamaannya.
..namun dibalik keindahan pantainya, ada jejak yang menjadi pertanda penamaannya.
Wallahualam Bissawwab..
Assalamu'alaikum Wr. Wb. pak saya ingin bertanya tentang perahu pinisi. apakah ada upacara adat tertentu sebelum pembuatan kapan pinisi? terimakasih sebelumnya.
BalasHapusMitos, yg sudah sy patahkan.sy org luwu dan sudah melakukan perjalanan ke Selayar dengan sebuah badik. Semua tergantung niat dan tujuan.
BalasHapusDan cerita diatas sama persis dengan cerita sangkurilang di Jawa Barat.
Sama persis dengan cerita sangkuriang di jawa barat
BalasHapusTerima kasih ata tulisannya, agak mirip dengan cerita Sangkuriang tp soal diusir dari tanah Luwu itu persis dengan yg pernah diceritakan kakekku
BalasHapus